Pocut Baren - Pahlawan & Ulama Wanita dari Aceh

Pocut Baren
Satu lagi pahlawan perempuan dari Aceh, Pocut Baren adalah seorang pahlawan dan ulama wanita dari Aceh yang terkenal gigih melawan penjajahan Belanda. Ia mengobarkan perang dari tahun 1903 hingga 1910.

Selain menjadi panglima perang, ia pun menjadi uleebalang daerah Gome. Ia mempunyai pengikut setia yang banyak dan membantunya dalam pertempuran melawan Belanda. Menurut cerita penduduk, ia ikut bergerilya bersama-sama pasukan yang dipimpin oleh Cut Nyak Dhien. Setelah Cut Nyak Dhien tertangkap oleh Belanda, Pucut Baren tetap meneruskan perjuangan menentang penjajahan Belanda. Ia menjadi panglima perang menggantikan suaminya yang meninggal dunia dalam peperangan.


Riwayat

Pocut Baren lahir pada tahun 1880 di Kabupaten Aceh Barat. Ia merupakan anak perempuan seorang uleebalang Teuku Cut Anmat Tungkop sebuah kemukiman di Kecamatan Sungai Mas, Kabupaten Aceh Barat.

Sebagaimana penduduk Aceh lainnya, ia belajar ilmu agama. Pocut kecil mengaji kepada para ulama, baik yang didatangkan kerumahnya maupun mengaji di meunasah, dayah  dan masjid.

Pocut dibesarkan dalam lingkungan Aceh yang sedang berkecamuk perang. Situasi ini membentuknya menjadi seorang perempuan yang berkepribadian tangguh, berani, dan militan. Jiwa mudanya bergejolak dengan semangat berkobar-kobar untuk mengusir kaphee (si kafir) Belanda. Ia pun bertekad akan menggabungkan dirinya dengan para pejuang Aceh.

Setelah dewasa, Pocut menikah dengan seorang Keujruen yang kemudian menjadi Uleebalang Gume, Kabupaten Aceh Barat. Yang kemudian tewas dalam peperangan melewan Belanda. Peperangan yang dia ikut juga didalamnya. Namun kematian suaminya tidak menyurutkan semangatnya untuk terus melanjutkan berjuang. Setelah suaminya tewas kemudian Pocut Baren menggantikan suaminya sebagai uleebalang, Dalam berptempur Pocut Baren selalu diiringi oleh semacam pengawal, terdiri dari lebih kurang tiga puluh orang pria. Kemana-mana ia selalu memakai peudeueng tajam (pedang tajam), sejenis kelewang bengkok


Perlawanan terhadap Belanda

Pocut Baren telah berjuang dalam waktu yang cukup lama. Sejak muda ia terjun ke kancah pertempuran. Pocut Baren juga ikut berjuang bersama-sama dengan Cut Nyak Dhien. Perjuangan dan perlawanan Pocut Baren yang gagah berani dilukiskan sendiri oleh penulis Belanda bernama Doup. Pocut Baren telah melakukan perlawanan terhadap Belanda sejak tahun 1903 hingga tahun 1910. Cut Nyak Dhien pernah tertangkap oleh pasukan Belanda pada tanggal 4 November 1905. Artinya, Pocut Baren pernah memimpin sendirian pasukannya melawan Belanda, meskipun Cut Nyak Dhien masih aktif berjuang secara sendirian. Dengan demikian, pada masa itu di wilayah Aceh terdapat dua wanita pejuang yang memimpin pasukannya melawan Belanda, yaitu Cut Nyak Dhien dan Pocut Baren.

Akibat serangan gencar Belanda, Pocut Baren pernah terdesak ke pedalaman hutan dan memutuskan bermarkas di sebuah gua di Gunong Mancang. Belanda mengalami kesulitan melacak keberadaan gua ini. Hingga suatu saat, keberadaan gua tersebut diketahui. Usaha tentara Belanda untuk sampai di gua itu kandas di tengah jalan karena ketika sedang mendaki gunung, beratus-ratus batu digulingkan ke bawah oleh anak buah Pocut Baren sehingga banyak tentara Belanda yang tewas. Akhirnya Belanda mendapat akal untuk mengalirkan 1200 kaleng minyak tanah ke arah gua lalu dibakar. Banyak jatuh korban karena penyerangan ini. Pocut Baren sendiri terkena peluru di kakinya sehingga perlawanannya terpaksa berhenti. Ia lalu ditahan di Kutaraja, namun anak buahnya tetap melakukan perlawanan.

Pocut pun ditangkap dan dijadikan tawanan oleh Belanda. Pocut dibawa ke Meulaboh. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1910, tahun berakhirnya perlawanan Pocut Baren, pendekar Aceh Barat yang gagah berani.

Kaki Pocut terkena infeksi cukup parah. Tim dokter Belanda yang ada di Meulaboh tidak sanggup untuk mengobatinya. Akhirnya Pocut di bawa ke Kutaraja (Banda Aceh) untuk mendapatkan pengobatan yang lebih baik. Semakin hari luka infeksi di kaki Pocut semakin parah. Untuk menyelamatkan jiwanya, akhirnya tim dokter mengambil keputusan untuk mengamputasi kakinya.

Setelah Pocut Baren dinyatakan sembuh dari sakitnya dan diyakini oleh Belanda tidak akan melakukan perlawanan lagi, maka ia dikembalikan ke kampung halamannya di Tungkop sebagai seorang uleebalang.

Namun perlawanan Pocut tidaklah berhenti sampai disitu saja. Walau ia tidak dapat berperang langsung namun jiwa panglimanya terus berkobar. Dia terus menyemangati para anak buahnya. Melalui syair dan pantun dia menyemangati para pengikutnya agar tetap bersemangat melakukan perlawanan terhadap kaphe Belanda. Pantun-pantunya yang popular dan mengesankan itu masih belum dilupakan orang.


Hadiah Kaki Palsu

Sungguh hebat dan cerdas srikandi dari Tungkop ini. Disamping gagah berani di medan perang ternyata ia juga cerdas di bidang pemerintahan, pertanian, dan kesusateraan. Tak heran jika rakyatnya sangat menghormati dan mencintainya. Dibawah kepemimpiannnya Tungkop menjadi daerah yang makmur.

Perubahan yang menyolok dari daerah miskin yang rawan pemberontakan menjadi daerah yang aman dan makmur membuat pemerintah Belanda yang membawahi daerah tersebut menjadi gembira. Adalah  Letnan H. Scheurleer, Komandan Bivak Tanoh Mirah yang juga merangkap penguasa sipil di daerah tersebut. la melaporkan kepada atasannya di Kutaraja bahwa Pocut Baren telah berusaha dengan sungguh-sungguh menciptakan ketertiban, keamanan dan kemakmuran. Sebagai tanda terima kasihnya, Veltman sekali lagi memperlihatkan kebaikan hatinya kepada Pocut Baren. Ia menghadiahkan sebuah kaki palsu yang di buat dari kayu untuk wanita itu. Kaki palsu tersebut didatangkan langsung dari negeri Belanda.


Wafat

Pocut Baren meninggal pada tahun 1933 dan dimakamkan di kampung halamannya, Kemukiman Tungkop, Kecamatan Sungai Mas, Kabupaten Aceh Barat. Sebagai bentuk penghargaan pemerintah memberi nama salah satu jalan di Nanggroe Aceh dengan nama Pocut Baren.


Sumber: