Masa kecil
Muhammad Arifin Ilham lahir tanggal 8 Juni 1969 di Simpang Kertak Baru RT 7/RW 9, kota Banjarmasin, tepat di sebelah rumah neneknya, ibu dari ibunda Arifin. Arifin Ilham adalah anak kedua dari lima bersaudara, dan dia satu-satunya anak lelaki. Ayah Arifin masih keturunan ketujuh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, ulama besar di Kalimantan, sementara ibunya, Hj. Nurhayati, kelahiran Haruyan, Kabupaten Barabay. Saat dilahirkan, Muhammad Arifin Ilham memiliki berat 4,3 kilogram dengan panjang 50 sentimeter.
Arifin kecil selanjutnya tumbuh sehat. Usia setahun sudah bisa berjalan dan tak lama setelah itu ia mulai bisa berbicara. saat masih di SD ia tergolong pemalas dan bodoh. Arifin baru bisa baca-tulis huruf Latin setelah kelas 3.
Di SD Muhammadiyah ini Arifin hanya sampai kelas 3, karena berkelahi melawan teman sekelasnya. Masalahnya, dia tidak rela ada salah seorang temannya yang berbadan kecil diganggu oleh teman sekelasnya yang berbadan cukup besar. Arifin kalah berkelahi karena lawannya jagoan karate. Wajahnya babak belur dan bibirnya sobek. Agar tidak berkelahi lagi, oleh ayahnya Arifin kemudian dipindahkan ke SD Rajawali.
Ayah Arifin tidak banyak berperan mendidik kelima anaknya, namun yang banyak berperan mendidik Arifin adalah ibunda dan nenek Arifin. Pola pendidikan yang diulakukan ibunda dan nenek Arifin sangat keras sekali. Setiap pulang sekolah ia diharuskan untuk tidur siang.
Ia terpaksa berpura-pura tidur, karena ditunggui dan dipelototi oleh sang nenek. Kalau mata melek sedikit, neneknya langsung berteriak-teriak, “Tidur… tidur…!” Meski tak ditunggu sekalipun, ia tak berani kabur karena kalau ketahuan pasti langsung dicubit atau dipukuli. Perlakuan tersebut berlaku untuk ketiga saudarinya yang lain.
Sejak kecil, Arifin slebih suka bergaul dengan anak yang usianya lebih tua. Sehingga membuat wawasan dan pola pikirnya melebihi rekan seusianya.
Kenakalan Arifin berlanjut, suatu saat ia pernah diketahui mer0k0k sehingga membuah sang ayah marah sampai menamparnya. Perlakukan tersebut mempermalukannya dan membuatnya sakit lahir batin. Hingga ia kabur dari rumah dan bermalam di rumah di rumah Ahmad, sahabat mainnya. Namun tak lama setelah dibujuk Ibunya yang menceritakan bahwa ayahnya sakit keras gara-gara memikirkan Arifin. Arifinpun bersedia pulang bersama ibunya. Sampai di rumah, Arifin langsung memohon maaf kepada ayahnya yang langsung memeluknya.
Masa remaja dan Masuk Pesantern
Lulus SD Arifin mendapat nilai dengan baik. Nilai pendidikan agamanya biasa-biasa saja, namun nilai pengetahuan umumnya cukup bagus sehingga ia bisa masuk ke SMP Negeri I Banjarmasin, sekolah favorit di ibu kota Kalimantan Selatan. Meski demikian, kenakalannya tidak berhenti. Ia masih suka bermain dengan anak-anak yang lebih tua darinya, serta bermain jud!.
Kenakalan Arifin berhenti setelah Orang tuanya berangkat naik Haji tahun 1982. Saat kedua orang tuanya pulang dari Tanah Suci, mereka sangat terkejut melihat perubahan sikap Arifin. Belakangan, Arifin yang saat itu baru kelas 1 SMPN bahkan minta dimasukkan ke pesantren.
Menjelang saat penerimaan rapor semester akhir kelas 1 SMP, Arifin diajak oleh kedua orang tuanya berkunjung ke Pesantren Al-Fallah di kilometer 24, Banjarmasin. Tapi, Arifin menolak untuk dimasukkan ke pesantren itu.
Arifin ternyata tidak keberatan untuk nyantri di Pulau Jawa. Begitu menerima rapor kenaikan, ke kelas 2 SMP, Arifin bersama adiknya, Siti Hajar, diantar oleh sang ibu ke Jakarta tahun 1983. Kedua kakak-beradik itu kemudian dimasukkan ke Pesantren Darunnajah di Ulujami, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Menjadi Santri
Saat ia masuk tahun 1983, uang masuknya masih sangat murah. Saat itu jumlah santrinya baru sekitar 300 orang, dan setiap anak ditarik uang masuk Rp50.000, serta uang makan setiap bulan Rp22.000. Padahal, untuk sekali makan di warteg saja, waktu itu sudah seribu rupiah. Jadi, wajar kalau dengan biaya sebesar itu menu pokok setiap hari tidak lepas dari tahu tempe.
Di samping masalah makan dan fasilitas tempat tinggal, ada masalah lain yang membuat Arifin tidak betah di pesantren. Selain kurang serius dalam belajar, ia merasa sangat berat mengikuti materi pelajaran agama di pesantren itu.
Seharusnya, untuk masuk di tingkat Tsanawiyah [tingkat SMP dengan pendidikan agama] harus berijazah Ibtidaiyah [tingkat SD dengan tambahan pendidikan agama]. Sedangkan Arifin sendiri berasal dari SD umum dan pengetahuan agamanya pun sangat tipis. Ia belum lancar membaca dan menulis Arab. Padahal, itu merupakan materi utama pelajaran di tingkat Tsanawiyah.
Arifin tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya. Memasuki semester dua, ia berusaha memacu diri. Kalau orang lain bisa, ia pun harus bisa, begitu tekadnya. Usahanya tidak sia-sia, ia berhasil naik ke kelas II. Di kelas ini ia memacu diri lebih keras lagi. Hasilnya, sangat fantastis. Ia berhasil naik kelas dengan nilai yang cukup bagus, sehingga nilainya di atas rata-rata. Belakangan, ia bahkan masuk ranking sepuluh besar di kelasnya.
Tahun berikutnya, Arifin tidak hanya bernilai bagus, namun juga menjadi bintang di bidang olahraga dan kesenian. Selain lari dan badminton, ia berhasil menjadi juara membaca puisi. Hanya, dalam bidang pidato, Arifin masih belum pede [percaya diri]. Setiap kali ada acara latihan berpidato, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Sebenarnya, ia ingin sekali bisa tampil berpidato. Tetapi, ia selalu diselimuti ketegangan dan ketakutan yang luar biasa setiap kali akan melangkahkan kakinya ke podium.
Namun setelah berlatih keras, Ia tidak lagi mandi keringat dingin dan gemetaran setiap kali harus naik mimbar di hadapan teman-teman santrinya untuk berlatih pidato. Ia pun mulai mampu mengatur kata demi kata yang harus ia sampaikan dalam setiap latihan pidatonya. Kepercayaan dirinya terus bertambah, sehingga ia pun mulai berani tampil berceramah di luar pesantren. Setiap kali ia pulang liburan ke rumah orang tuanya di Banjarmasin, ia mulai memberanikan diri berceramah di Dakwatul-Chair, surau yang lokasinya tidak jauh dari rumahnya.
Akhirnya, di usianya yang masih sangat remaja, ia sudah menjadi penceramah agama dari masjid ke masjid. Bahkan Arifin pernah diminta untuk berkhotbah Jumat di Masjid Al-Jihad, masjid orang-orang Muhammadiyah yang cukup dikenal di Banjarmasin. Kepiawaiannya berpidato ia pun berhasil menjadi juara di berbagai lomba pidato. Selain di Pesantren Darunnajah, ia berhasil menjadi juara pidato tingkat Nasional dan tingkat Asean.
Memasuki tahun kedua, setiap santri di Darunnajah diharuskan berkomunikasi dengan bahasa Arab atau Inggris. Di kalangan teman-temannya, Arifin dikenal lebih piawai berbahasa Inggris daripada berbahasa Arab. Selain itu iapun dikenal jago berkelahi, perkelahian terjadi bila terjadi ketidakadilan atau tindak pencurian di lingkungan Pesantren. Namun akbatnya sering berkelahi, Arifin sering terkena hukuman yakni digunduli.
Pindah Sekolah, mulai berceramah
Merasa diperlakukan tidak adil, Arifin mulai merasa tidak nyaman sekolah di pesantren itu. Ia pun memutuskan keluar sekolah, meski baru duduk di kelas dua aliyah [tingkat SMU]. Setelah mengundurkan diri dari pesantren itu, Arifin pun masuk ke Pesantren Assyafi’iyah di daerah Bali Matraman, Tebet, Jakarta Selatan.
Tahun 1987 Arifin langsung masuk ke kelas 2 Aliyah Assyafi’iyah. Di tempat ini ia tidak mondok di pesantren sehingga bisa lebih bebas mengekspresikan kemampuannya berpidato. Awalnya, ia hanya diminta menggantikan Ustadz Ahmad yang berhalangan hadir karena beliau harus berangkat ke luar negeri. Ia dijemput dengan mengendarai motor Vespa dan pulangnya dibelikan nasi goreng.
Undangan ceramah kedua datang untuk peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Tapi, porsinya juga hanya sebagai pengisi waktu karena Ustadz Manarul Hidayat, Ustadz kenamaan saat itu yang seharusnya mengisi acara tersebut. Sejak itulah undangan berceramah di lingkungan pesantren itu mulai berdatangan.
Sambil kuliah, Arifin terus berceramah di masjid, surau, atau majelis taklim. Kian lama langkahnya kian jauh. Dari seputar Bali Matraman, merambah ke seluruh wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.
Tahun 1994 Arifin lulus dari Universitas Nasional sebagai sarjana ilmu hubungan internasional. Sambil menjadi dosen di Universitas Borobudur, Arifin makin memantapkan diri sebagai dai.
Selain menjadi dosen di Universitas Borobudur dan berdakwah, Arifin mempunyai kesibukan lain. Di tempat tinggalnya di Perumahan Mampang Indah II Depok, Arifin muda mempunyai hobi yang unik yakni memelihara beberapa jenis satwa, termasuk di antaranya burung hantu, iguana, monyet, dan ular. Namun akibat kegemarannya memelihara hewan, iapun sempat mengalami masalah serius setelah digigit ular.
Zikir berjamaah
Arifin memperkenalkan zikir berjamaah di masjidnya sekitar tahun 1997, jumlah jamaahnya hanya dua-tiga orang saja. Tapi, ia terus berusaha meyakinkan para jamaahnya bahwa zikir berjamaah itu sangat besar faedahnya.
Setelah bertahun-tahun berzikir di masjid dengan dua-tiga jamaah, belakangan mulai bertambah menjadi satu saf [sebaris shalat, sekitar 15 orang], dua saf, dan akhirnya masjid pun dipenuhi jamaah zikir.
Setelah Arifin berulang kali tampil berzikir di layar teve, belakangan jumlah jamaah yang datang pun makin tak tertampung lagi di masjidnya. Apa boleh buat, ia pun terpaksa memasang tenda dan tikar di depan dan belakang rumahnya menuju ke masjid. Majelis zikir yang diselenggarakan setiap awal bulan itu didatangi puluhan ribu jamaah.
Menikah
Muhammad Arifin Ilham menikah dengan Wahyuniati Al-Waly, putri ketiga dari enam bersaudara dari mantan anggota DPR, Drs. Teuku Djamaris. Arifin pertama kali bertemu Yuni saat usai berceramah di kediaman keluarga H. Yusuf di Depok, September 1997.
Mereka menikah pada 1 Muharam [28 April 1998], Arifin dan Yuni menikah di Masjid Baiturrahman di Kompleks DPR Kalibata. Hingga kini pasangan ini dikaruniai dua putra, Muhammad Alvin Faiz [4 Februari 1999] dan Muhammad Amer Adzikro [21 Desember 2000].
Tahun 2010 Ustad Arifin Ilham menikah lagi untuk kedua kali yakni dengan Rania. Sang istri kedua yang beliau sebut sebagai ‘Bidadari ‘Aisyah’ ini merupakan salah satu jamaah dzikirnya. Dari pernikahan yang kedua in i, Arifin Ilham dikaruniai dua anak Ziya dan Muhammad.
Biodata Muhammad Arifin Ilham
- Lahir: 8 Juni 1969, Banjarmasin
- Kebangsaan: Indonesia
- Profesi: pendakwah
- Agama: Islam
- Isteri 1: Wahyuniati Al-Waly
- Anak : Muhammad Alvin Faiz, Muhammad Ameer Azzikra, Muhammad Azka Najhan, Amtaza Syahla
- Isteri 2: Rania
- Anak: Ziya, Muhammad
- Orang tua: H. Ismail Marzuki, Hj. Nurhayati
Pendidikan
Pendidikan formal:
- TK Aisyiah, Banjarmasin
- SD Muhammadiyah, Banjarmasin
- SD Rajawali, Banjarmasin
- SMP Negeri 1, Banjarmasin
- Madrasah Aliyah
- Universitas Nasional, Jakarta
- Pesantren Darussalam di Banjarmasin
- Pesantren Darunnajah di Ulujami, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan
- Pesantren Assyafi’iyah di Bali Matraman, Tebet, Jakarta Selatan
Sumber:
- http://azzikra.com/tentang-kami/biografi/
- berbagai sumber