Kiras Bangun
Alias: Garamata
Tempat Lahir: Batukarang, Karo,
Sumatera Utara
Tanggal Lahir: tahun 1852
Meninggal: tahun 1942
Warga Negara: Indonesia
|
Kiras Bangun alias Garamata lahir dari seorang ayah yang menguasai adat-istiadat Karo di daerahnya Batukarang, ayahnya memiliki 3 orang istri. Kiras Bangun memiliki 5 bersaudara,1 orang perempuan dan 4 orang laki-laki. Saat masih muda, Kiras gemar sekali berkunjung dari satu kampung ke kampung lain dalam rangkaian kunjungan kekeluargaan untuk terwujudnya ikatan kekerabatan warga Merga Silima serta terpeliharanya norma-norma adat budaya Karo dengan baik.
Kiras Bangun mengenyam pendidikan di Binjai, sampai menguasai bahasa Melayu serta aksara Karo. Sejak berusia muda, Kiras Bangun dikenal sebagai Tokoh yang bijak melakukan pembelaan, terhadap hak-hak rakyat yang ingin dirampas oleh penjajahan kolonial Belanda, yang menjajah bangsanya. Selama hidupnya, Kiras Bangun mempunyai 4 jabatan yaitu: Sebagai Sesepuh dan Ketua Adat Karo, Urung Lima Senina; Penghulu Lima Senina Batu Karang; Juru damai perang antar desa; Pemimpin Urung Tanah Karo.
Awal permusuhan dengan Penjajah belanda
Pada tahun 1870, Belanda telah menduduki Sumatera Timur yaitu di Langkat dan sekitar Binjai membuka perkebunan tembakau dan karet. Belanda ingin memperluas usaha perkebunan ke Tanah Karo dengan alasan tanah di sekitar Binjai telah habis ditanami.
Kepopuleran Kiras Bangun sendiri akhirnya diketahui oleh Belanda dari penduduk Langkat dan lebih jelas lagi dari Nimbang Bangun yang masih ada ikatan keluarga dengannya. Untuk itu timbul keinginan dari Belanda untuk menjalin persahabatan dengan Garamata agar diperbolehkan masuk ke Tanah Karo guna membuka usaha perkebunan.
Persetujuan Garamata atas kedatangan Belanda akan diberi imbalan uang, pangkat dan senjata. Untuk melancarkan niatnya ini, pihak Belanda mengutus Nimbang Bangun yang sudah berkali-kali membujuk Kiras Bangun agar Belanda diberi ijin masuk ke Tanah Karo. Namun keinginan Belanda untuk memasuki Tanah Karo tetap ditolak. Keputusan ini diambil setelah dilakukan musyawarah dengan raja-raja Tokoh Karo yang lainnya.
Pada tahun 1902, akhirnya pihak Belanda berhasil memasuki Tanah Karo dengan mengirim Guillaume bersama sejumlah serdadu Belanda sebagai pengawalnya setelah sebelumnya mendapat izin dari salah seorang Kepala Urung lain.
Melihat hal ini, Garamata pun berulang kali memberikan peringatan pada pihak Belanda untuk segera meninggalkan Tanah Karo tetapi Guillaume tidak mau beranjak. Situasi di Tanah Karo sendiri sudah semakin memanas semenjak Guillaume dan sejumlah pengawalnya bersenjata lengkap menduduki Kabanjahe. Garamata dan pengikutnya berupaya untuk menghimpun segenap kekuatan.
Pertemuan Urung atau Rapat pimpinan merupakan satu-satunya sarana yang paling mudah untuk menyampaikan berbagai macam situasi kepada segenap tokoh Urung/Pasukan Urung serta melaksanakan rencana-rencana. Bekerja sama dengan beberapa Urung, Garatama akhirnya berhasil mengusir Guillaume, setelah 3 bulan bermukim di Kabanjahe. Peristiwa pengusiran itulah yang menjadi puncak permusuhan dengan Belanda.
Perjuangan melawan Penjajah
Tahun 1904 Kiras Bangun dan pasukannya mengadakan perang terbuka menghadapi Belanda di desa Lingga, Batu Karang, Negeri dan Liren, Tahun 1905 ke Aceh untuk bergabung dengan Pejuang Aceh melakukan gerilya dan sabotase pada saat Belanda membuka jalan Medan-Kotacane. Dalam melakukan perjuangannya, Kiras Bangun terkenal dengan sumpah perjuangannya dengan para pasukannya yang berbunyi:
Sumpah perjuangan Garatama
Tangar ko nakan si nipan kami enda,Arti Sumpah Perjuangan Garamata:
Tangar ko bengkau si nipan kami enda,
Tang m kami enda,
Kami ersumpah bekas arih – arih kami ersada ngelawan Belanda
Adi ia reh ku Tanah Karo njajah kami
Ras ipelawes sienggo ringan I kabanjahe si bagi
Mara – mata Belanda.
Ndigan pagi kami engkar ibas perbelawanen kami enda
Mate kami ibunuh nakan, ibunuh bengkau, ibunuh lau
Si ni inem kami enda janah keturunen kami
La nai b4nci selamat merjak Tanah Karo enda.
Nasi yang kami makan lah lauk yang kami makanlah air yang kami minum
Kami Bersumpah atas kata sepakat Bersumpah bersatu melawan Belanda Kalau mereka datang menjajah Tanah Karo. Diusir bersama mata mata mereka yang tinggal di Kaban Jahe
Kalau kami Ingkari sumpah ini Maka Matilah kami karena nasi, lauk dan air yang kami minum Dan keturunan kami tidak akan selamat menginjak Tanah Karo.
Melalui kerja keras, Kiras Bangun berhasil menggalang kekuatan lintas agama di Sumatra Utara dan Aceh untuk menentang penjajahan Belanda. Kerjasama yang digalang tersebut menghasilkan pasukan yang disebut pasukan Urung yang beberapa kali terlibat pertempuran dengan Belanda di Tanah Karo.
Kiras gugur pada 22 Oktober 1942 dan jenazahnya dimakamkan di Desa Batukarang, Kecamatan Payung. Kiras Bangun dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada bulan November 2005 dalam kaitan peringatan Hari Pahlawan 10 November 2005, dengan dikeluarkannya Keppres No. 82/TK/2005.