Soerjopranoto memiliki nama kecil yakni Iskandar, adalah kakak Soewardi Soeryaningrat (Ki Hadjar Dewantara). Secara genealogis, Soerjopranoto adalah seorang bangsawan. Ia adalah putra sulung dari Kanjeng Pangeran Aryo (KPA) Suryaningrat, yang mana sang ayah sendiri adalah putra tertua dari Paku Alam III. Ini berarti Suryopranoto adalah anak laki-laki pertama dari seorang putra mahkota. Namun, hak naik tahta sang ayah menjadi batal karena ia terserang penyakit mata yang mengakibatkan kebutaan.
Iskandar, sebagai anak bangsawan, termasuk golongan pribumi yang kedudukannya "disamakan" dengan kalangan bangsa Eropa. Dengan statusnya itulah ia bisa masuk Sekolah Rendah Eropa atau Europeesche Lagere School (ELS). Setamat dari ELS, Suryopranoto mengambil Klein Ambtenaren Cursus atau Kursus Pegawai Rendah, yang kurang lebih setingkat dengan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang sekarang setara dengan SMP.
Lulus dari kursus tersebut, Suryopranoto diterima menjadi pegawai kantor pemerintahan kolonial di Toeban. Ia akhirnya dipecat dari pekerjaan tersebut karena menempeleng seorang pejabat kolonial berkulit putih.
Sekembalinya dari Toeban, Suryopranoto langsung diangkat sebagai wedono sentono di Praja Pakualaman dengan pangkat panji. Jabatan itu kurang lebih sama dengan kepala bagian administrasi istana.
Pada tahun 1900, Suryopranoto mendirikan sebuah organisasi bernama Mardi Kaskaya. Sebagian besar pengurus organisasi ini adalah kerabat Pakualaman. Mardi Kaskaya kurang lebih mirip sebuah koperasi simpan-pinjam. Pada akhir tahun 1901, Suryopranoto mendirikan sebuah klub pertemuan dengan nama Societeit Sutrohardjo. Klub ini kurang lebih merupakan sebuah perpustakaan yang sangat sederhana. Dalam klub ini, orang bisa membaca berbagai bacaan, seperti surat kabar dan majalah.
Sehubungan dengan keberadaan Mardi Kaskaya, ruang gerak rentenir semakin berkurang. Mereka sering menemui umpatan dan cacian ketika keluar masuk kampung-kampung. Akibatnya, konflik terbuka sering terjadi. Insiden-insiden tersebut dianggap oleh pejabat kolonial sebagai gangguan ketentraman umum karena keberadaan Mardi Kaskaya dengan Suryopranoto sebagai pendirinya. Oleh karena itulah pejabat kolonial "menyekolahkan" Suryopranoto ke MLS (Middelbare Landbouw School = Sekolah Menengah Pertanian) di Bogor.
Soerjopranoto dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 11 Januari tahun 1871 sebagai putera tertua dari Kanjeng Pangeran Haryo Soerjaningrat putra sulung Sri Paku Alam III ( yang tidak dapat menjadi Paku Alam IV karena buta ). Pakualaman adalah daerah Kulonprogo.
Istri beliau bernama Djauharin Insjiah putri almarhum Kyai haji Abdussakur, Penghulu (Landraad) Agama Islam, dari Karanganyar Banyumas, telah wafat terlebih dahulu dalam tahun 1951 pada usia 67 tahun.
Perjuangan
Pangeran Soerjopranoto dan juga bangsawan-bangsawan lainnya di Praja Paku Alaman, umumnya tidak pernah menyembunyikan kenyataan sejarah, bahwa di dalam tubuh kerabat Paku Alaman itu, terutama Sri Paku Alam ke-II telah mengalir darah rakyat jelata yang segar yang berasal dari seorang petani di desa Sewon, Bantul, Yogyakarta, yang bernama Ronodigdoyo.
Pada zaman Perang Perebutan Mahkota III (1747-1755) ia ikut terjun dalam perjuangan melawan Belanda (VOC), dan pernah memberikan jasa yang luar biasa kepada Pangeran Mangkubumi, adik Sultan Pakubuwono II. Sebab itu kepadanya dijanjikan kedudukan yang baik, apabila pemberontakan Pangeran Mangkubumi itu berhasil dengan kemenangan.
Tapi sesudah perang selesai dan Pangeran Mangkubumi memperoleh bagian Barat Kerajaan Mataram setelah Perjanjian Gijanti (1755) dan ia naik tahta menjadi Sultan Hamengku Buwono ke-I, Sri Sultan alpa akan janjinya, dan memberikan Ronodigdoyo pada kedudukannya sebagai prajurit.
Karena sakit hati, maka Ronodigdoyo meninggalkan istana tanpa pamit dan kemudian mendirikan perguruan di desa Sewon. Ia kawin dengan gadis desa setempat dan kemudian beranak tiga orang, yaitu : Prawironoto, Prawirodirdjo, dan seorang anak perempuan, Sedah Mirah (Sirih Mirah).
Dikemudian hari putera mahkota, yang nantinya menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono ke-II, yang belum tahu menahu asal usul Sedah Mirah, telah jatuh cinta kepada gadis desa itu. Maka tanpa sengaja setelah mereka menikah, Ronodigdoyo terangkat dengan sendirinya kepada kedudukan yang mulia, sebagai besan Sri Sultan Hamengku Buwono Ke-I.
Ketika Sultan yang pertama mangkat pada tahun 1792, putera mahkota segera naik tahta menjadi Sultan Hamengku Buwono ke-II, dan Sedah Mirah diangkat menjadi permaisuri, bergelar Kanjeng Ratu Kencana Woelan (atau Kencana Woengoe). Dari permaisuri yang berasal dari rakyat jelata ini dilahirkan tiga orang anak, puteri semua, dan ternyata ketiganya diperistri oleh bangsawan-bangsawan yang memiliki kedudukan yang penting dalam sejarah, dan menurunkan pejuang-pejuang bangsa. Yang Pertama adalah Kanjeng Ratu Ayoe yang kemudian menjadi permaisuri Sri Paku Alam ke-II dan menjadi asal keturunan pahlawan-pahlawan nasional Aoejopranoto, dan Ki Hadjar Dewantara. Yang Kedua, Kanjeng Ratu Anom yang diperistri oleh Adipati Madiun dan kemudian yang Ketiga, Kanjeng Ratu Timoer, yang deperistri oleh Patih Sedolawe dan menurunkan Gondokoesoemo, yang cukup dikenal dalam Perang Diponogoro (1825-1830).
Soerjopranoto di zaman pergerakan politik aktif dalam beberapa pergerakan antara lain:
- Boedi Oetomo
- Partai Sarikat Islam
- 0pium-regie Bond
- Perserikatan Personeel Pandhuis Bond (P.P.P.B) mulai periode Sosrokardono.
- Personeel Fabrieks Bond (P.F.B) yang dalam tahun 1912 mengadakan pemogokan atas modal gula di onderneming-onderneming Belanda.
- Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (P.P.K.B), mulai dari Abdul Moeis, Semaoen dan H. Agus Salim. Ini organisasi gabungan dari 22 Sarekat Buruh.
- Redaksi "Fajar" kemudian "Mustika" (sesudah H. Agus Salim) kemudian juga Redaksi "Pahlawan", (Kaderblad dari 0pium-regie Bond)
- "Suara Berkelahi" (Kaderblad dari P.P.K.B).
Di zaman R.I.-Yogyakarta disamping menjadi guru Taman Siswa, beliau tidak sedikit memberi kursus-kursus kepada para pemuda, selaku seorang yang partai-loos. Pada waktu itu beliau menerbitkan dua buku : satu tentang pelajaran Sosialisme dan dua tentang ilmu Tata-negara, guna secara sederhana lekas menambah pengetahuan dan pengertian dasar pada golongan pemuda-pemuda dan rakyat lapisan bawah yang sedang berjuang melaksanakan perang kemerdekaan.
Pada era 1949 sampai dengan 1958 beliau sudah berhenti sama sekali dari aktivitas dan kesibukan bekerja dan hanya menjadi : Simpatisan P.S.I.I dan simpatisan aliran politik yang progresif dan cinta tanah air,
Anggota kehormatan Kongres Rakyat.
Pada tanggal 15 Oktober 1959 jam 24.00 beliau meninggal dunia disebabkan usianya yang sudah 88 tahun di Cimahi, Jawa Barat. Pada tanggal 17 Oktober 1959, jenazah dikebumikan dimakam keluarga "Rachmat Jati" di Kota Gede Yogyakarta dengan upacara pamakaman sebagai Perwira Tinggi.
(Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)