Biografi Zaid bin Haritsah (578-629)

Artikel "Biografi Zaid bin Haritsah  (578-629) " adalah bagian dari seri "Kisah Sahabat Nabi Muhammad SAW"
kaligrafi Arab yang bermakna Zaid bin Haritsah
Zaid bin Haritsah adalah sahabat nabi Muhammad, yang menjadi panglima Perang Mut'ah. Zaid bin Haritsah berasal dari kabilah Kalb yang menghuni sebelah utara jazirah Arab. Di masa kecilnya, ia ditangkap oleh sekelompok penjahat yang kemudian menjualnya sebagai seorang budak. Kemudian ia dibeli oleh Hukaim bin Hisyam keponakan dari Khadijah. Oleh Khadijah, ia diberikan kepada Nabi Muhammad yang kemudian memerdekakan Zaid bin Haritsah. Ia adalah salah satu orang yang pertama dalam memeluk agama Islam. Ia mati sebagai syuhada dalam perang Mu'tah.


Biografi

Su’da binti Tsalabah bepergian mengunjungi familinya, Bani Ma’an. Dia membawa anaknya yang masih kecil, Zaid bin Haritsah Al Ka’by. Belum berapa lama di tinggal di sana, segeromboilan orang berkuda Bani Qain, datang menyerang desa itu, lalu merampok harta benda penduduk, unta dan menculik anak-anak. Diantara anak-anak yang diculik mereka termasuklah Zaid bin Haritsah, anak Su’da.

Umur Zaid ketika itu baru menginjak delapan tahun. Para penculik membawanya ke pasar ‘Ukazh’ dan menawarkannya kepada pembeli. Zaid dibeli seorang bangan Quraisy yang kaya raya, Hakam bin Hazam bin Khuwalid, seharga empat ratus dirham. Bersamaan dengan Zaid, Hakam membeli pula beberapa orang anak yang lain, kemudian dibawanya pulang ke Makkah. Ketika Khadijah binti Khuwalid, bibi dari Hakam bin Khuwalid, mengetahui bahwa Hakam telah kembali dari pasar “Ukazh, dia datang mengunjungi Hakam untuk mengucapkan selamat datang.

Kata hakam, “Wahai Bibi! Pilihlah diantara budak-budak itu mana yang Bibi sukai, sebagai hadiah untuk Bibi. Khadijah memeriksa budak-budak itu satu persatu; maka pilihannya jatuh pada Zaid bin Haritsah, karena dilihatnya anak ini pintar dan cerdik. Kemudian Zaid dibawa pulang.

Tidak lama kemudian, Khadijah menikah dengan Muhammad bin ‘Abdullah (ketika itu beliau belum menjadi Nabi). Khadijah ingin menyenangkan hati suami tercinta, dengan memberikan sesuatu sebagai kenang-kenangan. Setelah ditimbang-timbang, dia tidak melihat hadiah yang lebih baik bagi suaminya, melainkan budak yang berbudi halus, Zaid bin Haritsah. Lalu Zaid dihadiahkannya kepada suaminya.

Zaid menjadi sahabat serta pelayan yang setia Nabi Muhammad. Ia menikah dengan Ummi Ayman dan memiliki putra yang bernama Usamah bin Zaid bin Haritsah. Ia mengikuti hijrah ke Madinah serta mengikuti setiap pertempuran dalam membela Islam. Dalam Pertempuran Mu'tah, ia diangkat sebagai panglima perang dan dalam pertempuran inilah, ia mati syahid.


Diangkat anak oleh Nabi Muhammad SAW

Zaid bin Haritsah sering disebut putra Muhammad. Semula, Zaid dibeli oleh Khadijah dari pasar Mekah yang kemudian dijadikan budaknya.Khadijah menghadiahkan  Zaid bin Haritsah kepada suaminya, Nabi Muhammad SAW.

Rasulullah sangat mencintai Zaid karena dia memiliki sifat-sifat yang terpuji. Zaid pun sangat mencintai Rasulullah. Akan tetapi di tempat lain, ayah kandung Zaid selalu mencari anaknya dan akhirnya dia mendapat kabar bahwa Zaid berada di tempat Muhammad dan Khadijah. Dia mendatangi Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam untuk memohon agar beliau mengembalikan Zaid kepadanya walaupun dia harus membayar mahal. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam memberikan kebebasan penuh kepada Zaid untuk memilih antara tetáp tinggal bersamanya dan ikut bersama ayahnya. Zaid tetap memilih hidup bersama Rasulullah, sehingga dari sinilah kita dapat mengetahui sifat mulia Zaid.

Agar pada kemudian hari nanti tidak menjadi masalah yang akan memberatkan ayahnya, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam dan Zaid bin Haritsah menuju halaman Ka’bah untuk mengumumkan kebebasan dan pengangkatan Zaid sebagai anak. Setelah itu, ayahnya merelakan anaknya dan merasa tenang. Dari situlah mengapa banyak yang menjuluki Zaid dengan sebutan Zaid bin Muhammad. Akan tetapi, hukum pengangkatan anak itu gugur setelah turun ayat yang membatalkannya, karena hal itu merupakan adat jahiliah, sebagaimana firman Allah berikut ini:

” … jika kamu mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu … ” (QS. At-Taubah:5)


Peran Zaid bin Haritsah dalam Pertempuran Mu'tah

Pertempuran Mu'tah terjadi pada 629 M atau 5 Jumadil Awal 8 Hijriah, dekat kampung yang bernama Mu'tah, di sebelah timur Sungai Yordan dan Al Karak, antara pasukan Khulafaur Rasyidin yang dikirim oleh Nabi Muhammad dan tentara Kekaisaran Romawi Timur (Bashra).


Latar belakang

Setelah Perjanjian Hudaibiyyah disepakati, Rasullulah mengirimkan surat-surat dakwah (mengajak masuk Islam) sekaligus berdiplomasi kepada para penguasa negeri yg berbatasan dengan jazirah arab (raja Bushra), termasuk kepada Heraklius. Pada Tahun 7 hijriah atau 628 AD, Rasulullah menugaskan al-Harits bin ‘Umair untuk mengirimkan surat dakwah kepada Gubernur Syam (Irak) bernama Hanits bin Abi Syamr Al-Ghassani yg baru diangkat oleh Kekaisaran Romawi. Dalam Perjalanan, di daerah sekitar Mut'ah, al-Harits bin ‘Umair dicegat dan dibunuh oleh penguasa setempat bernama Syurahbil bin ‘Amr al-Ghassani pemimpin dari suku Ghassaniyah (Pada waktu itu yang berkuasa di wilayah Palestina dan sekitarnya). Dan Pada tahun yg sama Utusan Rasulullah pada Banu Sulayman dan Dhat al Talh daerah di sekitar negeri Syam (Irak) juga dibunuh oleh penguasa sekitar. Sebelumnya, tidak pernah seorang utusan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dibunuh dalam misinya. Dalam tradisi terdahulu, seorang utusan tidak boleh dibunuh.


Pertempuran

Sebelum pasukan islam berangkat untuk menegakkan panji La ilaha Illallah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam telah menunjuk tiga orang sahabat sekaligus mengemban amanah komanda secara bergantian bila komandan sebelumnya gugur dalam tugas di medan peperangan hingga mengakibatkan tidak dapat meneruskan kepemimpinan. Sebuah keputusan yang belum pernah beliau lakukan sebelumnya. Mereka itu adalah Ja'far bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah (berasal dari kaum muhajirin) dan seorang sahabat dari Anshar, Abdullah bin Rawahah, penyair Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.

Setelah kejadian tersebut, Rasulullah memberangkatkan tiga ribu pasukan tentara untuk memerangi. Ketika pasukan islam yang berjumlah 3000 personel sampai di daerah Ma’an, terdengar berita bahwa Heraklius mempersiapkan 100 ribu pasukannya. Selain itu, kaum Nasrani dari beberapa suku Arab(kaum musyrikin Arab)  pun telah siap dengan jumlah yang sama. Mendengar kabar yang demikian, sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum mengusulkan supaya meminta bantuan pasukan kepada Rasulullah atau beliau memutuskan suatu perintah.

‘Abdullah bin Rawanah radhiyallahu ‘anhu lantas mengobarkan semangat juang para sahabat radhiyallahu ‘anhum pada waktu itu dengan perkataannya , “Demi Allah, sesungguhnya perkata yang kalian tidak sukai ini adalah perkata yang kamu keluar mencarinya, yaitu syahadah (gugur dimedan perang dijalan Allah Azza wa Jalla). Kita itu tidak berjuang karena karena jumlah pasukan atau kekuatan. Kita berjuang untuk agama ini yang Allah Azza wa Jalla telah memuliakan kita dengannya. Bergeraklah. Hanya ada salah satu dari dua kebaikan : kemenangan atau gugur (syahid) di medan perang.”

Orang-orang menanggapi dengan berkata, “ Demi Allah, Ibnu Rawanah berkata benar”.

Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, panglima pertama yang ditunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, kemudian membawa pasukan ke wilayah Mu’tah. Dua pasukan berhadapan dengan sengit. Komandan pertama ini menebasi anak panah-anak panah pasukan musuh sampai akhirnay tewas terbunuh di jalan Allah Azza wa Jalla.

Bendera pun beralih ke tangan Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Sepupu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam ini berperang sampai tangan kanannya putus. Bendera beliau pegangi dengan tangan kiri, dan akhirnya putus juga oleh tangan musuh. Dalam kondisi demikian, semangat beliau tak mengenal surut, saat tetap berusaha mempertahankan bendera dengan cara memeluknya sampai beliau gugur oleh senjata lawan. Berdasarkan keterangan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, salah seorang saksi mata yang ikut serta dalam perang itu, terdapat tidakkurang 90 luka di bagian tubuh depan beliau baik akibat tusukan pedang dan maupun anak panah.

Giliran ‘Abdullah bin Rawanah radhiyallahu ‘anhu pun datang. Setelah menerjang musuh, ajal pun memjemput beliau di medan peperangan.

Tsabit bin Arqam radhiyallahu ‘anhu mengambil bendera yang telah tak bertuan itu dan berteriak memanggil para Sahabat Nabi agar menentukan pengganti yang memimpin kaum muslimin. Maka, pilihan mereka jatuh pada Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu. Dengan kecerdikan dan kecemerlangan siasat dan strategi – setelah taufik dari Allah Azza wa Jalla – kaum muslimin berhasil memukul Romawi hingga mengalami kerugian yang banyak.


Setelah pertempuran

Menyaksikan peperangan yang tidak seimbang antara kaum muslimin dengan kaum kuffar, yang merupakan pasukan aliansi antara kaum Nashara Romawi dan Nashara Arab, secara logis, kekalahan bakal di alami oleh para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengungkapkan ketakjubannya terhadap kekuasaan Allah Azza wa Jalla melalui hasil peperangan yang berakhir dengan kemenangan kaum muslimin dengan berkata : “Ini kejadian yang menakjubkan sekali. Dua pasukan bertarung, saling bermusuhan dalam agama. Pihak pertama pasukan yang berjuang dijalan Allah Azza wa Jalla, dengan kekuatan 3000 orang. Dan pihak lainnya, pasukan kafir yang berjumlah 200 ribu pasukan. 100 ribu orang dari Romawi dan 100 ribu orang dari Nashara Arab. Mereka saling bertarung dan menyerang. Meski demikian sengitnya, hanya 12 orang yang terbunuh dari pasukan kaum muslimin. Padahal, jumlah korban tewas dari kaum musyirikin sangat banyak”.

Allah Azza wa Jalla berfirman :

“Orang-orang yang menyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata, “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah? Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”. (Al-Baqarah 2:249)”

Para ulama sejarah tidak bersepakat pada satu kata mengenai jumlah syuhada Mu’tah. Namun, yang jelas jumlah mereka tidak banyak. Hanya berkisar pada angka belasan, menurut hitungan yang terbanyak. Padahal, peperangan Mu’tah sangat sengit. Ini dapat dibuktikan bahwa Khalid bin Walid rahimahullah menghabiskan 9 pucuk pedang dalam perang tersebut. Hanya satu pedang yang tersisa, hasil buatan Yaman.

Khalid rahimahullah berkata, “Telah patah Sembilan pedang ditanganku, tidak tersisa kecuali pedang buatan Yaman.

Menurut Imam Ibnu Ishaq seorang Imam dalam ilmu sejarah Islam, syuhada perang Mu’tah hanya berjumlah 8 Sahabat saja. Secara terperinci yaitu Ja’far bin Abi Thalib, dan mantan budak Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam Zaid bin Haritsah al-Kalbi, Mas’ud bin al-Aswad bin Haritsah bin Nadhlah al-‘Adawi, Wahb bin Sa’d bin Abi Sarh radhiyallahu ‘anhum.

Sementara dari kalangan kaum anshar, ‘Abdullah bin Rawahah, ‘Abbad bin Qais al-Khozarjayyan, al-Harits bin an-Nu’man bin Isaf bin Nadhlah an-Najjari, Suraqah bin ‘Amr bin Athiyyah bin Khansa al-Mazini radhiyallahu ‘anhum.

Di sisi lain, Imam Ibnu Hisyam rahimahullah dengan berlandaskan keterangan az-Zuhri rahimahullah, menambahkan empat nama dalam deretan Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang gugur di medan perang Mu’tah. Yakni, Abu Kulaib dan Jabir. Dua orang ini saudara sekandung. Ditambah ‘Amr bin ‘Amir putra Sa’d bin Tsa’labah bi Malik bin Afsha. Mereka juga berasal dari kaum anshar. Dengan ini, jumlah syuhada bertambah menjadi 12 jiwa.

Referensi:
Zaid bin haritsah wafat 8H-629M
Zaid bin Haritsah
Pertempuran Mu'tah