Biografi Sri Susuhunan Pakubuwana X - Sunan Surakarta

Pakubuwana X
Pakubuwana X
Sunan Surakarta 
Masa jabatan: 1893–1939 

 Informasi pribadi: 
Lahir: GRM Sayiddin Malikul Kusno, 1866 Surakarta 
Meninggal : 1939 Surakarta 

Agama: Islam 

Ayah: Pakubuwana IX 
Ibu: KRAy. Kustiyah 

Istri: GKR. Hemas Anak: GKR. Pembayun
Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana X adalah raja Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 1893 – 1939 yang merupakan putra Pakubuwana IX. Pakubuwana X dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia pada tahun 2011.

Asal-usul dan kisah kelahiran

 lahir di Surakarta pada tanggal  29 November tahun 1866. Nama lahirnya (asma timur) adalah Raden Mas Sayiddin Malikul Kusno, putra Pakubuwana IX yang lahir dari permaisuri KRAy. Kustiyah, pada tanggal 29 November 1866. Pada usia 3 tahun ia telah ditetapkan sebagai putra mahkota bergelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunegara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram VI.

Menurut cerita yang berkembang, kisah kelahiran Pakubuwana X menjadi cermin ketidakharmonisan hubungan antara ayahnya dengan pujangga Ranggawarsita. Dikisahkan, pada saat KRAy. Kustiyah baru mengandung, Pakubuwana IX bertanya apakah anaknya kelak lahir laki-laki atau perempuan. Ranggawarsita menjawab kelak akan lahir hayu. Pakubuwana IX kecewa mengira anaknya akan lahir cantik alias perempuan. Padahal ia berharap mendapat bisa putra mahkota dari KRAy. Kustiyah.

Selama berbulan-bulan Pakubuwana IX menjalani puasa atau tapa brata berharap anaknya tidak lahir perempuan. Akhirnya, KRAy. Kustiyah melahirkan Sayiddin Malikul Kusno. Pakubuwana IX dengan bangga menuduh ramalan Ranggawarsita meleset.
Ranggawarsita menjelaskan bahwa istilah hayu bukan berarti ayu atau "cantik", tetapi singkatan dari rahayu, yang berarti "selamat". Mendengar jawaban Ranggawarsita ini, Pakubuwana IX merasa dipermainkan, karena selama berbulan-bulan ia terpaksa menjalani puasa berat.

Ketidakharmonisan hubungan Pakubuwana IX dengan Ranggawarsita sebenarnya dipicu oleh fitnah pihak Belanda yang sengaja mengadu domba keturunan Pakubuwana VI dengan keluarga Yasadipura.

Masa Pemerintahan

Pada tanggal 30 Maret 1893 Sayiddin Malikul Kusno naik tahta sebagai Pakubuwana X menggantikan ayahnya yang meninggal dua minggu sebelumnya. Pakubuwana X menikah dengan GKR. Hemas (putri Sultan Hamengkubuwana VII) dan dikaruniai seorang putri yang bernama GKR. Pembayun.

Masa pemerintahannya ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik kerajaan yang stabil. Pada masa pemerintahannya yang cukup panjang, Kasunanan Surakarta mengalami transisi, dari kerajaan tradisional menuju era modern, sejalan dengan perubahan politik di Hindia-Belanda.

Dalam bidang sosial-ekonomi, Pakubuwana X memberikan kredit untuk pembangunan rumah bagi warga kurang mampu. Di bidang pendidikan, ia mendirikan sekolah Pamardi Putri dan Kasatriyan untuk kepentingan kerabat keraton. Infrastruktur moderen kota Surakarta banyak dibangun pada masa pemerintahannya, seperti bangunan Pasar Gede Harjonagoro, Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo-Kota (Sangkrah), Stadion Sriwedari, Kebun Binatang Jurug, jembatan Jurug yang melintasi Bengawan Solo di timur kota, Taman Balekambang, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, rumah singgah bagi tunawisma, dan rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga Tionghoa.

Pada tanggal 21 Januari 1932, Pakubuwana X mendapatkan bintang kehormatan Sri Maharaja dari Ratu Wilhelmina dari Belanda berupa Grutkreissi Ordhe Nederlanse Leyo dengan sebutan raja dalam Bahasa Belanda, Zijne Vorstelijke Hoogheid.

Meskipun berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, Pakubuwana X memberikan kebebasan berorganisasi dan penerbitan media massa. Ia mendukung pendirian organisasi Sarekat Dagang Islam, salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia. Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta (1938) diadakan pada masa pemerintahannya.

Peran Politik

Selama pemerintahannya yang panjang, dalam menghadapi 10 orang gubernur jenderal dan 13 residen secara silih berganti, Pakubuwana X mampu menjauhkan pertentangan yang serius, bahkan tampil seolah sebagai teman pemerintah Hindia Belanda. Tetapi kewibawaannya sebagai raja Jawa di mata rakyat semakin meningkat. Loyatitasnya kepada Hindia Belanda memang tidak meragukan Kontrak Politik yang ditandatanganinya ketika naik tahta sebagai Susuhunan di tahun 1893. Pakubuwana X sadar sebagai cucu Pakubuwana VI yang di tahun 1831 dibuang Belanda ke Ambon, ia merasa harus meneruskan perjuangan pendahulunya dalam mengusir penjajah.

Petunjuk bahwa Pakubuwana X mempunyai kecenderungan terlibat dalam aktivitas politik dilaporkan oleh Residen Sollewijn Gelpke (1914-1918) kepada atasannya. Secara teratur ia mendapati Pakubuwana X memerlukan terjemahan berita-berita penting dari De Locomotief, surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Semarang. Khususnya berita mengenai Perang Dunia I, Gelpke mendapati Pakubuwana X bersimpati pada Jerman sebagaimana banyak orang Indonesia saat itu, termasuk orang-orang Sarekat Islam. Peranan Pakubuwana X sebagai imam bagi masyarakat muslim di Surakarta, juga sangat diperhitungkan Belanda.

Sementara itu, Residen L.Th. Schneider (1905-1908) berpendapat bahwa potensi subversif Pakubuwana X patut diperhitungkan. Schneider merupakan salah seorang yang pertama kali mencurigai pengaruh perjalanan Pakubuwana X ke luar daerah. Walaupun perjalanan dan kunjungan itu secara teoretis bersifat incognito, kunjungannya ke Semarang, Surabaya, Ambarawa, dan Salatiga (antara tahun 1903 dan 1906) benar-benar dapat disebut sebagai kunjungan resmi. Kunjungan itu dapat dianggap sebagai pencerminan tujuan politik Pakubuwana X yang hendak memperluas pengaruhnya sebagai raja Jawa. Ia juga melawat ke Bali dan Lombok, serta Lampung.

Pada bulan Desember 1921, Pakubuwana X melakukan perjalanan ke daerah Priangan, diiringi oleh 52 bangsawan dan abdi dalem. Setelah singgah di Semarang, Pekalongan, dan Cirebon, Pakubuwana X menetap cukup lama di Garut dan Tasikmalaya. Di Garut, ratusan orang berkumpul menanti kehadiran Pakubuwana X, sehingga merepotkan polisi Belanda. Pada bulan Februari 1922, Pakubuwana X mengadakan perjalanan lagi ke Madiun, disertai oleh 58 bangsawan dan abdi dalem. Perjalanan itu resminya sekali lagi disebut incognito, tapi justru benar-benar membuat citra Pakubuwana X semakin meningkat. Ia mengobral banyak hadiah tanda mata dengan lambang PB X. Bupati-bupati menerima keris dengan hiasan permata, serta para wedana dan asisten wedana memperoleh berbagai arloji emas.

Demi mendukung dan membangkitkan semangat nasionalisme masyarakat (Jawa), Pakubuwana X terus mengadakan perjalanan ke daerah-daerah. Belanda keberatan, dengan alasan biaya. Padahal, sebenarnya Belanda hendak membatasi popularitas Pakubuwana X. Sekalipun perjalanan itu bersifat incognito, tetapi Pakubuwana X selalu mengesankan di mata rakyat sebagai Kaisar Tanah Jawa. Setelah perjalanannya ke Jawa Barat dan Jawa Timur pada tahun 1922, yang bersamaan dengan meningkatnya semangat radikalisme Budi Utomo, Pakubuwana X tidak mengadakan perjalanan lagi di tahun 1923. Baru pada tahun berikutnya, ia mengadakan kunjungan besar ke Malang. Penampilannya yang mengalihkan perhatian rakyat disana menyebabkan Gubernur Jenderal Dirk Fock bahkan menyuruh Residen Nieuwenhuys mempersilakan Pakubuwana X untuk segera pulang. Alasannya, persyaratan incognito telah dilanggar. Setelah Nieuwenhuys pindah dari Surakarta, Pakubuwana X mengadakan perjalanan lagi di tahun 1927. Diiringi 44 orang bangsawan dan abdi dalem, ia mengadakan kunjungan ke Gresik, Surabaya, dan Bangkalan selama seminggu. Jumlah pengiringnya kala itu bahkan mencapai tiga kali lipat dari jumlah dalam persyaratan yang dibuat oleh Belanda.

Akhir Pemerintahan

Pakubuwana X meninggal dunia pada tanggal 1 Februari 1939 pada umur 72 tahun. Ia disebut sebagai Sinuhun Wicaksana atau raja besar dan bijaksana. Pemerintahannya kemudian digantikan oleh putranya, BRM. Antasena, yang kemudian bergelar Pakubuwana XI.

Oleh pemerintah Indonesia, Pakubuwana X dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia pada 7 November 2011 melalui Keppres No. 113/TK/2011.