Gerbang Makam Syeihk Burhanuddin |
Nama ulakan sendiri berasal dari sebutan Penolakan untuk tempat empat sahabat syeikh Burhanuddin yang ditolak kembali belajar dengan Syeikh Abdurrauf dan diperintah untuk menjadi murid Syeikh Burhanuddin atas perintah Syeikh Abdurrauf sendiri sekaligus membantu Syeikh Burhanuddin dalam mengembangkan Agama Islam di Ranah Minang.
Kehidupan awal dan pendidikan
Syeikh Burhanuddin lahir dengan nama Pono [ Sipono (si Panuah /Samporono) ] tahun 1646 di Sintuk, Kabupaten Padang Pariaman. Ia lahir di Ulakan (Pariaman), sebuah desa di dekat Padang Panjang.
Syeikh Burhanuddin bukan penduduk asli manaruko di Ulakan tetapi dia datang dari Guguak Sikaladi Pariangan Padang Panjang Tanah Datar ayahnya Pampak sati karimun merah bersuku Koto dan Ibunya Cukuik Bilang Pandai bersuku Guci yang sejak 256 tahun sebelumnya sudah merupakan daerah kerajaan Pagaruyung sekitar 30 KM ditimur Pariangan.
Neneknya bernama Puti aka Lundang keturunan Putri bangsawan kakeknya bernama Tantejo Gurhano. Dari pasangan ini lahirlah Ayahnya Pampak Sati Karimun Merah merupakan seorang Datu pandai obat.
Sementara neneknya Puti aka Lundang bersuku Guci garis keturunan dari kuweak di batu hampar putiah lereng gunung merapi.
Kehidupan sehari hari si pono kecil tidak ubahnya seperti anak seusianya yang selalu bejajar dan bermain namun ada kekhususan yang setiap malam diajarkan ayahnya yaitu ilmu kebathinan dan kedigyaan bela diri silat. Dimana bekal pelajaran inilah yang dia sisipi pada pengembangan agama kelak.
Masa kecilnya belum banyak mengenal ajaran Islam, dikarenakan orang tua serta lingkungan masyarakatnya belum banyak mengenal ajaran tersebut. Ketika kecil, ia dan ayahnya masih memeluk agama Budha. Namun kemudian, atas ajakan dan dakwah seorang pedagang Gujarat yang saat itu menyebarkan agama Islam di Pekan Batang Bengkawas (sekarang Pekan Tuo), Syeikh Burhanuddin dan ayahnya kemudian meninggalkan agama Budha dan masuk agama Islam.
Menginjak usia dewasa, Syeikh Burhanuddin mulai merantau dan meninggalkan tempat orang tuanya. Syekh Burhanuddin pernah belajar di Aceh dan berguru kepada Syekh Abdur Rauf as-Singkili, seorang Mufti Kerajaan Aceh yang berpegaruh, yang pernah menjadi murid dan penganut setia ajaran Syekh Ahmad al-Qusyasyi dari Madinah. Oleh Syekh Ahmad keduanya diberi wewenang untuk menyebarkan agama Islam di daerahnya masing-masing.
Selama sepuluh tahun, Syeikh Burhanuddin banyak belajar ilmu-ilmu keislaman maupun tarekat dari gurunya, Syekh Abdur Rauf as-Singkili. Ia mempelajari ilmu-ilmu Bahasa Arab, tafsir, hadis, fikih, tauhid, akhlak, tasawuf, aqidah, syari'ah dan masalah-masalah yang menyangkut tarekat, hakikat dan makrifat.
Mendirikan pesantren dan mengembangkan tarekat Shatariyah
Setelah tiga puluh tahun menuntut ilmu di Aceh, Syeikh Burhanuddin kembali ke tempat asalnya, Minangkabau, untuk menyebarkan ajaran Islam di sana. Pada tahun 1680, ia kembali ke Ulakan dan mendirikan surau di Tanjung Medan yang terletak di kompleks seluas sekitar lima hektare. Di sana, ia menyebarkan ajaran Islam sekaligus mengembangkan Tarekat Sathariyah. Di surau inilah beberapa aktivitas keagamaan dan sosial dilakukan, seperti shalat lima waktu, belajar ilmu agama, musyawarah, berdakwah, termasuk berkesenian dan mempelajari ilmu bela diri. Surau ini kemudian berkembang pesat dan menjadi sebuah Pondok Pesantren. Syeikh Burhanuddin memperoleh penghormatan yang luar biasa oleh masyarakat, sehingga ajaran yang ia bawa mudah diterima di sana. Selain itu, mulai banyak murid dan santri yang berdatangan untuk berguru kepadanya, baik dari wilayah Minangkabau sendiri, Riau, Jambi, Malaka, maupun dari daerah-daerah lain.
Melalui pesantren asuhannya, Syeikh Burhanuddin mengajarkan berbagai disiplin ilmu keislaman kepada para santrinya, seperti ilmu tafsir, hadis, fikih, akidah, dan lain-lain. Selain itu, ia juga memberikan dakwah islamiah melalui pengajian kepada warga masyarakat. Atas usaha Syeikh Burhanuddin tersebut, ajaran Islam cepat menyebar di wilayah Minangkabau.
Wafat
Syeikh Burhanuddin meninggal pada 20 Juni 1704 pada umur 58 tahun. Syeikh Burhanuddin memimpin pesanteren tidak begitu lama, setelah sepuluh tahun memimpin ia meninggal. Kemudian, pesantren tersebut dilanjutkan di bawah kepemimpinan puteranya, Syeikh Abdullah Faqih.
Atas jasa dan perjuangan menyebarkan Islam di Sumatera Barat, hingga saat ini makam Syeikh Burhanuddin mendapat perhatian besar dari para peziarah, terutama oleh para jama'ah Tarekat Shatariyah. Menurut tradisi setempat, ziarah tersebut disebut Basapa atau "bersafar serempak bersama puluhan ribu orang", karena dilakukan setiap hari Rabu, tanggal 10 Shafar.
Sumber:
- Wikipedia
- Suaro Piaman Online