Biografi Tengku Fakinah - Panglima Perang Sukey Fakinah

Tengku Fakinah
Teungku Fakinah
(kaskus.co.id)
Tengku Fakinah yang biasanya disebut dengan Teungku Faki adalah pejuang perempuan yang dikenal sebagai panglima perang Sukey Fakinah.


Riwayat

Tengku Fakinah dilahirkan sekitar tahun 1856 M, di Desa Lam Diran kampung Lam Beunot (Lam Krak). Ia adalah Puteri dan Tengku Datuk dan Kampung Lam Beunot (Lam Taleuk) Mukim Lam Kerak VII Mukim Baet, Sagi XXII Mukim Aceh Besar.

Ayahnya yang bernama Tengku Datuk juga disebut dengan Tengku Asahan karena pada masa remajanya merantau ke Asahan Aceh Selatan. Sekembalinya dan Asahan ía menikah dengan Cut Mah puteri dan Tengku Cik Lam Pucok. Pada tahun 1856, Perkawinan Cut Mah dengan Tengku Datuk dikaruniai seorang puteri yang bernama Tengku Fakinah.

Pada masa kecil hingga remajanya Tengku Fakinah mendapat didikan agama, jahit menjahit. dan kerajinan kerawang sutera emas dan perak. Tidak mengherankan ketika dewasa ia dikenal cebagai ahli agama dan pakar kerajinan kerawang.


Ditingggal suami

Tengku Fakinah dinikahi oleh Tengku Ahmad yang bergelar Tengku Aneuk Glee pada tahun 1872. Setelah menikah Tengku Ahmad kemudian mendirikan pondok pesantren dan pasangan suami isteri itu terlibat langsung menjadi pengajar para santri-santrinya. Namun sayang satu tahun kemudian, Belanda datang dengan niat menjajah Aceh.

Tengku Ahmad menghadang serangan Belanda bersama Tengku Imam Lam Kerak dalam barisan pasukan Mukim Baet mempertahankan Pantai Cermin di laut Utee Lhue dibawah komando Panglima Polem Nyak Banta dan Rama Setia. Serangan Belanda pada tanggal 8 April 1873 ini menewaskan Panglima Rama Setia, Imam Lam Kerak, dan Tengku Ahmad dan beberapa perwira lainnya.


Membentuk Badan Amal Sosial 

Semenjak ditinggal suami, Tengku Fakinah membentuk Badan Amal Sosial untuk menyumbang Darma Baktinya terhadap Tanah Air yang terdiri dari janda-janda dan wanita-wanita lainnya untuk menjadi anggota amal tersebut Badan yang didirikannya itu mendapat dukungan dari kaum Muslimat disekitar Aceh Besar yang kemudian berkembang sampai ke Pidie.

Anggota Badan Amal Sosial ini menjadi sangat giat dalam mengumpulkan sumbangan rakyat yang berupa perbekalan berupa padi dan uang. Selain dari anggota yang bergerak mengumpulkan perbekalan peperangan, bagi anggotaanggota yang tinggai di tempat, mereka sibuk mempersiapkan makanan untuk orang yang datang dari luar seperti Pidie, Meureudu, Salamanga, Peusangan dan lain-lain untuk membantu perang dan menuangkan timah untuk pelor senapan, semua pekerjaan itu dibawah pimpinan Teungku Fakinah.

Teungku Fakinah merupakan Panglima Perang melawan agresi Belanda, tidak mau tetap dikediamannya, bahkan hilir mudik keseluruh segitiga Aceh Besar untuk menjalankan Diplomasi, mendatangi rumah orang-orang besar dan orang-orang kaya untuk meminta zakat dalam rangka membantu peperangan Aceh yang sedang berkecamuk. Dan kegiatan yang dilakukannya itu, memperoleh hasil yang lebih besar yang kemudian disalurkan sebagai biaya peperangan.


Kuta Pertahanan Wanita/Benteng Pertahanan Wanita

Ketika musuh menguasai Kuta Raja (Banda Aceh Sekarang), maka pertahanan berpindah ke Kuta ke kota Lam Bhouk, Pagar Aye (Lhung Bata), maka dalam tahun 1883 pertahanan itu dapat dikuasai oleh musuh. Untuk mengantisipasi hal ini maka Tengku Syech Saman yang disebut Tengku Tjik Di Tiro memperkuat lagi pertahanan Kuta Aneuk Galong bekas Kuta Panglima Polem Nyak Banta, yang dulunya telah di rampas oleh pihak Belanda yaitu pada tahun 1878. Maka dengan demikian serentaklah dari masing-masing pemimpin peperangan mendirikan kutakuta lain, seperti halnya Tengku Empee Trieng (Kuta Karang), Tengku Pante Kulu (Kuta Tuanku) dan lain-lain. Sementara itu di Lam Krak didirikan 4 buah Kuta (Benteng Pertahanan) di bawah Komando Tengku Fakinah, yang masing-masing di pimpin oleh seorang komandan bawahan

Adapun yang membangun kuta-kuta (Benteng-Benteng) ini adalah kaum lelaki, kecuali Kuta Cot Weue dikerjakan oleh wanita-wanita sejak dan membuat pagar, menggali parit dan pemasangan ranjau dilakukan sendiri oleh para wanita yang diawasi oleh panglima perangnya Teungku Fakinah sendiri bersama rekanrekannya wanita lain.


Teungku Fakinah Kawin Kedua

Setelah selesai membangun Kuta Tjot Weue, maka atas mufakat orang-orang patut agar Tengku Fakinah Panglima Perang itu, dijodohkan dengan Tengku Nyak Badai yang berasal dari Pidie, lepasan murid Tanoh Abee. Alasan untuk mengawinkan Teungku Fakinah ini adalah karena seorang panglima perang wanita dalam siasat perang senantiasa harus bekerja sama dengan laki-laki yang sering melakukan musyawarah. Dalam pandangan masyarakat umum tidak layak dalam suatu perundingan seorang wanita tidak didampingi oleh suaminya. Dengan demikian Teungku Fakinah dapat menerima saran dari orang-orang tua ini, maka dengan demikian perkawinan mereka dilangsungkan. Setelah perkawinan itu, maka Teungku Fakinah bertambah giat berusaha untuk mengumpulkan benda-benda perlengkapan persenjataan dan makanan untuk keperluan tentara pengikutnya. Namun dalam tahun 1896 suami kedua dia yaitu Tengku Nyak Badai tewas ketika diserbu oleh pasukan Belanda dibawah komandan Kolonel J. W Stempoort.


Tengku Fakinah Menantang Perang Teuku Umar

Tengku Fakinah adalah satu pejuang perempuan Aceh yang pernah menantang Teuku Umar Johan Pahlawan untuk berperang. Penyebabnya adalah membelotnya Teuku Umar ke kubu Belanda. Peristiwa tersebut terjadi saat peperangan dengan Belanda, Tengku Ahmad syahid di medan perang.

Merujuk catatan sejarah yang ditulis Ali Hasjmy dalam bukunya Wanita Aceh dalam Pemerintahan dan Peperangan, disebutkan Tengku Fakinah pernah mengirim surat kepada Cut Nyak Dhien.

"Saya harap kepada Cut Nyak agar menyuruh suami Cut Nyak, Teuku Umar, untuk memerangi wanita-wanita yang sudah siap menanti di Kuala Lamdiran (maksudnya Resimen Fakinah), sehingga akan dikatakan orang bahwa dia adalah panglima yang berani, johan pahlawan seperti yang digelarkan oleh musuh kita Belanda..."

Isi surat ini membuat darah Cut Nyak Dhien berdesir. Peringatan yang dikirim sahabatnya tersebut membuat Cut Nyak Dhien berusaha menyadarkan kembali suaminya, Teuku Umar.

Lewat Do Karim, Cut Nyak Dhien mengirim pesan kepada suaminya. "Apalagi Pang Karim, sampaikan kepada Teuku Umar, bahwa Teungku Fakinah telah siap sedia menanti kedatangan Teuku Umar di Lamdiran. Sekarang barulah dinilai perjuanganmu cukup tinggi pria lawan wanita, yang belum pernah terjadi pada masa nenek moyang kita. Kafir sendiri segan memerangi wanita. Karena itu, Teuku didesak berbuat demikian. Sudah dahulu kuperingatkan janganlah engkau menyusu pada badak...."


Tengku Fakinah Naik Haji

Dalam tahun 1914 Teungku Fakinah berhasrat untuk menunaikan rukun kelima yaitu naik Haji. Sebelum dia berangkat terlebih dahulu mencari muhrimnya. Dengan demikian dia kawin dengan seorang yang bernama Ibrahim, yang merupakan suaminya yang ketiga. Dalam bulan Juli 1915 dia berangkat menuju tanah suci Mekkah. Di Mekkah dia menumpang di rumah wakaf Aceh, jalan Kusya Syiah yang diurus oleh Syech Abdul Gani yang berasal dari Aceh Besar. Selesai melaksanakan rukun Haji, dia masih menetap di Mekkah untuk menuntut ilmu Pengetahuan sekaligus memperdalam ilmu Fikih pada Teungku Syech Muhammad Saad yang berasal dari Peusangan. Kuliah yang diberikan oleh gurugurunya dilakukan di dalam Masjidil Haram Mekkah kepada murid-muridnya.

Selama tiga tahun berada di Mekkah untuk memperdalam ilmunya, ketika memasuki tahun ke-4 di Mekkah, suami dia yaitu Ibrahim meninggal dunia di Mekkah. Maka pada tahun 1918 Teungku Fakinah kembali ke Aceh, setibanya di Lam Krak disambut dengan meriah oleh murid-muridnya, dan ketika itupulalah dia memimpin kembali Deah/Pesantren yang selama ini ditinggalkan, dan mengembangkan semua ilmu pengetahuan yang dituntut di Mekkah kepada muridmuridnya.


Wafat

Teungku Fakinah Mangkat Pada tanggal 8 Ramadhan 1359 H atau tahun 1938 M, Teungku Fakinah sebagai Pahlawan dan Ulama Wanita Aceh menghembuskan nafasnya yang terakhir di rumah kediamannya di kampung Beuha Mukim Lam Krak dalam usia 75 tahun.


Sumber: