Abdullah bin Ummi-Maktum - Sahabat Nabi, Muadzin Kedua yang Tunanetra

Abdullah bin Ummi-Maktum adalah sahabat Nabi Muhammad saw yang termasuk golongan muhajirin awal yang tunanetra. Karena dialah, Nabi Muhammad mendapat teguran dari Allah, sewaktu Nabi Muhammad berbicara dengan para pembesar Quraisy, dengan harapan mereka bisa memeluk Islam. Para pembesar Quraisy adalah: Utbah bin Rabi'ah, Abu Jahal, Abbas bin Abdul Muthalib, Ubay bin Khalaf dan Umayyah bin Khalaf.

Abdullah bin Ummi-Maktum berasal dari Suku Quraisy yang masih memiliki hubungan saudara dengan Khadijah binti Khuwailid. Ibu dari Ibnu Ummi Maktum adalah saudara kandung dari Ibu yang melahirkan Siti Khadijah (istri Rasulullah). Ia memiliki kekurangan, yaitu dia adalah seorang tuna netra tetapi hal ini tidak mengurangi keinginannya untuk memeluk dan belajar agama Islam. Ia memiliki status sosial yang biasa-biasa saja.

Ia sebagai seorang tuna netra mendapatkan kemudahan untuk tidak mengikuti pertempuran dalam membela Islam. Sebagai seorang Muslim yang taat, sebenarnya ia berkeinginan untuk mendapatkan mati syahid melalui pertempuran. Akhirnya, Ia dapat mengikuti pertempuran dalam Pertempuran Qadisiyyah di bawah komando Sa`ad bin Abi Waqqas dan mendapatkan mati syahid.

Abdullah bin Ummi-Maktum - Sahabat Nabi, Muadzin kedua yang Tunanetra
Raudhah, Masjid Nabawi

Ibnu Ummi Maktum Al-Qurasyi Al-Amiri. Nama aslinya masih diperselisihkan. Penduduk Madinah mengatakan namanya adalah Abdullah bin Qais bin Zaidah bin Al-Asham bin Rawahah Al-Qurasyi Al-Amiri. Sedangkan penduduk Irak menamainya Amr.

Ibunya adalah Ummi Maktum yang memiliki nama asli Atikah binti Abdillah bin Ankatsah bin Amir bin Makhzum bin Yaqadhah Al-Makhzumiyah.

Dikisahkan bahwa sahabat Anas bin Malik pernah  bertanya kepadanya, “Kapan kamu mengalami kebutaan?” “Sejak kecil.”

“Sungguh Jibril telah datang kepada Rasulullah saw. yang disamping nya ada Ibnu Ummi Maktum, lalu beliau juga bertanya kepadanya? “Kapan kamu buta?” “Sejak saya masih anak-anak.” Lalu beliau besabda, “Allah swt berfirman, “Jika Aku mengambil hal yang mulia dari hambaku, maka aku tidak akan menemukan balasan untuknya (yang pantas) kecuali surga.”

Ia masuk Islam sejak di Makkah dan ikut hijrah setelah perang Badar. Meskipun ia tunanetra, namun ia memiliki tugas yang sangat penting ketika di Madinah, yakni sebagai muadzin Rasulullah saw. bersama Bilal.

Aisyah r.a., istri Rasulullah saw. pun pernah mengatakan bahwa Ibnu Ummi Maktum adalah muadzin untuk Rasulullah saw. meskipun ia buta. Tugasnya sebagai muadzin juga diungkap oleh Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Sungguh jika Bilal adzan di malam hari (adzan pertama di fajar kadzib), maka makanlah dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum memanggil. Ia adalah buta, ia tidak akan memanggil sampai dikatakan kepadanya bahwa telah pagi-telah pagi.”


Teguran Allah ntuk Rasullullah

Rasulullah saw. sangat memuliakannya, selain sebagai muadzin, beliau juga pernah memberinya tugas menjadi imam shalat untuk para sahabat yang lainnya. Meskipun begitu, Rasulullah saw. pernah diberikan teguran Allah swt. karena tidak menghiraukan kedatangan Ibnu Ummi Maktum yang datang kepadanya untuk belajar agama Islam.

Kisah tersebut bermula saat Nabi saw. sedang menemui tamu-tamunya dari pemuka Quraisy. Diantaranya adalah Utbah bin Rabiah. Lalu datanglah Ibnu Ummi Maktum hendak bertanya tentang sesuatu dan meminta bimbingan Nabi saw. Namun Nabi saw. tidak menghiraukannya, malah berpaling darinya, dan lebih mementingkan tamu-tamunya dengan harapan agar mereka mau masuk Islam, sedangkan Ibnu Ummi Maktum telah Islam. Lalu turunlah ayat Abasa.

عَبَسَ وَتَوَلَّىٰٓ       أَنْ جَآءَهُ الْأَعْمَىٰ

Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling, karena seorang buta telah datang kepadanya (Abdullah bin Ummi Maktum). (Abasa: 1-2)

Ibnu Ummi Maktum juga dikenal sebagai sahabat yang pemberani. Betapa tidak, dengan kondisinya yang tidak memungkinkan untuk melihat musuh, ia mendatangi perang Qadisiyyah, dengan membawa bendera hitam dan memakai baju perang. Bahkan diceritakan ia berhasil membunuh musuh. Namun setelah kepulangannya dari peperangan itu, di Madinah ia wafat yang waktunya berjarak sebentar sebelum wafatnya Umar bin Khattab.