Biografi I Gusti Ketut Pudja - Gubernur Pertama Sunda Kecil

I Gusti Ketut Pudja
Mr. I Gusti Ketut Pudja

Tempat/ Tanggal Lahir: 
Singaraja, 19 Mei 1908
Meninggal: Jakarta, 4 Mei 1977 (69 th)
Nama Orangtua: 
I Gusti Nyoman Raka (Ayah), 
Jero Ratna Kusuma (Ibu)

Pendidikan: 
Meester in the Rechten (Sarjana Hukum) 
Rechts Hoge School di Jakarta tahun 1934

Agama: Hindu
Istri: I Gusti Ayu Made Ngurah

Anak: 
Drs. I Gusti Ngurah Arinton Pudja, 
I Gusti Made Arinta Pudja, S.H., 
I Gusti Ayu Nyoman Arinti Pudja, B.A., 
I Gusti Ayu Ketut Karnini, 
I Gusti Ayu Ketut Karnina.

Pekerjaan: Gubernur Sunda Kecil
I Gusti Ketut Pudja adalah pahlawan nasional Indonesia. Ia ikut serta dalam perumusan negara Indonesia melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mewakili Sunda Kecil (saat ini Bali dan Nusa Tenggara). I Gusti Ketut Pudja juga hadir dalam perumusan naskah teks proklamasi di rumah Laksamana Maeda. I Gusti Ketut Pudja ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan nasional.

Setelah Indonesia merdeka, kota Singaraja memegang peranan yang sangat penting. Kota ini dijadikan Ibu Kota Sunda Kecil. Pada 17 Agustus 1945, Presiden Soekarno menunjuk Mr. I Gusti Ketut Pudja sebagai Gubernur Sunda Kecil dan Ida bagus Putra Manuaba sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Sunda Kecil.

I Gusti Ketut Pudja Singaraja lahir pada 19 Mei 1908, Ia adalah putra kelima dari I Gusti Nyoman Raka, punggawa di Sukasada, Buleleng. Dalam buku yang ditulis Ida anak Agung Gde Agung Kenangan di Masa Lampau: Hindia Belanda ia disebutkan sebagai sarjana hukum yang bekerja pada pemerintahan Hindia Belanda di Bali.


Riwayat perjuangan

Mr. I Gusti Ketut Pudja yang menjabat sebagai Gubernur Sunda Kecil saat itu mengusulkan perkataan Tuhan di dalam pembukaan UUD 1945. Usulan itu disampaikan saat rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan tanggal 18 Agustus 1945 yang membahas Piagam Jakarta yang ditandatangani oleh sembilan tokoh nasional, yaitu : Soekarno, Moh. Hatta, A.A Maramis, Abikusno, A.K Muzakir, H.A Salim, Mr. A. Soebardjo, K. Hasjim dan Moh. Yamin.

Perbedaan prinsip yang fundamental antara Piagam Jakarta dengan UUD 1945 adalah dihilangkannya tujuh kata didalam Piagam Jakarta tersebut yaitu "dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Bung Hatta yang pada saat itu mengetahui sidang tersebut berkata:

 "Dengan membuang tujuah kata-kata itu serta syarat bahwa Presiden Indonesia ialah orang Indonesia asli dan harus beragama Islam maka inilah merupakan perubahan maha penting yang menyatukan seluruh bangsa-bangsa. Syarat-syarat ini menyinggung perasaan sedangkan membuang ini maka seluruh hukum di UUD diterima oleh daerah Indonesia yang tidak beragama Islam............". 

Sepertinya alasan Pudja mengusulkan perubahan dalam UUD tersebut adalah, agar UUD 45 bisa diterima oleh seluruh penduduk yang beragam agama, yakni menyelamatkan UUD 45 dari warna khas agama tertentu. Dan puncaknya ketika Soekarno memimpin sidang PPKI menawarkan kepada hadirin tentang usul perubahan itu, tak seorang pun keberatan. Dan Soekarno pun kemudian membacakan kembali Pembukaan UUD tersebut dengan perubahan yang diusulkan Ketut Pudja. Lalu disahkan.


Karir dan pekerjaan

Dalam tahun 1935 Pudja telah mengabdikan dirinya pada Kantor Residen Bali dan Lombok di Singaraja. Tahun 1936, ia ditempatkan pada Pengadilan Negeri yang pada masa itu disebut Raad van Kerta. Pada awal pendudukan Jepang, I Gusti Ketut Pudja ditugaskan untuk mengaktifkan kembali kegiatan pemerintahan sipil. Ia diangkat oleh Kapten Kanamura dari Angkatan Darat Jepang untuk menjalankan kegiatan pemerintahan karesidenan di Singaraja dengan jabatan semacam residen. Setelah Angkatan Darat Jepang diganti dengan Angkatan Laut Jepang, Pudja diangkat sebagai giyosei komon (penasihat umum) cookan (kepala pemerintahan Sunda Kecil) sampai zaman kemerdekaan.

Sebagai gubernur pertama RI Sunda Kecil. Tugas yang dipikulkan oleh pemerintah pusat kepadanya tidaklah ringan. Di samping pemerintahan nasional RI Sunda Kecil, pemerintah pendudukan Jepang di Sunda Kecil masih tetap berkuasa, meskipun Jepang telah menyerah kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945. Di lain pihak, masih ada swapraja-swapraja yang sejak tahun 1938 diatur oleh pemerintah kolonial Belanda yang menetapkan daerah Bali atas delapan kerajaan.

Untuk menyatukan seluruh delapan kerajaan ini, Gubernur Pudja mengadakan perjalanan keliling Pulau Bali bersama dengan Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Sunda Kecil Ida Bagus Putra Manuaba. Mereka datang ke setiap kerajaan untuk memberi penerangan kepada raja-raja dan rakyat Bali mengenai kemerdekaan Indonesia dan telah berdirinya pemerintahan nasional RI Sunda kecil. Ia juga mengirim utusan ke Lombok dan Sumbawa Besar untuk tujuan yang sama. Di samping pembentukan KNI, di tingkat propinsi dan kabupaten dibentuk pula Badan Keamanan Rakyat (BKR).

Selama menjabat Gubernur Sunda Kecil, I Gusti Ketut Pudja beberapa kali masuk tahanan. Pertama kali ia diculik oleh Jepang akibat penyerbuan para pemuda yang gagal untuk mendapatkan senjata pada 13 Desember 1945. Ia ditahan lebih kurang sebulan. Setelah dibebaskan dari tananan, I Gusti Ketut Pudja masuk ke daerah Republik Indonesia yaitu ke Yogyakarta. Kedatangannya disambut hangat oleh Presiden Soekarno. Ia ditempatkan pada Kementerian Dalam Negeri dan diberi tugas mengikuti jalannya pemerintahan di daerah-daerah.

I Gusti Ketut Pudja wafat pada 4 Mei 1977 di RS Cipto mangunkusumo, Jakarta . Dalam usia 69 tahun. Oleh pemerintah Indonesia beliau dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia pada 7 November 2011 melalui Keppres No. 113/TK/2011.