Artikel "Hakim bin Hizam - Sahabat Yang Dermawanan" adalah bagian dari seri "Kisah Sahabat Nabi Muhammad SAW"
Hakim bin Hizam adalah sahabat Nabi yang baru memeluk Islam pada tahun penaklukkan kota Mekah. Ia adalah Sahabat yang lahir di dalam Ka'bah.
Nasab Hakim bin Hizam
Hakim bin Hizam bin Khuwalid bin Asad bin Abdil Uzza bin Qushai bin Kilab Abu Khalid al-Qurasyi al-Asadi. Ibu Hakim bernama Fahitah binti Zuhair bin al-Harits bin Asad bin Abdil Uzza. Berputra 7 orang: Hisyam, Khalid, Hizam, Abdullah, Yahya, Ummu Sumayyah, Umm ‘Amr, dan Ummu Hasyim.
Hubungannya dengan Ummul Mukminin Khadijah sangatlah dekat. Wanita mulia ini merupakan bibi Hakim bin Hizam. Sementara dengan Rasulullah Muhammad bin Abdillah, Sahabat Hizam bertemu dengan garis nasab beliau pada kakek bernama Qushai.
Sejarah mencatat, bahwa Hakim kecil dilahirkan di Ka’bah, tiga belas tahun sebelum Gajah berniat menyerbu kota Mekah. Pasalnya, ketika sang ibu berkunjung masuk ke dalam Ka’bah, secara mendadak, ibunya merasakan sakit pada perutnya dan hendak melahirkan. Akhirnya, Hakim kecil dilahirkan di dalamnya.
Membantu Kaum muslimin yang Berada Dalam Kesulitan
Kecintaannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah terjalin sejak lama. Bahkan ia pernah mengatakan, “Muhammad adalah orang yang paling aku cintai di masa Jahiliyah.” Tak heran, ketika suku Quraisy melancarkan embargo ekonomi dan pemutusan hubungan secara total terhadap Bani Hasyim dan Bani Muththalib untuk menggencet kaum muslimin di Mekah selama 3 tahun, hati Hakim bin Hizam tidak menerimanya.
Guna meringankan beban mereka, ketika kafilah dagang dari Syam datang, ia beli seluruh barang dagangan yang ada untuk kepentingan umat Islam. Onta-onta pengangkut barang-barang ia arahkan menuju lembah tempat penampungan kaum muslimin sehingga berjalan sendiri memasuki lembah itu. Ia lakukan untuk menghormati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bibinya, Khadijah binti Khulawid.
Dia pula yang membeli Zaid bin Haritsah untuk diberikan kepada Khadijah radhiallahu ‘anha. Selanjutnya, Ummul Mukminin Khadijah menghibahkan Zaid kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ia memiliki perhatian besar terhadap kaum muslimin, meski demikian, Hakim bin Hizam baru memeluk Islam pada tahun penaklukkan kota Mekah.
Kedudukan Sosial Hakim bin Hizam
Melalui garis nasab, sudah dapat ditebak bila Hakim berstatus sosial tinggi, berderajat mulia. Ya, ia berasal dari suku Quraisy yang terkenal kemuliaannya di mata masyarakat Mekah. Orang pun mengenal Hakim bin Hizam sebagai salah satu tokoh Mekah dengan kematangan akal dan kecerdikannya. Dalam usia 15 tahun, ia sudah ikut memasuki Dar an-Nadwah, tempat kaum Quraisy membicarakan masalah-masalah penting. Padahal orang lain baru boleh memasukinya setelah mencapai usia 40 tahun. Selain itu, sisi lain dari sahabat yang berusia 120 tahun ini, ia seorang yang ulung dalam masalah pernasaban.
Masuk Islamnya Hakim bin Hizam
Meski lama bersahabat dengan Rasul, tapi Hakim tidak memeluk Islam hingga peristiwa penaklukan Makkah. Itu berarti lebih dari 20 tahun setelah Islam didakwahkan secara terang-terangan oleh Muhammad. Terhadap hal itu, Hakim sendiri merasa menyesal dengan apa yang sudah dilakukannya sebelum memeluk agama Islam. Ketika pertama kali mengucap dua kalimah syahadat, dia benar-benar amat bersalah serta menyesali setiap detik dalam hidupnya sebagai seorang musyrik dan menolak kebenaran dari Allah dan Rasul-Nya.
Sehari setelah dia masuk Islam, seorang anaknya melihat Hakim nampak menangis. Maka bertanyalah sang anak, "Mengapa ayah menangis?" Hakim menjawab sambil tersedu, "Banyak hal yang membuatku menangis, anakku. Yang terutama adalah begitu lamanya waktu bagi aku untuk memeluk Islam. Padahal, dengan menerima ajaran Islam banyak kesempatan dapat diraih untuk melaksanakan kebaikan, namun itulah yang nyatanya telah aku lewatkan. Hidupku tersia-sia ketika terjadi perang Badar dan perang Uhud.
Kedermawanan Hakim bin Hizam
Sebelum masuk Islam, Hakim bin Hizam sudah terkenal sebagai oarng yang gemar berderma, berbuat baik dan memerdekakan budak. Ia memang saudagar yang kaya raya. Berdagang sampai di Yaman dan Syam. Ketika masuk Islam, ia mempertanyakan kebaikan-kebaikannya di masa Jahiliyah dahulu apakah akan mendatangkan pahala baginya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan,
“Engkau masuk Islam bersama kebaikan yang telah engkau lakukan (sebelumnya).” (HR. al-Bukhari no. 1436 dan Muslim no. 123 dengan lafazh Imam Muslim)
Ia pernah berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Demi Allah, tidaklah ada (kebaikan) yang aku lakukan pada masa Jahiliyah kecuali aku perbuat misalnya setelah aku masuk Islam (karena Allah).” (HR. Muslim)
Pada masa Jahiliyah, ia pernah memerdekakan 100 budak. Setelah masuk Islam, ia pun melakukan hal yang sama karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dahulu pernah membawa 100 ekor onta dalam muslim haji. Itu pun ia lakukan setelah masuk Islam.
Dikisahkan, pada satu musim haji, di padang Arafah, Hakim bin Hizam membawa 100 budak, 100 onta, 100 sapi, dan 100 kambing. Ia mengatakan, “Semuanya untuk Allah.”
Pada masa itu, Hakim bin Hizam merupakan pemilik sah dari sebuah bangunan bersejarah di Mekah bernama Dar an-Nadwah. Di tempat itu, biasanya para pemuka Quraisy berkumpul dan berdiskusi tentang banyak hal penting. Rencana jahat pembunuhan terhadap Nabi Muhammad sebelum beliau berhijrah juga diputuskan di situ. Setelah memeluk Islam, Hakim bin Hizam memutuskan untuk menjual bangunan itu. Dijualnya bangunan tersebut seharga 100 ribu dirham.
Abdullah bin Zubair mempertanyakan, “Engkau telah menjual bangunan kehormatan orang-orang Quraisy?”
Dengan bijak Hakim menjawab, “Wahai putra saudaraku. Kemuliaan dan kehormatan (yang semu kini) telah hilang. Tidak ada kehormatan kecuali dengan ketakwaan.”
Selanjutnya hasil penjualan ia infakkan di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Aku sungguh akan membelikannya sebuah bangunan di surga. Aku persaksikan kepadamu aku menjadikannya untuk keperluan di jalan Allah,” kata Hakim melanjutkan.
Ketika Zubair bin Awwam meninggal terbunuh, Hakim bin Hizam menemui anaknya, Ibnu Zubair seraya bertanya, “Saudaraku ini (Zubair) berapa hutangnya?.” Sang anak menjawab, “Sejuta dirham.” Hakim bin Hizam menawarkan diri untuk menanggung setengahnya.
Tiap hari ia mengharapkan ada orang yang berhajat kepadanya untuk ia bantu. Bila tidak ada, ia menganggapnya sebagai musibah. Hakim bin Hizam mengatakan, “Tidaklah aku berada di pagi hari sementara tidak ada orang di depan pintu rumahku, kecuali aku sadar itu adalah bagian musibahnya yang aku mohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pahala darinya.”
Sahabat Hakim bin Hizam wafat pada tahun 54 H. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati dan meridhai Hakim bin Hizam.(Kisah Muslim)
Referensi: Al-Bidayah wan Nihayah, 8:59-60 dan Siyar A’lamin Nubala, 3:44-51
Sumber: Majalah Baituna Edisi 7 Tahun XV 1432 H/2011 M