Biografi Frans Kaisiepo - Pahlawan Nasional dari Papua

Frans Kaisiepo
Frans Kaisiepo
Lahir : Biak, Senin, 10 Oktober 1921
Warga Negara : Indonesia
Istri : Anthomina Arwam

Pendidikan
Sekolah Rakyat pada 1928–1931
LVVS Korido pada 1931–1934
Sekolah Guru Normalis 
di Manokwari pada 1934–1936
Bestuur Course 
pada March – August 1945
Bestuur School / Pamong Praja 
pada 1952–1954
Pendiri, Partai Indonesia Merdeka, 1946
Anggota Delegasi RI, Konferensi Malino, 
Sulawesi Utara, 1946
Anggota, Kepemimpinan Hakim Tertinggi, 
Dewan Pertimbangan Agung RI, 1972
Gubernur Papua, 1964-1973

Frans Kaisiepo (lahir di Wardo, Biak, Papua, 10 Oktober 1921 – meninggal di Jayapura, Papua, 10 April 1979 pada umur 57 tahun) adalah pahlawan nasional Indonesia dari Papua.

Frans terlibat dalam Konferensi Malino tahun 1946 yang membicarakan mengenai pembentukan Republik Indonesia Serikat sebagai wakil dari Papua. Ia mengusulkan nama Irian, kata dalam bahasa Biak yang berarti beruap atau panas. Selain itu, ia juga pernah menjabat sebagai Gubernur Papuake-4  antara tahun 1964-1973.

Sejak muda, Kaisiepo telah dikenal sebagai aktivis gerakan kemerdekaan Republik Indonesia di wilayah Irian (sekarang kembali bernama Papua). Ketika pemerintah Belanda menangkap Silas Papare, pendiri Partai Kemerdekaan Irian Indonesia (PKII), bersama beberapa aktivis pro-Republik setelah mengibarkan bendera Merah-Putih pada 17 Agustus 1947, Kaisiepo dan Johan Ariks memutuskan untuk meneruskan perjuangan rekan mereka menyatukan wilayah Irian ke pangkuan Indonesia.

Frans Terkenal dengan sikap anti-Belanda yang kua bahkan dia meminta anaknya, Markus Kaisiepo, untuk mengganti papan nama sekolah yang saat itu bertuliskan Papua Bestuurschool menjadi Irian Bestuurschool. Bagi mantan anggota Hakim Tertinggi DPA ini, nama Irian mencerminkan sikap hidup dan semangat persatuan untuk menolak kehadiran Belanda yang berusaha berkuasa kembali pasca-Proklamasi Kemerdekaan RI. Sejarah juga mencatat tiga hari menjelang Proklamasi, tepatnya 14 Agustus 1945, Kaisiepo dan beberapa rekan seperjuangannya memperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya di Kampung Harapan Jayapura. Beberapa hari sesudah Proklamasi, atau pada 31 Agustus 1945, Kaisiepo dan rekan-rekannya melaksanakan upacara dengan pengibaran bendera Merah Putih dan nyanyian lagu kebangsaan.

Pada 10 Juli 1946, pahlawan Trikora ini mendirikan Partai Indonesia Merdeka yang diketuai Lukas Rumkofen. Pada bulan yang sama, Kaisiepo juga berangkat ke Sulawesi utara sebagai salah satu anggota Delegasi RI dalam Konferensi Malino 1946 dan tercatat sebagai satu-satunya putra Irian yang hadir dalam salah satu perundingan paling penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia tersebut. Dalam Konferensi yang sama juga nama Irian diusulkan Frans Kaisiepo untuk mengganti nama Papua sekaligus menyatakan penolakan atas skenario usulan pembentukan Negara Indonesia Timur.

Selang dua tahun setelah Konferensi, gerakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda pecah di Biak, Irian dengan Kaisiepo tercatat sebagai salah satu penggerak insiden tersebut. Setahun berikutnya, atau pada 1949, putra Irian sejati ini menolak penunjukan dirinya sebagai wakil Belanda untuk wilayah Nugini dalam Konferensi Meja Bundar di Nederland, Belanda berdasar alasan tidak mau didikte oleh Belanda. Atas penolakan ini, Kaisiepo bahkan rela disekap sebagai tahanan politik mulai 1954 - 1961.

Setelah bebas dari penahanan, Kaisiepo mendirikan Partai Politik Irian pada 1971 yang bertujuan utama menggabungkan wilayah Nugini sebagai bagian NKRI. Pada masa-masa inilah salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah RI pecah dengan dimulainya TRIKORA (Tiga Komando Rakyat) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 di Yogyakarta. Kaisiepo juga sering melindungi para sukarelawan yang diam-diam melakukan infiltrasi ke wilayah Irian barat tersebut.

Hasil dari TRIKORA adalah Perjanjian New York pada 15 Agustus 1963 yang memaksa Belanda menyerahkan kekuasaan politis atas Irian Barat ke tangan Indonesia. Melalui pengawasan PBB, pemerintah RI berhak atas pengembangan wilayah Irian mulai 1963 - 1969 sebelum rakyat Papua memutuskan untuk terus bergabung atau lepas dari tangan Indonesia.

Pada 1964 bisa disebut sebagai tahun paling kritis bagi Irian. Gubernur pertama Irian, Elieser Jon Bonay, mulai menjabat pada 1963. Pada awal 1964, Bonay membuat usulan ke PBB yang menyatakan separasi dan kemerdekaan bagi Irian Barat sekaligus menyatakan mundur dari jabatan gubernur dan digantikan Frans Kaisiepo. Sayangnya, pengunduran diri tanpa penggantian posisi ini justru memicu kekecewaan Bonay dan membuatnya memilih keluar dari kampung halaman untuk bergabung, dan selanjutnya menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh, dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Belanda.

Kaisiepo sendiri terus berjuang menyatukaan Irian dengan RI sesuai impiannya sejak awal dan pada 1969 impian ini terbayar dengan masuknya Irian sebagai propinsi paling muda di Indonesia saat itu. Pada 1972, Kaisiepo dilantik sebagai salah satu anggota MPR RI sebelum akhirnya menjabat anggota Hakim Tertinggi Dewan Pertimbangan Agung sejak 1973 hingga 1979.

Frans Kaisiepo, salah satu putra terbaik Irian meninggal dunia pada 10 April 1979, Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cendrawasih, Jayapura. Untuk mengenang jasanya, namanya diabadikan sebagai nama Bandar Udara Frans Kaisiepo di Biak. Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cendrawasih, Jayapura.

Atas segala jasa-jasanya, Frans Kaisiepo dianugerahi Bintang Maha Putera Adi Pradana Kelas Dua. Dan diangkat menjadi salah satu pahlawan Indonesia berdasar Keputusan Presiden nomor 077/TK/1993.