Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani - Imam masjidil Haram Asal Banten, Indonesia

guru syekh nawawi al bantani, sanad keilmuan syekh nawawi al- bantani, amalan syekh nawawi al bantani, anak cucu syekh nawawi al bantani, keturunan syekh nawawi al bantani, biografi syekh nawawi al-bantani pdf, silsilah keturunan syekh nawawi al bantani, murid-murid syekh nawawi al bantani

Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani - Imam masjidil Haram Asal Banten

Syekh Nawawi Al Bantani adalah salah satu ulama Indonesia yang menjadi Imam Masjidil Haram, beliau merupakan murid dari Syekh Junaid Al Batawi. Karyanya yang sangat Fenomenal adalah kitab tafsir al-Munir. Salah satu muridnya yang terkenal adalah Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy'ari, seorang ulama besar bergelar pahlawan nasional dan merupakan pendiri sekaligus Rais Akbar (pimpinan tertinggi pertama) organisasi Nahdlatul Ulama dan Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, salah satu pesantren terbesar di Kabupaten Jombang, Jawa Timur.

Syekh Nawawi lahir di Desa Padelaman, Kecamatan Tanara, Kabupaten Serang tahun 1813 masehi dengan nama lengkap Abu Abdul Mu’ti Muhammad bin Umar bin Arabi bin Ali Al-Tanara Al-Jawi Al-Bantani. Sang ayah merupakan seorang ulama lokal di daerah Banten yang bernama Syekh Umar bin Arabi al-Bantani. Sementara ibunya hanya merupakan seorang ibu rumah tangga, bernama Zubaedah. Imam Syekh Nawawi Al Bantani diketahui memiliki 6 orang saudara. Sementara dirinya merupakan anak sulung dari 6 orang adiknya tersebut.


Biografi

Syekh Nawawi lahir di Kampung Tanara Desa Tanara, sebuah desa kecil di kecamatan Tirtayasa (dulu, sekarang Kecamatan Tanara), Kabupaten Serang, Banten pada tahun 1230 Hijriyah atau 1815 Masehi, dengan nama Muhammad Nawawi bin 'Umar bin 'Arabi al-Bantani. Dia adalah sulung dari tujuh bersaudara, yaitu Ahmad Syihabudin, Tamim, Said, Abdullah, Tsaqilah dan Sariyah. Ia merupakan generasi ke-12 dari Sultan Maulana Hasanuddin, raja pertama Banten Putra Sunan Gunung Jati, Cirebon. Nasabnya melalui jalur Kesultanan Banten ini sampai kepada Nabi Muhammad ﷺ.

Ayah Syekh Nawawi merupakan seorang Ulama lokal di Banten, Syekh Umar bin Arabi al-Bantani, sedangkan ibunya bernama Zubaedah, seorang ibu rumah tangga biasa.

Syaikh Nawawi menikah dengan Nyai Nasimah, gadis asal Tanara, Serang dan dikaruniai 3 orang anak: Nafisah, Maryam, Rubi'ah. Sang istri wafat mendahului dia.


Silsilah Syekh Nawawi al-Bantani sampai kepada Rasulullah ﷺ:


Pendidikan

Syekh Nawawi sudah mulai belajar ilmu agama Islam langsung dari ayahnya sejak berusia lima tahun. Bersama saudara-saudara kandungnya, Syekh Nawawi mempelajari tentang pengetahuan dasar bahasa Arab, fiqih, tauhid, al-Quran dan tafsir. Pada usia delapan tahun bersama kedua adiknya, Tamim dan Ahmad, Syekh Nawawi berguru kepada K.H. Sahal, salah seorang ulama terkenal di Banten saat itu. Kemudian melanjutkan kegiatan menimba ilmu kepada Syekh Baing Yusuf Purwakarta.

Di usianya yang belum genap lima belas tahun, Syekh Nawawi telah mengajar banyak orang, sampai kemudian ia mencari tempat di pinggir pantai agar lebih leluasa mengajar murid-muridnya yang kian hari bertambah banyak. Baru setelah usianya mencapai lima belas tahun, Syekh Nawawi menunaikan haji dan kemudian berguru kepada sejumlah ulama masyhur di Mekah saat itu.


Guru-Guru Syekh Nawawi:

Syekh Umar bin Arabi al-Bantani (Ayahnya), K.H. Sahal al-Bantani, Syekh Baing Yusuf Purwakarta, Syekh Ahmad Khatib asy-Syambasi, Syekh Ahmad Zaini Dahlan, Syekh Abdul Ghani al-Bimawi, Syekh Yusuf Sumbulaweni, Syekh Abdul Hamid Daghestani, Syekh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, Syekh Muhammad Khatib Duma al-Hambali, Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Maliki, Syekh Junaid al-Batawi, Syekh Zainuddin Aceh, Syekh Syihabuddin, Syekh Yusuf bin Muhammad Arsyad al-Banjari, Syekh Abdush Shamad bin Abdurahman al-Falimbani, Syekh Mahmud Kinan al-Falimbani, Syekh Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani.


Nasionalisme

Setelah tiga tahun bermukim di Mekkah, Syekh Nawawi pulang ke Banten sekitar tahun 1828 Masehi. Sampai di tanah air dia menyaksikan praktik-praktik ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan penindasan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat. Tak ayal, gelora jihad pun berkobar.

Sebagai intelektual yang memiliki komitmen tinggi terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran, Syekh Nawawi kemudian berdakwah keliling Banten mengobarkan perlawanan terhadap penjajah sampai pemerintah Belanda membatasi gara-geriknya, seperti dilarang berkhutbah di masjid-masjid.[6] Bahkan belakangan dia dituduh sebagai pengikut Pangeran Diponegoro yang ketika itu sedang mengobarkan perlawanan terhadap penjajahan Belanda (1825 - 1830 Masehi), hingga akhirnya ia kembali ke Mekkah setelah ada tekanan pengusiran dari Belanda, tepat ketika puncak terjadinya Perlawanan Pangeran Diponegoro pada tahun 1830. Begitu sampai di Mekkah dia segera kembali memperdalam ilmu agama kepada guru-gurunya.

Syekh Nawawi memegang peran sentral di tengah ulama al-Jawwi. Dia menginspirasi komunitas al-Jawwi untuk lebih terlibat dalam studi Islam secara serius, tetapi juga berperan dalam mendidik sejumlah ulama pesantren terkemuka. Bagi Syekh Nawawi, masyarakat Islam di Indonesia harus dibebaskan dari belenggu Kolonialisme. Dengan mencapai kemerdekaan, ajaran-ajaran Islam akan dengan mudah dilaksanakan di Nusantara. Pemikiran ini mendorong Syekh Nawawi untuk selalu mengikuti perkembangan dan perjuangan di tanah air dari para murid yang berasal dari Indonesia serta menyumbangkan pemikirannya untuk kemajuan masyarakat Indonesia.

Selain pelajaran agama, Syekh Nawawi juga mengajarkan makna kemerdekaan, anti Kolonialisme dan Imperialisme dengan cara yang halus. Mencetak kader patriotik yang di kemudian hari mampu menegakkan kebenaran. Perjuangan yang dilakukan Syekh Nawawi memang tidak dalam bentuk revolusi fisik, namun lewat pendidikan dalam menumbuhkan semangat kebangkitan dan jiwa nasionalisme.

Di samping itu, upaya pembinaan yang dilakukan Syekh Nawawi terhadap komunitas al-Jawwi di Mekkah juga menjadi perhatian serius dari pemerintahan Belanda di Indonesia. Produktivitas komunitas al-Jawwi untuk menghasilkan alumni-alumni yang memiliki integritas keilmuan agama dan jiwa nasionalisme, menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Belanda. Untuk mengantisipasi ruang gerak komunitas al-Jawwi ini maka pemerintah Belanda mengutus penasihat pemerintah, Christian Snouck Hurgronje untuk berkunjung ke Mekkah pada tahun 1884 - 1885. Kedatangan Snouck ini bertujuan untuk meneliti lebih lanjut dan melihat secara langsung berbagai hal yang telah dilakukan oleh ulama Indonesia yang tergabung dalam komunitas al-Jawwi.


Murid-Murid Syekh Nawawi:

Syekh Muhammad Mahfudz at-Tarmasi ; Syekh Kholil al-Bangkalani, Madura ; Syekh Tubagus Ahmad Bakri as-Sampuri ; Syekh Tubagus Muhammad Asnawi al-Bantani, Caringin, Labuan, Pandeglang ; Syekh Arsyad Thawil al-Bantani - Pejuang Geger Cilegon 1888 dan Penyebar Islam di Sulawesi Utara ; Syekh Hasan Mustopa al-Qoruti ; Syekh Abu al-Faidh Abdus Sattar bin Abdul Wahhab ad-Dahlawi, Delhi, India - Pengajar di Masjidil Haram ; Sayyid Ali bin Ali al-Habsy - Pengajar di Masjidil Haram ; Syekh Muhammad Zainuddin bin Badawi as-Sumbawi, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat ; Syekh Abdul Qadir bin Mustafa al-Fathani, Pattani, Thailand ; Syekh Abdul Haq bin Abdul Hannan al-Bantani - Cucu Syekh Nawawi ; Syekh Sholeh Darat as-Samarani ; K.H. Hasyim Asyari, Jombang - Pendiri Nahdlatul Ulama ; K.H. Ahmad Dahlan, Yogyakarta - Pendiri Muhammadiyah ; Syekh Sulaiman Arrasuli - Pendiri PERTI ; K.H. Hasan Genggong - Pendiri Pesantren Zainul Hasan Genggong ; K.H. Mas Abdurahman - Pendiri Mathla'ul Anwar ; K.H. Raden Asnawi, Kudus ; Haji Abdul Karim Amrullah, Sumatra Barat ; K.H. Thahir Jamaluddin, Singapura ; K.H. Dawud, Perak, Malaysia ; K.H. Hasan Asyari, Bawean ; K.H. Najihun, Mauk, Tangerang ; K.H. Abdul Ghaffar, Tirtayasa, Serang
K.H. Ilyas, Kragilan, Serang ; K.H. Wasyid - Pejuang Geger Cilegon 1888 ; K.H. Tubagus Ismail - Pejuang Geger Cilegon 1888 ; K.H. Arsyad Qashir al-Bantani - Pejuang Geger Cilegon 1888 ; K.H. Abdurrahman - Pejuang Geger Cilegon 1888 ; K.H. Haris - Pejuang Geger Cilegon 1888 ; K.H. Aqib - Pejuang Geger Cilegon 1888.


Pengabdian di Masjidil Haram

Syekh Nawawi mulai masyhur ketika menetap di Syi'ib 'Ali, Mekkah. Dia mengajar di halaman rumahnya. Mula-mula muridnya cuma puluhan, tetapi semakin lama jumlahnya kian banyak. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia. Hingga jadilah Syekh Nawawi al-Bantani sebagai ulama yang dikenal piawai dalam ilmu agama, terutama tentang tauhid, fiqih, tafsir, dan tasawwuf.

Nama Syekh Nawawi al-Bantani semakin masyhur ketika dia ditunjuk sebagai Imam Masjidil Haram, menggantikan Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi atau Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Tidak hanya di kota Mekkah dan Madinah saja dia dikenal, bahkan di negeri Suriah, Mesir, Turki, hingga Hindustan namanya begitu masyhur.


Wafat

Syekh Nawawi wafat di Mekah pada tanggal 25 Syawal 1314 Hijriyah atau 1897 Masehi. Makamnya terletak di Jannatul Ma'la, Mekah bersebelahan dengan makam anak perempuan dari Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, Asma΄ binti Abû Bakar al-Siddîq.

Meski wafat di Jazirah Arab, namun hingga kini setiap tahunnya selalu diadakan haul atau peringatan wafatnya Syekh Nawawi al-Bantani di tanah air, tepatnya di Pondok Pesantren An-Nawawi Tanara di Tanara, Serang, asuhan K.H. Ma'ruf Amin. Haul Syekh Nawawi selalu ramai dihadiri para santri Nusantara, bahkan mancanegara. (Berbagai Sumber