Biografi Siti Hartinah - Istri Presiden Indonesia kedua, HM Soeharto

Siti Hartinah
Fatimah Siti Hartinah Soeharto
Ibu Negara Indonesia
Masa jabatan
12 Maret 1967 – 28 April 1996
Alias : Tien Soeharto
Agama : Islam
Lahir : Desa Jaten, Surakarta, Jawa Tengah, 
Kamis, 23 Agustus 1923.
Meninggal: 28 April 1996 (umur 72)
 Jakarta, Indonesia.
Warga Negara : Indonesia

Suami : Soeharto
Anak
Siti Hardijanti Rukmana (Tutut)
Sigit Harjojudanto (Sigit)
Bambang Trihatmodjo (Bambang)
Siti Hediati Hariyadi (Titiek)
Hutomo Mandala Putra (Tommy)
Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek)
Ayah : RM Soemoharjomo
Ibu : R. Aj. Hatmanti
Raden Ayu Siti Hartinah adalah istri Presiden Indonesia kedua, Jenderal Purnawirawan Soeharto (Tien menikah dengan Soeharto pada tanggal 26 Desember 1947 di Surakarta). Siti Hartinah, yang sehari-hari dipanggil "Tien" merupakan anak kedua pasangan KPH Soemoharjomo dan Raden Ayu Hatmanti Hatmohoedojo. Ia merupakan canggah Mangkunagara III dari garis ibu. Siti Hartinah lahir di Desa Jaten, Surakarta, Jawa Tengah, 23 Agustus 1923 dan meninggal di Jakarta, 28 April 1996 pada umur 72 tahun).

Kehidupan awal

Orang tua Tien sering  ditugaskan ke  berbagai daerah sehingga mengakibatkanTien harus berpindah-pindah tempat tinggal sejak kecil. Untuk pertama kalinya di tahun 1925, pada saat usianya baru tiga tahun, Tien ikut ayahnya, RM. Ng. Soemoharjomo yang menempati jabatan baru sebagai Panewu Pangreh Praja (setingkat Camat) ditugaskan ke Jumapolo, sebuah kota Kecamatan di Karanganyar, Solo. Di kota ini, Tien hampir saja meninggal dunia karena terserang disentri yang memang sedang mewabah saat itu.

Dua tahun kemudian, Tien kembali pindah. Kali ini bersama keluarganya dia pindah ke Matesih, Kabupaten Karanganyar di kaki Gunung Lawu. Di desa tersebut, Tien sempat mengenyam pendidikan dasarnya. Tidak berapa lama Tien beserta keluarganya kembali pindah ke Solo. Di Solo, Tien kemudian masuk salah satu sekolah elit, HIS (Holland Indlanche School).

Tak lama berada di Solo, setahun kemudian Tien terpaksa harus kembali ke desanya dan meninggalkan HIS. Hal ini terjadi karena ia terserang penyakit cacar yang sangat mengkhawatirkan. Tien pun menyusul kedua orangtuanya ke Kerjo. Di tempat baru ini, setelah sembuh, Tien kembali masuk sekolah. Tentu saja tidak di HIS, melainkan di sekolah Ongko Loro yang ada di desa itu. Sebenarnya setelah tamat dari sekolah Ongko Loro, Tien ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi karena dia ingin menjadi seorang dokter. Namun sayangnya keinginannya ini tidak bisa terwujud. Tien akhirnya mengisi hari-harinya dengan kegiatan seperti membatik, belajar menari, menyanyi tembang Jawa serta menulis syair.

Masa remaja

Setelah Jepang memasuki kota Solo, kegiatan yang dilakukan Tien semakin bertambah. Dia mengikuti kursus bahasa Jepang pada orang Jepang yang sudah lama menetap di Solo sejak zaman kolonial Belanda. Tien juga kemudian bergabung dengan Laskar Putri Indonesia, organisasi wanita yang bertujuan untuk membentuk pasukan bantuan untuk melayani kepentingan pasukan garis depan dan garis belakang demi suksesnya perjuangan. Di LPI, Tien ditugaskan untuk menjadi staf yang mengendalikan urusan perlengkapan atau logistik. Selama menjadi anggota LPI, Tien pernah ditempatkan di dapur umum Salatiga untuk membantu kekurangan tenaga di sana. Secara umum, LPI benar-benar menjadi penunjang kesuksesan perjuangan melawan musuh.

Menikah

Pernikahan antara Tien dengan Soeharto diawali dengan lamaran yang dibawa oleh utusan keluarga Prawirowihardjo yang merupakan orang tua angkat mantan presiden Soeharto datang ke rumah Tien dengan maksud untuk melamarnya. Walaupun belum pernah bertemu sebelumnya, ternyata Tien langsung menerima lamaran tersebut padahal sebelumnya dia selalu menolak lamaran yang datang padanya.

Pada tanggal 26 Desember 1947 setelah melewati proses lamaran akhirnya keduanyapun menikah secara sederhana karena memang kondisi saat itu sedang tegang setelah masih dalam pendudukan penjajah. Tiga hari setelah perkawinan, Tien diboyong suaminya ke Yogyakarta yang merupakan seorang perwira militer dan bertugas mempertahankan kedaulatan bangsa dari ancaman Belanda. Kini Siti Hartinah telah mendapat tugas baru yaitu sebagai istri komandan resimen. Setelah tinggal selama 9 bulan, Tien hamil. Namun sayangnya, pada saat itu suaminya justru harus sering meninggalkannya. Aksi militer Belanda yang semakin hebat membuat tugas suaminya menjadi lebih berat. Bahkan untuk sekedar bertemu suaminya saja, Tien harus melakukannya secara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan Belanda.

Tien melahirkan putri pertamanya pada tanggal 23 Januari 1949 di rumah pengungsiannya, yang kemudian dia beri nama Siti Hardiyanti Hastuti. Waktu demi waktu, membuat Tien menjadi sosok yang sabar, tegar dan setia mendampingi suaminya yang sedang bertugas sebagai prajurit di medan perang. Dia tidak pernah mengeluh meskipun dia jarang bertemu suaminya. Begitu juga saat terjadi pemberontakan PKI, di mana suaminya menjadi tokoh sentral dalam usaha pembubaran organisasi tersebut. Tien tampil sebagai pendorong dan pendamping suami yang paling kokoh. Dia juga memperhatikan langkah-langkah dan tindakan yang diambil suaminya dalam mencermati keadaan yang bergerak cepat.

Menjadi Ibu Negara Indonesia

Pada tahun 1967 Melalui Sidang Istimewa MPRS, Soeharto secara aklamasi diangkat menjadi Presiden menggantikan presiden Soekarno. Tien yang tadinya adalah istri prajurit kini menjadi istri presiden. Sewaktu suaminya ditunjuk untuk menjadi presiden, Tien berpikir kalau jabatan itu tidak akan berlangsung lama.

Namun apa yang dia pikirkan itu ternyata salah. Soeharto sendiri nantinya akan memimpin Indonesia hingga kurang lebih hingga 30 tahun mendatang. Sebagai first lady di Indonesia, tentu saja Tien mengemban banyak tugas yang tidak ringan. Hal pertama yang dia lakukan adalah membenahi istana negara. Dia menyulap istana negara yang Bangunan istana yang merupakan peninggalan zaman Belanda rata-rata sangat kokoh menjadi bangunan yang lebih “lembut”.

Tien menambahkan berbagai perangkat yang menonjolkan ciri khas Indonesia. Mulai dari menambahkan perabot dengan ukiran jati dari Jepara, mengganti lukisan-lukisan dengan lukisan karya pelukis Indonesia hingga memilih warna-warna yang lebih cerah untuk lebih menghidupkan suasana istana kala itu. Salah satu kontribusi terbesar yang pernah diberikan oleh bu Tien dan akan selalu diingat adalah gagasannya untuk membangun Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Walaupun sempat terjadi penolakan terhadap pembangunan taman ini, TMII sendiri di kemudian hari akan menjadi ikon bagi bangsa Indonesia.

Wafat

Setelah kurang lebih selama 47 tahun mendampingi suaminya Soeharto, tepat pada hari Minggu, 28 April 1996, di RS Gatot Subroto, Jakarta, Siti Hartinah menghembuskan nafas terakhirnya karena serangan jantung. Jenazahnya dimakamkan di Astana Giri Bangun, Jawa Tengah, pada tanggal 29 April 1996 sekitar pukul 14.30 WIB.

Upacara pemakaman tersebut dipimpin oleh inspektur upacara yaitu Ketua DPR/MPR saat itu, Wahono dan Komandan upacara Kolonel Inf G. Manurung, Komandan Brigif 6 Kostrad. Sedangkan saat pelepasan almarhumah yang bertindak sebagai inspektur upacara adalah Letjen TNI (Purn) Ahmad Taher dan Komandan Upacara Kolonel Inf Sriyanto, Komandan Grup 2 Kopassus Kartasura zaman itu. Hj. RA Fatimah Siti Hartinah kemudian dianugerahi gelar pahlawan nasional R.I. tak lama setelah kematiannya yakni pada 30 Juli 1996 dengan keluarnya Keppres No. 60/TK/1996.