Nasjah Djamin lahir pada tanggal 24 September 1924 di Perbaungan, Sumatra Utara dengan nama asli Noeralamsyah. Ia merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara dari pasangan kedua orang tua yang berasal dari Minangkabau, Padang. Ayahnya bernama Haji Djamin dan ibunya bernama Siti Sini.
Haji Djamin bekerja sebagai mantri candu (pengawas perdagangan candu, [Candu Legal di Masa Kolonial]) dan garam di Deli. Haji Djamin terus menetap di tanah Deli sehingga anak-anaknya disebut anak Deli yang sudah terlepas dari susunan adat dan kehidupan Minangkabau. Nasjah Djamin dan orang tuanya tinggal di daerah perkebunan di daerah Deli.
Orang tua Nasjah Djamin tidak mempunyai darah seni. Di antara saudara-saudara Nasjah Djamin, Nasjah Djamin saja yang mempunyai bakat seni. Bakat seni Nasjah Djamin yang muncul lebih dahulu adalah bakat melukis, Ia senang sekali melukis pemandangan sekitar perkebunan serta pedati dan kusirnya.
Pendidikan dan karir
Meski orang tua Nasjah Djamin adalah pegawai rendah. Namun, hal itu tidak menjadikan Nasjah Djamin untuk berdiam diri. Ia berhasil menamatkan sekolah HIS (Hollandas Inlandse School). Ia juga berhasil melanjutkan sekolah Mulo tahun 1941. Setelah keluar dari Mulo, Nasjah Djamin memutuskan bekerja. Ia mengawali bekerja sebagai kuli kasar di lapangan terbang Pulonia, Medan.
Dengan bekal kepandaian melukis, kemudian Nasjah Djamin bekerja di kantor Bukaka, kantor propaganda Jepang. Selain bekerja, di tempat bekerjanya itu, Nasjah Djamin juga belajar melukis.
Pada tahun 1947 Nasjah Djamin di Jakarta bergabung dengan para seniman di Jalan Garuda yang dipimpin oleh Pak Said. Kalangan pelukis yang hadir adalah Affandi dan Basuki Rosobowo, sedangkan kalangan sastrawan yang hadir adalah Chairil Anwar, H.B. Jassin, Rivai Apin, dan Sitor Situmorang. Di tempat itu, kemudian Nasjah Djamin berkenalan dengan para sastrawan dan mulai tertarik dalam tulis-menulis.
Pada tahun 1949 Nasjah Djamin bekerja di Balai Pustaka sebagai ilustrator. Di kantor itu Nasjah Djamin sering mendengar diskusi antarpengarang, seperti Idrus dan Chairil Anwar. Keadaan itu membuat Nasjah tertarik pada kesastraan. Hal itu dibuktikan dengan tulisan yang diciptakannya selama ia bekerja di Balai Pustaka, seperti puisinya yang berjudul “Pengungsi”. H.B. Jassin memuat puisi itu ke dalam Gema Tanah Air. Karya lain yang diciptakan adalah cerita bergambar bagi anak-anak, yaitu Hang Tuah (1952) dan Si Pai Bengal (1952), dan telah diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Setelah berhenti bekerja di Balai Pustaka, Nasjah Djamin kembali ke Yogyakarta. Pada tahun 1952 Nasjah Djamin bekerja sebagai pegawai rendah pada Bagian Kesenian, Jawatan Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Ia bekerja di bagian seni rupa. Di samping itu, ia juga menjadi anggota redaksi majalah Budaya (1953). Karya yang ditulisnya selama bekerja di majalah itu, antara lain, “Titik-Titik Hitam” (1956), “Sekelumit Nyanyian Sunda” (1957), dan “Jembatan Gondolayu” (1957). Ketiganya merupakan drama. Judul drama “Sekelumit Nyanyian Sunda:” memenangkan juara kedua sayembara menulis drama yang diadakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1956. Pada tahun 1953 Nasjah Djamin bersama-sama dengan Kirjomulyo mendirikan Teater Indonesia. Pada tahun 1961—1964, atas biaya kantor tempat ia bekerja, Nasjah Djamin dikirim ke Jepang untuk memperdalam dekorasi panggung, dekorasi TV, pemroduksian TV cerita, dan pertunjukan.
Karya:
Nasjah Djamin memulai menulis novel tahun 1950. Novel yang dihasilkan pertama adalah Hilanglah Si Anak Hilang. Karya itu telah diterjemahkan oleh Farida Soemargono Labrousse ke dalam bahasa Prancis dengan judul Le Depart de L”Enfant Proddigue (1979).
Tempat kegiatan menulis selain di majalah Budaya, Nasjah melakukannya di majalah Minggu Pagi dan surat kabar Kedaulatan Rakyat. Salah satu novelnya Gairah untuk Hidup dan untuk Mati yang merupakan cerita bersambung dalam majalah Minggu Pagi nomor 1—24 tahun 1967 berhasil memperoleh Anugerah Seni dari pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1970.
Anugerah lain yang diterima Nasjah berasal dari Yayasan Buku Utama atas karya Ombak Parangtritis (1983) yang dinyatakan sebagai buku fiksi remaja terbaik tahun 1983 dan dari Dewan Kesenian Jakarta mendapatkan hadiah sastra atas novelnya Bukit Harapan (1984).
Kehidupan pribadi
Nasjah Djamin menikah pada tahun 1967 dengan Umi Naftiah. Sejak itu bersama istri dan anak-anaknya, bertempat tinggal di Yogyakart. Dia meninggal dunia pada tanggal 4 September 1997, tepatnya pada hari Kamis pukul 12.30 pada usia 73 tahun. Dia dimakamkan di Bukit Saptorenggo, Imogiri, Yogyakarta.
Karya:
Novel
- Hilanglah Si Anak Hilang (1963)
- Helai-Helai Sakura Gugur (1965)
- Gairah untuk Hidup dan untuk Mati (1968)
- Malam Kuala Lumpur (1968)
- Yang Ketemu Jalan (1979)
- Dan Senja pun Turun (1981)
- Ombak Parangtritis (1983)
- Tresna Atas Tresna (1983)
- Bukit Harapan (1984)
- Tiga Puntung Rokok (1985)
- Ombak dan Pasir (1988)
- Sekelumit Nyanyian Sunda (1962)
- Sebuah Perkawinan (1974)
- Di Bawah Kaki Pak Dirman (1986)
- “Di Sebuah Pondokan” (dalam majalah Sarinah, 1987)
- Biografi Chairil Anwar yang berjudul Hari-Hari Akhir Si Penyair (1982)
- Biografi Affandi dalam bukunya Affandi Pelukis (1977)
- “Berat” (dalam majalah Seniman, 1947)
- “Bunga” dan “Pengungsi” (dalam majalah Seniman, 1948)
- “Yati Kecil” (dalam majalah Budaya, 1954)
Sumber: