Beranda | 25 Nabi | Tokoh Militer | Tokoh Muslim | Tokoh Wanita

Kisah Perjuangan Raden Aria Wangsakara - Ulama, Pejuang, dan Pendiri Tangerang

Raden Aria Wangsakara adalah seorang ulama, pejuang, dan pendiri Tangerang. Dalam sejumlah literatur yang bercerita tentang Babad Tangerang dan Babad Banten, Wangsakara merupakan keturunan Raja Sumedang Larang, Sultan Syarif Abdulrohman. Bersama dua kerabatnya, yakni Aria Santika dan Aria Yuda Negara, Wangsakara lari ke Tangerang karena tidak setuju dengan saudara kandungnya yang malah berpihak kepada VOC.

Raden Aria Wangsakara lahir di Sumedang tahun 1615. Wangsakara bukan hanya tokoh keagamaan dalam Kesultanan Banten pada masanya, tetapi juga tokoh politik dan pemimpin militer yang terus berjuang dalam semangat untuk mengusir penjajah. Melalui latar belakang perjuangannya semasa Kesultanan Banten semasa Sultan Abul Mufakhir dan Sultan Ageng Tirtayasa, Wangsakara menegaskan perannya sebagai sosok yang turut memainkan peranan penting dalam melawan penjajah (VOC).

Pada 1636, Wangsakara diutus Sultan naik haji. Di Mekah, Wangsakara berhasil memperoleh surat pengakuan Banten oleh Syarif Mekah sebagai kepanjangan tangan dari otoritas politik Turki Utsmani (Ottoman). Sekembalinya ke Banten, Wangsakara diberi gelar Kiai Mas Haji Wasangraja.

Kisah Perjuangan Raden Aria Wangsakara - Ulama, Pejuang, dan Pendiri Tangerang

Perjuangan melawan VOC

Selain dikenal sebagai pejuang, Aria Wangsangkara juga dikenal sebagai ulama penyebar agama Islam. Penyebaran agama Islam kala itu membuat Belanda takut. Apalagi, pusat penyebaran agama tersebut berada di dekat wilayah kekuasaannya, yakni Batavia.

Kemudian itulah alasan, kenapa Belanda harus menyerang Pesantren Grendeng yang lokasinya di tepi barat Sungai Cisadane--kini ada di Kecamatan Karawaci, Kota Tangerang.

Peristiwa tersebut terjadi sekitar tahun 1640. Penyerangan itu menandai terbentuknya tempat hunian baru di Lengkong, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang. Di tempat ini santri-santri dari Pesantren Grendeng yang terusir Belanda, kemudian membangun masjid dan membuat pesantren baru di bawah kepemimpinan Aria Wangsakara.

Hal inilah yang mungkin melatarbelakangi migrasi Raden Aria Wangsakara dari Tangerang (yang sekarang jadi Masjid Agung Tangerang) ke wilayah ini. Karena seperti diketahui daerah yang dilewati sungai menjadi tempat yang paling disenangi disebabkan kondisi tanahnya yang subur. Cocok untuk pengikutnya melakukan pertanian.


Pertempuran Aria Wangsakara bersama rakyat Tangerang melawan VOC 1652-1653

Dalam beberapa literatur Sejarah Kabupaten Tangerang disebutkan, Aria Wangsakara pergi dari Sumedang ke Tangerang bersama dua saudaranya, masing-masing Aria Santika dan Aria Yuda Negara.

Ketiga tumenggung dari Sumedang ini, kemudian mendapatkan restu dari Sultan Banten di bawah kepemimpinan Sultan Maulana Yusuf untuk bertugas menjaga wilayah dari tindakan kompeni dengan membangun benteng di Lengkong Kyai yang terletak di tepi Sungai Cisadane sebelah barat sampai bendungan Sangego.

Di Lengkong Kyai, Aria Wangsakara menetap bersama isterinya, Nyi Mas Nurmala, seorang anak dalem Bupati Karawang Singaprabangsa. Di tempat ini pula bermukim pengikutnya yang berjumlah sekira 500 orang.

Pada tahun 1652-1653 M, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang sudah mencium aktivitas penyebaran agama di Lengkong Kyai ini, kemudian mendirikan benteng di sebelah timur Sungai Cisadane yang persis berseberangan dengan wilayah kekuasaan Aria Wangsakara. VOC juga memprovokasi dan menakuti warga Lengkong Kyai dengan mengarahkan tembakan meriam yang diarahkan ke Lengkong Kyai.

Sikap Kompeni ini memicu pertempuran antara Kompeni Belanda dengan rakyat Tangerang di bawah kepemimpinan Aria Wangsakara. Peristiwa ini kelak akan disebut sebagai titik awal tumbuhnya jiwa patriotik rakyat Tangerang di bawah kepemimpinan Aria Wangsakara.

Lewat kegigihan dan jiwa kepahlawanan kolektif, warga Lengkong akhirnya berhasil mempertahankan wilayahnya ini melalui pertempuran yang berkobar selama tujuh bulan berturut-turut.


Sebagai juru runding

Tahun 1654 ketika terjadi peperangan di Batavia antara Kesultanan Banten dengan VOC, Raden Aria Wangsakara mewakili Kesultanan Banten sebagai juru runding yang membuahkan kesepakatan penghentian perang. Daerah yang dikuasai masing-masing tetap dipertahankan.

Tahun 1658-1659 ketika terjadi peperangan, Raden Aria Wangsakara mendapat mandat dari Sultan Ageng Tirtayasa untuk memimpin perang melawan VOC yang berujung pada perjanjian damai pada tanggal 5 Juli 1659.

Pascaperang, Wangsakara mengubah strategi pertahanan dengan membuat permukiman dan kanal sehingga menjangkau daerah Tangerang pedalaman. 


Wafat

Wangsakara wafat pada tanggal 15 Agustus 1681 dan dimakamkan di Lengkong, Pagedangan, Tangerang atau Taman Makam Pahlawan Kabupaten Tangerang. Pada 2021, ia diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia bersama dengan Tombolotutu, Aji Muhammad Idris, dan Usmar Ismail oleh Presiden Indonesia Joko Widodo.

Ada hal-hal yang masih dijalankan hingga saat ini di wilayah Pagedangan yang kental sekali akan peninggalan ulama pejuang tersebut. Dikarenakan Raden Aria Wangsakara adalah keturunan dari daerah Sumedang dari segi bahasa rata-rata warga di sana masih terkadang menggunakan bahasa Sunda halus, seperti penggunaan bahasa di wilayah Sumedang.

Selain bahasa, ada juga sumur tujuh yang sekarang sudah ditutup karena alasan banyak disalahgunakan pengunjung. (berbagai sumber)