Biografi Sultan Thaha Syaifuddin - Pahlawan Nasional dari Jambi

Sultan Thaha Syaifuddin
Sultan Thaha Syaifuddin (Jambi, 1816 - Betung, 26 April 1904) adalah sultan terakhir dari Kesultanan Jambi. merupakan pahlawan nasional asal Jambi yang dilahirkan pada pertengahan tahun 1816 di Keraton Tanah Pilih Jambi.

Ia merupakan putra dari Sultan M. Fachrudin dengan gelar sultan Kramat. Nama asli Sultan Thaha adalah Sultan Raden Toha Jayadiningrat. Ketika kecil ia biasa dipanggil Raden Thaha Ningrat.

Meskipun ia terlahir dari kalangan bangsawan, ia memiliki sikap yang rendah hati, senang bergaul dengan masyarakat dan sangat membenci Belanda. Aktivitas melawan Belanda makin gencar sejak ia naik tahta menjadi Raja Jambi pada tahun 1855. Usahanya melawan Belanda dilakukan dengan mengalang kekuatan masyarakat dan berkerjasama dengan raja Sisingamangaraja.

Tahun 1841 ia diangkat sebagai Pangeran Ratu (semacam perdana menteri) di bawah pemerintahan Sultan Abdurrahman. Sejak itu, ia memperlihatkan sikap menentang Belanda. Ketika sebuah kapal dagang Amerika berlabuh di pelabuhan Jambi, ia berusaha mengadakan kerja sama dengan pihak Amerika.

Sultan Thaha Syaifuddin tidak mengakui perjanjian yang dibuat oleh  sultan-sultan terdahulu dengan Belanda. Salah satu diantaranya perjanjian tahun 1833 yang menyatakan Jambi adalah milik Belanda dan dipinjamkan kepada Sultan Jambi. Belanda mengancam akan memecatnya, akibatnya hubungannya dengan Belanda tegang. Karena sudah memperkirakan Belanda pasti akan menggunakan kekuatan senjata, maka Sultan Thaha pun memperkuat pertahanan Jambi.

Belanda mengirim Residen Palembang untuk berunding dengan Sultan Thaha. Perundingan itu gagal. Sesudah itu, Belanda menyampaikan ultimatum agar Sultan Thaha menyerahkan diri. Karena Sultan Thaha menolak ultimatum, pada 25 September 1858 Belanda melancarkan serangan. Pertempuran berkobar di Muara Kumpeh. Pasukan Jambi berhasil menenggelamkan sebuah kapal perang Belanda, namun mereka tidak mampu mempertahankan kraton. Sultan Thaha menyingkir ke Muara Tembesi dan membangun pertahanan di tempat ini.

Perang utama sudah berakhir, tetapi perlawanan rakyat berlangsung puluhan tahun lamanya. Sultan Thaha membeli senjata dari pedagang-pedagang Inggris melalui Kuala Tungkal, Siak dan Indragiri. Rakyat dianjurkan agar tetap mengadakan perlawanan. Pada 1885 mereka menyerang sebuah benteng Belanda dalam kota Jambi, sedangkan pos militer Belanda di Muara Sabak mereka hancurkan. Karena itu, Belanda meningkatkan operasi militernya.

Pasukan bantuan dalam jumlah besar didatangkan dari Jawa. Belanda mendatangkan pasukan dari Magelang lewat Semarang dan Palembang. Pada tanggal 31 luli 1901 pasukan Belanda yang datang mendapatkan perlawanan sengit di Surolangun. Namun, pasukan Belanda terus mengadakan pengejaran sampai ke pedalaman. Mereka berhasil menawan pasukan dan pengikut Sultan Thaha.

Pada tahun 1904, Belanda melakukan penyerbuan dan berhasil menyergap pasukan Sultan Thaha di dusun Betung Berdarah. Dalam penyerbuan itu, Sultan Thaha wafat dalam usia ke 88. Jasadnya dikebumikan di Muara Tebo yang kini dijadikan sebagai Makam Pahlawan Nasional Sultan Thaha Syaifuddin.

Thaha Sjaifuddin diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada 24 Oktober 1977  dengan Keppres No. 79/TK/1977. Namanya diabadikan sebagai nama bandara di Jambi.