Oleh masyarakat Minahasa tanggal kelahirannya diperingati sebagai Hari Ibu Maria Walanda Maramis. Maria adalah sosok yang dianggap sebagai pendobrak adat, pejuang kemajuan dan emansipasi perempuan di dunia politik dan pendidikan. Menurut Nicholas Graafland, dalam sebuah penerbitan "Nederlandsche Zendeling Genootschap" tahun 1981, Maria disebut sebagai salah satu perempuan teladan Minahasa yang memiliki "bakat istimewa untuk menangkap mengenai apapun juga dan untuk memperkembangkan daya pikirnya, bersifat mudah menampung pengetahuan sehingga lebih sering maju daripada kaum lelaki".
Kehidupan awal
Maria lahir di Kema, sebuah kota kecil yang sekarang berada di kabupaten Minahasa Utara, dekat Kota Airmadidi propinsi Sulawesi Utara. Orang tuanya adalah Maramis dan Sarah Rotinsulu. Dia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara dimana kakak perempuannya bernama Antje dan kakak laki-lakinya bernama Andries. Andries Maramis terlibat dalam pergolakan kemerdekaan Indonesia dan menjadi menteri dan duta besar dalam pemerintahan Indonesia pada mulanya.
Saat Maris berusia enam tahun, orang tuanya menginggal karena jatuh sakit. Dan akhirnya Maramis dan dibesarkan di Maumbi oleh pamannya yakni Rotinsulu yang waktu itu adalah Hukum Besar di Maumbi.
Oleh pamannya, Maramis beserta kakak perempuannya dimasukkan ke Sekolah Melayu di Maumbi. Sekolah itu mengajar ilmu dasar seperti membaca dan menulis serta sedikit ilmu pengetahuan dan sejarah. Ini adalah satu-satunya pendidikan resmi yang diterima oleh Maramis dan kakak perempuannya karena perempuan pada saat itu diharapkan untuk menikah dan mengasuh keluarga.
Maramis menikah dengan Joseph Frederick Caselung Walanda, seorang guru bahasa pada tahun 1890. Setelah pernikahannya dengan Walanda, ia lebih dikenal sebagai Maria Walanda Maramis. Mereka mempunyai tiga anak perempuan. Dua anak mereka dikirim ke sekolah guru di Betawi (Jakarta). Salah satu anak mereka, Anna Matuli Walanda, kemudian menjadi guru dan ikut aktif dalam PIKAT bersama ibunya.
Dorongan Bumi Minahasa
Pada akhir abad 19 dan awal abad 20 terbagi banyak klan (walak) yang berada dalam proses ke arah satu unit geopolitik yang disebut Minahasa dalam suatu tatanan kolonial Hindia Belanda. Sejalan dengan hal ini Hindia Belanda mengadakan perubahan birokrasi dengan mengangkat pejabat-pejabat tradisional sebagai pegawai pemerintah yang bergaji dan di bawah kuasa soerang residen. Komersialisasi agraria melahirkan perkebunan-perkebunan kopi dan kemudian kopra membuat ekonomi ekspor berkembang pesat, penanaman modal mengalir deras, dan kota-kota lain tumbuh seperti Tondano, Tomohon, Kakaskasen, Sonder, Romboken, Kawangkoan, dan Langowan.
Organisasi PIKAT
Ide, opini dan pemikiran Maramis dituliskannya di sebuah surat kabar setempat yang bernama Tjahaja Siang. Dalam artikel-artikelnya, ia menunjukkan pentingnya peranan ibu dalam keluarga dimana adalah kewajiban ibu untuk mengasuh dan menjaga kesehatan anggota-anggota keluarganya. Ibu juga yang memberi pendidikan awal kepada anak-anaknya.
Menyadari wanita-wanita muda saat itu perlu dilengkapi dengan bekal untuk menjalani peranan mereka sebagai pengasuh keluarga, Maramis bersama beberapa orang lain mendirikan Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunannya (PIKAT) pada tanggal 8 Juli 1917. Tujuan organisasi ini adalah untuk mendidik kaum wanita yang tamat sekolah dasar dalam hal-hal rumah tangga seperti memasak, menjahit, merawat bayi, pekerjaan tangan, dan sebagainya.
Melalui kepemimpinan Maramis di dalam PIKAT, organisasi ini bertumbuh dengan dimulainya cabang-cabang di Minahasa, seperti di Maumbi, Tondano, dan Motoling. Cabang-cabang di Jawa juga terbentuk oleh ibu-ibu di sana seperti di Batavia, Bogor, Bandung, Cimahi, Magelang, dan Surabaya.
Pada tanggal 2 Juni 1918, PIKAT membuka sekolah Manado, yakni sekolah rumah tangga untuk perempuan-perempuan muda, yaitu Huishound School PIKAT. Untuk menambah pemasukan bagi organisasi, Maria berjualan kue dan hasta karya. Semangat dan kerja keras Maria menggugah hati orang-orang terpandang unutk berdonasi.
Pada tahun 1932, PIKAT mendirikan Opieiding School Var Vak Onderwijs Zeressen atau Sekolah Kejuruan Putri. Maria juga aktif mewujudkan cita-citanya supaya kaum perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Maria yakin bahwa perempuan memiliki kemampuan yang sama untuk menuntut ilmu seperti laki-laki. Selain itu, Maria juga berjuang supaya perempuan diberi tempat dalam urusan politik, misalnya hak untuk memilih dan duduk dalam keanggotaan Dewan Kota atau Volksraad. Maramis terus aktif dalam PIKAT sampai pada kematiannya pada tanggal 22 April 1924.
Hak pilih wanita di Minahasa
Pada tahun 1919, sebuah badan perwakilan dibentuk di Minahasa dengan nama Minahasa Raad. Mulanya anggota-anggotanya ditentukan, tapi pemilihan oleh rakyat direncanakan untuk memilih wakil-wakil rakyat selanjutnya. Hanya laki-laki yang bisa menjadi anggota pada waktu itu, tapi Maramis berusaha supaya wanita juga memilih wakil-wakil yang akan duduk di dalam badan perwakilan tersebut. Usahanya berhasil pada tahun 1921 dimana keputusan datang dari Batavia yang memperbolehkan wanita untuk memberi suara dalam pemilihan anggota-anggota Minahasa Raad.
Tutup usia
Maria Walanda Maramis meninggal di Maumbi, Sulawesi Utara, 22 April 1924 pada umur 51 tahun. Untuk menghargai peranannya dalam pengembangan keadaan wanita di Indonesia, Maria Walanda Maramis mendapat gelar Pahlawan Pergerakan Nasional dari pemerintah Indonesia pada tanggal 20 Mei 1969, dengan dikeluarkannya Keppres No. 12/TK/1969.
Untuk mengenang jasanya, telah dibangun Patung Walanda Maramis yang terletak di Kelurahan Komo Luar, Kecamatan Wenang, sekitar 15 menit dari pusat kota Manado yang dapat ditempuh dengan angkutan darat. Di sini, pengunjung dapat mengenal sejarah perjuangan seorang wanita asal Bumi Nyiur Melambai ini. Fasilitas yang ada saat ini adalah tempat parkir dan pusat perbelanjaan.
(sumber: Wikipedia bahasa Indonesia, Merdeka.com)