Biografi dr Moewardi - Pahlawan Nasional

dr Moewardi
Dr. Moewardi Lahir di Pati, Jawa Tengah, 1907, Ia adalah seorang pahlawan nasional Indonesia dan seorang dokter lulusan STOVIA. Setelah lulus, beliau melanjutkan pendidikan Spesialisasi Telinga Hidung Tenggorokan (THT). Selain itu Ia adalah ketua Barisan Pelopor tahun 1945 di Surakarta dan terlibat dalam peristiwa proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam acara tersebut, ia juga turut memberikan sambutan setelah Soewirjo, wakil wali kota Jakarta saat itu.

Di Solo, dr.Muwardi mendirikan sekolah kedokteran dan membentuk gerakan rakyat untuk melawan aksi-aksi PKI. Pada peristiwa Madiun dia adalah salah satu tokoh yang dikabarkan hilang karena diculik dan diduga dibunuh oleh pemberontak selain Gubernur Soeryo.

Biografi

Muwardi dilahirkan di Desa Randukuning, Pati, Jawa Tengah, Rebo Pahing 30 Januari 1907 jam 10.15 malam 15 Besar tahun Jawa 1836. Sebagai putera ke-7 dari Mas Sastrowardojo dan Roepeni, seorang mantri guru. Sebuah kedudukan yang sangat berwibawa pada jaman itu. Muwardimemiliki 13-saudara, laki-laki dan perempuan. Dari keturunan Sastrowardojo yang hidup ada yang menjadi pegawai Pamong Praja, ada juga tetap menjadi wiraswasta saja. Diantaranya menjadi seorang analis kesehatan yaitu Supardi, Pemimpin Laboratorium Kesehatan Daerah Jogjakarta sekitar tahun 1940-1950 yang merupakan kakak dari Muwardi. Analis kesehatan yang lainnya adalah adik Muwardi yaitu Darsono.

Menurut silsilah, dari pihak ayah Muwardi masih keturunan langsung dari Raden Sunan Landoh atau Syeh Jangkung sedangkan dari pihak Ibu Muwardi masih keturnan Ario Damar (Bupati Palembang). Namun dari ketigabelas bersaudara ini ada tiga yang meninggal saat masih kecil yaitu : Soenardi, Tarnadi dan Soedewi. Muwardi sangat beruntung lahir dari golongan ningrat sehingga tak heran, Muwardi dan kakak adiknya dapat menikmati berbagai fasilitas salah satunya adalah pendidikan yang layak dan bermutu.

Pada tahun 1913 Bapak Sastrowardojo pindah ke Desa Jakenan untuk mengajar di Sekolah Rakyat Bumi Putera, karena kepintarannya Muwardi dipindahkan ke HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Kudus yaitu sekolah dasar dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Sebagai seorang pendidik, Sastrowardojo ingin agar putra-putrinya menjadi orang yang lebih pandai dan memiliki kedudukan lebih tinggi daripada dirinya. Melihat kepandaian Muwardi dan rasa sayang jika anaknya sekolah terlalu jauh dari rumah Sastrowardojo memindahkan Moewardi ke Europesche Lagere School di Pati.

Setamat dari ELS tahun 1921 ayahnya meminta Dr. Umar di Cilacap (Ayah dari Mayjen Ernst Julius Magenda-Direktur Intelejen ABRI era 1960-an) memberi rekomendasi agar Moewardi dapat masuk ke STOVIA (School Tot Opleiding Voor Inlandshe Aartsen) atau Sekolah Dokter Bumi Putera di Jakarta. Pada jaman itu, tidak hanya kecerdasan otak yang dapat mengantarkan seseorang untuk menikmati pendidikan namun diperlukan juga rekomendasi dari seseorang yang terpandang. Hampir 12 tahun waktu yang diperlukan oleh Muwardi untuk dapat mendapatkan ijazah dokternya, bukan karena bodoh.

Keaktifannya di dunia mahasiswa dan kepanduanlah yang menyebabkan Muwardi harus menunda-nunda kelulusannya. Meski dirasa berat dan membutuhkan waktu yang cukup lama (baru lulus 1 Desember 1933), namun seharusnya ijazah tersebut sudah dua tahun terdahulu (1931) diberikan kepada Muwardi. Kecerdasan Moewardi masih diingat oleh para gurunya di STOVIA. Seorang gurunya bahkan menawarkan jabatan sebagai Beroeps-Assistant atau Asisten Proffesor pada Geneeskundige Hoge School (Sekolah Tinggi Kedokteran bagian Hidung, Kerongkongan dan Telinga).

Karir

Perjalanan pendidikan dr Moewardi dimulai pada 1926, beliau tercatat sebagai mahasiswa tingkat III School Tot Opleiding Voor Indische Arsten (STOVIA). dr Moewardi kemudian melanjutkan belajar di Nederlandsch Indische Arts School (NIAS) hingga lulus sebagai dokter pada tahun 1931.

Setelah 5 tahun berpraktik sebagai dokter, dr Moewardi kembali memperdalam ilmunya dengan mengambil spesialisasi Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT) di Geneeskundig Hoogeschool (GH) Salemba dan menjadi asisten pada rumah sakit CBZ, yang kini berubah nama menjadi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Ia resmi menjadi dokter spesialis pada tahun 1939.

Yang patut dibanggakan, dr Moewardi tak hanya aktif sebagai dokter, namun ia juga dikenal pandai pencak silat dan aktif dalam bidang kepanduan. Dr Moewardi merupakan pemimpin di kepanduan Jong Java Padvinderij.

Pada era persiapan Proklamasi Kemerdekaan RI, dr Moewardi turut mempersiapkan pelaksanaan acara pembacaan teks proklamasi yang dilakukan di rumah Soekarno.

Setelah proklamasi kemerdekaan dibacakan, dr Moewardi ditunjuk sebagai Ketua Umum Barisan Pelopor (kemudian berubah nama menjadi Barisan Banteng), menggantikan Bung Karno yang diangkat menjadi presiden. Pada awal tahun 1946, dr Moewardi memindahkan Barisan Banteng dari Jakarta ke Solo akibat semakin memanasnya situasi politik dan keamanan di Jakarta saat itu.

dr Moewardi kemudian terjun ke dunia politik dengan membentuk Gerakan Rakyat Revolusioner (GRR) pada Agustus 1948 untuk melawan aksi-aksi anti pemerintah yang dilancarkan oleh Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang merupakan onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI). dr Moewardi diculik pada 13 September 1948, saat menjalankan praktik sebagai dokter di RS Jebres, Solo. Hingga kini ia tak pernah terlihat kembali dan hilang secara misterius.

dr Moewardi dianugerahi gelar pahlawan melalui SK Presiden RI No 190 tahun 1964, namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit di Solo, Jawa Tengah. Selain itu, namanya juga digunakan sebagai nama jalan di beberapa kota seperti Jakarta, Cianjur, Solo, dan Denpasar.