Biografi Suhrawardi - Filsuf Iluminasi dan konsep Tasawuf

cahayaSuhrawardi adalah seorang filsuf islam yang berasal dari Iran Selatan. Ia merupakan seorang sufi yang terkenal dengan pemikirannya tentang hikmah isyraqiyah.

Dalam bidang filsafat Islam sering disebut dengan teori iluminasi (pancaran). Suhrawardi berusaha mensintesiskan pendekatan burhani dan irfani dalam pemikiranya yang kemudian melahirkan tasawuf falsafi atau teosofi. Dasar dari teori ini adalah bahwa Allah adalah cahaya dari segala cahaya dan sumber dari segala yang ada. Dari cahaya Allah itulah muncul cahaya-cahaya yang lain, berupa alam yang maddi, alam ruhi dan akal-akal yang kemudian terbagi-bagi semuanya itu tidak lain, hanyalah kesatuan dari cahaya-cahaya yang menggerakkan alam semesta ini.


Biografi

Suhrawardi yang memiliki nama lengkap Syihab al-Din Yahya bin Habasybi bin Amirak Suhrawardi, lahir di Suhrawardi, sebuah desa dekat kota Zinjan di Iran Selatan pada 549 H/1155 M dan meninggal di Aleppo pada 587 H/1197 M. Ia dijuluki al-Maqtul (yang terbunuh) atau al-syahid, sebab ia meninggal karena dibunuh atas suruhan al-Malik al-Zahir (raja Aleppo dan Siria Utama). Keputusan pembunuhan atas dirinya diambil karena ajaran tasawufnya dipandang telah menyeleweng dari rel Islam. Julukan lain yang sering dinisbatkan kepadanya adalah Syaikh al-Isyraq (Guru Illuminasi).

Suhrawardi menjalani masa studinya pada beberapa guru di beberapa tempat. Majd al-Din al-Jili adalah gurunya yang pertama, yang mengajarinya filsafat dan teologi di Maragha. Selain itu, ia diajar pula Fakhr al-Din al-Mardini (w. 594/1198), yang juga mengajar di Isfahan atau Mardin. Orang inilah yang diduga sebagai gurunya yang terpenting. Al-Mardini berada di wilayah Aleppo, sesaat Suhrawardi dieksekusi peristiwa yang telah ia prediksikan sebelumnya tetapi sejauh ini tidak diketahui apakah ia punya peran, positif atau negatif, dalam intrik yang membawa ke pengadilan dan selanjutnya pembunuhan atas Suhrawardi. Al-Mardini merupakan orang sezaman dengan Abu al-Barakat al-Bahgdadi (w. 560/1164), seorang pengikut aliran anti Aristoteles yang terkenal. Ia juga murid dari Baghdadi yang lain dan menjadi rivalnya di Baghdad. Karena hal ini dan sekian alasan lain, al-Baghdadi termasuk salah seorang dari sedikit filsuf sezaman yang disebut-sebut Suhrawardi.

Baik Suhrawardi maupun al-Baghdadi dalam persoalan filsafat yang mendasar sama-sama memberi peran penting kepada intuisi dalam bangunan filsafat. Menurut Hossein Ziai, struktur karya filosofis al-Baghdadi, Evidential (al-Mu’tabar), juga terefleksi dalam karya-karya filosofis Suhrawardi. Bagi Ziai, ini membuktikan al-Baghdadi semestinya dipandang sebagai satu sumber langsung yang penting bagi banyak pendekatan non-peripatetik Suhrawardi terhadap persoalan filsafat.

Al-Baghdadi, sebagaimana Suhrawardi, mengklaim bahwa magnum opus-nya, al-Mu’tabar, merupakan gubahan tentang dasar refleksi pribadi. Keduanya mengakui bahwa kepastian intuisi punya validitas yang sama dengan kepastian penalaran dan persepsi inderalah yang diterima oleh kaum Peripatetik.

Guru Suhrawardi yang lain adalah Zahir al-Farsi (Nasr menyebutnya Zahiruddin al-Qari), dari tokoh ini ia belajar tentang pengamatan (al-Basha’ir). Juga belajar dari seorang ahli logika ternama, ‘Umar ibn Sahla al-Sawi (w. 540/1145), salah seorang dari filsuf yang namanya disebut-sebut oleh Suhrawardi, khususnya dalam kaitan dengan permasalahan-permasalahan tertentu logika yang rumit.

Setelah menyelesaikan studinya, Suhrawardi melakukan perjalanannya ke Iran. Di sana ia menemui sejumlah syekh sufi dan sangat tertarik sebagian dari mereka. Pada kenyataannya, ia memasuki lingkaran kehidupannya melalui jalan sufi dan cukup lama berkhalwat dalam mempelajari dan menekuninya.

Perjalanannya secara bertahap meluas hingga mencapai Anathole dan Suriah yang pemandangan alamnya memukau. Pernah dalam perjalanannya, ia pergi dari Damaskus ke Aleppo untuk menemui Malik Zahir, putera Salah al-Din al-Ayyubi yang terkenal. Malik yang punya kecintaan khusus kepada para sufi dan sarjana, menjadi tertarik kepada pemikir muda Suhrawardi, lalu mengundangnya untuk tinggal di istana.

Suhrawardi yang sudah sangat menyukai daerah ini, dengan senang hati menerima undangan tersebut dan tinggal di istana. Akan tetapi karena caranya yang oensif dan kekurang hati-hatiannya dalam menyebarkan doktrin-doktrin esoterik dihadapan semua jenis audiens; intelegensinya yang tajam yang memungkinkannya untuk mengalahkan lawan-lawannya dalam berdebat dan kepiawaiannya baik dalam filsafat diskursif maupun sufisme, membuatnya banyak dimusuhi orang, terutama di kalangan para ulama hukum (fuqaha). Belakangan, ulama-ulama tersebut menuntut kepada Malik Zahir, agar menjatuhi hukum mati terhadap Suhrawardi karena terbukti menyebarkan doktrin-doktrin yang bertentangan dengan agama.

Malik awalnya menolak. Maka mereka melanjutkan tuntutannya kepada Salah al-Din al-Ayyubi secara langsung. Pada saat itu Suriah telah terbebas dari tentara Salib, sementara dukungan ulama merupakan satu hal penting bagi kekuatan Sultan Salah al-Din. Karena desakan mereka terus menerus, akibatnya Sultan mengabulkan tuntutan mereka itu. Malik dipaksa untuk melaksanakannya. Lalu kekuasaan eksekutif keagamaan mengakhiri hidup pemikir muda yang cemerlang itu dengan memenjarakannya. Dan ketika ia meninggalkan penjara, ia wafat tanpa sebab yang dapat diterangkan sebagai penyebab langsung kematiannya pada 587/1191. Demikianlah Syaikh al-Isyraq menerima nasibnya pada usia 38 tahun, sebagaimana yang diterima pendahulunya, al-Hallaj, yang cukup menarik baginya ketika masa hidupnya, dan ia sendiri banyak mengutip ucapan-ucapan al-Hallaj dalam buku-bukunya.


Pemikiran Teosofis Suhrawardi

Pengertian Teosofi

Secara etimologis kata teosofi berasal dari kata theosophia, gabungan dari kata theos yang berarti Tuhan dan shophia yang berarti knowledge, doctrine, dan wisdom. Jadi secara literal teosofi berarti pengetahuan atau keahlian dalam masalah-masalah ketuhanan.

Dalam kaitan dengan bidang kajiannya, ada term lain yang mirip dengan teosofi, yaitu teologi. Kedua istilah ini mengacu pada pembahasan terhadap masalah-masalah ketuhanan, perbedaannya terletak pada operasionalnya. Di dalam mengkaji masalah ketuhanan, teologi menggunakan pendekatan spekulatif-intelektual dalam menginterpretasikan hubungan antara manusia, alam semesta, dan Tuhan. Sementara teosofi lebih menukik pada inti permasalahan dengan menyelami misteri-misteri ketuhanan yang paling dalam. Orang yang ahli dalam bidang teologi disebut teolog sementara orang yang ahli teosofi dinamakan teosofos.

Dalam pemahaman Suhrawardi, pengertian teosofos menjadi lebih luas. Menurutnya teosofos adalah orang yang ahli dalam dua hikmah sekaligus, yakni hikmah nazariyyah dan hikmah ‘amaliyyah. Adapun yang dimaksud dengan hikmah nazariyyah ialah filsafat sementara hikmah ‘amaliyyah ialah tasawuf.

Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa teosofi adalah pemahaman tentang misteri-misteri ketuhanan yang diperoleh melalui pemikiran filosofis-sufistis sekaligus, sedangkan teosofos adalah orang yang mampu mengawinkan latihan intelektual teoritis melalui filsafat dengan penyucian jiwa melalui tasawuf dalam mencapai pemahaman tersebut.


Konsep Teosofi Suhrawardi

Pemikiran teosofi Suhrawardi berujung pada konsep cahaya (iluminasi, ishraqiyyah) yang lahir sebagai perpaduan antara rasio dan intuisi. Istilah Ishraqi sendiri sebagai simbol geografis mengandung makna timur sebagai dunia cahaya. Sementara mashriq yang berarti tempat matahari terbit merefleksikan sumber cahaya.

Sebelum menawarkan konsep iluminasi, Suhrawardi pada mulanya mengikuti pola emanasi yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh peripatetik, terutama al-Farabi dan Ibn Sina, yang membagi arah pemikiran tiap akal yang dihasilkan ke dalam tiga posisi :

1) posisi akal-akal sebagai wajib al-wujud lighairihi,
2) sebagai mumkin al-wujud lidhatihi, dan
3) sebagai mahiyah/zatnya sendiri.

Akal pertama, dengan memikirkan dirinya sendiri sebagai wajib al-wujud lighairihi memunculkan akal kedua, dengan memikirkan dirinya sendiri sebagai mumkin al-wujud lidhatihi memunculkan jirm al-falak al-aqsa, dan dengan memikirkan dirinya sendiri sebagai mahiyah menimbulkan nafs al-falak al-muharrik. Begitu seterusnya sampai akal X sebagai al-‘Aql al-fa’al yang menyebabkan adanya alam.

Sebagai pembanding dari teori emanasi di atas, Suhrawardi memformulasikan teori baru, yakni teori iluminasi, yang sebenarnya merupakan koreksi atas pembatasan akal sepuluh pada teori emanasi. Dalam teorinya ini Suhrawardi tampaknya keberatan dengan adanya posisi akal sebagai wajib al-wujud lighairihi, mumkin al-wujud lidhatihi, dan mahiyah. Menurutnya, bagaimana mungkin dari satu akal memunculkan falak-falak dan kawakib yang tak terhitung banyaknya? Dengan menetapkan tiga posisi akal seperti yang disebutkan di atas, maka mustahil bagi akal tertinggi memiliki persambungan dengan falak-falak dan kawakib yang sangat banyak itu. Oleh karenanya, Suhrawardi menolak pembatasan akal hanya pada jumlah sepuluh.

Selanjutnya Suhrawardi mengganti istilah akal-akal dalam teori emanasi itu dengan istilah cahaya-cahaya. Secara teknis proses iluminasi cahaya-cahaya tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut :

Proses iluminasi Suhrawardi dimulai dari Nur al-Anwar yang merupakan sumber dari segala cahaya yang ada. Ia Maha Sempurna, Mandiri, Esa, sehingga tidak ada satupun yang menyerupai-Nya. Ia adalah Allah. Nur al-Anwar ini hanya memancarkan sebuah cahaya yang disebut Nur al-Aqrab.
Selain Nur al-Aqrab tidak ada lainnya yang muncul bersamaan dengan cahaya terdekat. Dari Nur al-Aqrab (cahaya pertama) muncul cahaya kedua, dari cahaya kedua muncul cahaya ketiga, dari cahaya ketiga timbul cahaya keempat, dari cahaya keempat timbul cahaya kelima, dari cahaya kelima timbul cahaya keenam, begitu seterusnya hingga mencapai cahaya yang jumlahnya sangat banyak. Pada setiap tingkat penyinaran setiap cahaya menerima pancaran langsung dari Nur al-Anwar, dan tiap-tiap cahaya dominator meneruskan cahayanya ke masing-masing cahaya yang berada di bawahnya, sehingga setiap cahaya yang berada di bawah selalu menerima pancaran dari Nur al-Anwar secara langsung dan pancaran dari semua cahaya yang berada di atasnya sejumlah pancaran yang dimiliki oleh cahaya tersebut. Dengan demikian, semakin bertambah ke bawah tingkat suatu cahaya maka semakin banyak pula ia menerima pancaran.

Mengacu pada proses penerimaan cahaya yang digambarkan di atas, maka dari proses penyebaran cahaya menurut iluminasi Suhrawardi dapat diperoleh gambaran hasil jumlah pancaran yang dimiliki oleh tiap-tiap cahaya. Cahaya I (Nur al-Aqrab) memperoleh 1 kali pancaran, cahaya II memperoleh 2 kali pancaran, cahaya III memperoleh 4 kali pancaran, cahaya IV memperoleh 8 kali pancara, cahaya V memperoleh 16 kali pancaran, cahaya VI memperoleh 32 kali pancaran, cahaya, VII memperoleh 64 kali pancaran, cahaya VIII memperoleh 128 kali pancaran, cahaya IX memperoleh 256 kali pancaran, dan cahaya X memperoleh 512 kali pancaran, begitu seterusnya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa setiap cahaya yang berada di bawah akan menerima pancaran sebanyak dua kali jumlah pancaran yang dimiliki cahaya yang berada setingkat di atasnya.

Senada dengan teori emanasi, teori iluminasi ini juga membentuk susunan kosmologi yang terpancar dari cahaya-cahaya pada tiap tingkatan. Susunan tersebut, dari cahaya pertama sampai cahaya kesepuluh secara berturut-turut, adalah The great sphere of diurnal motion, the sphere of fixed stars, the sphere of Saturn, the sphere of Jupiter, the sphere of mars, the sphere of the sun, the sphere of venus, the sphere of mercuri, the sphere of moon, the sphere of ether, dan the sphere of zamharir yang dikenal sebagai ruang perbatasan dengan sfera bumi.


Karya-Karya Suhrawardi
Suhrawardi adalah sosok pemuda yang cerdas, kreatif, dan dinamis. Ia termasuk dalam jajaran para filosof sekaligus sufi yang sangat produktif sehingga dalam usianya yang relatif pendek itu ia mampu melahirkan banyak karya kurang lebih 50 karya. Hal ini menunjukkan kedalaman pengetahuannya dalam bidang filsafat dan tasawuf yang ia tekuni.
Sayyed Hussein Nasr mengklasifikasikan karya-karyanya menjadi lima kategori:
  1. Memberi interpretasi dan memodifikasi kembali ajaran peripatetik serta hikmah  isyraqinya, dalam kelompok ini antara lain kitab : At-Talwihat, Al-Muqawamat, Al-Mutharahat, Hikmahal- Ishraq.
  2. Membahas tentang filsafat yang disusun secara singkat dengan bahasa yang mudah dipahami baik yang berbahasa arab ataupun yang berbhasa persi: Al-Lamhat, Hayakil al-Nur, Risalah fi al-Ishraq.
  3. Karya yang bermuatan sufistik dan menggunakan lambang-lambang yang sulit dipahami, dalam hal ini menggunakan bahasa persi walaupun ada sebagian yang berbahasa arab: al-Aql al-Ahmar, al-Gharb al-Gharbiyah, yaumun ma’a jama’at as-sufiyyin dan lain-lain.
  4. Karya yang merupakan ulasan dan terjemahan dari filsafat klasik: Risalah al-Thair, dan risalah fi haqiqah al-ishq, ini semua karya Ibn sina yang kemudaian di terjemahkan oleh Suhrawardi kedalam bahasa Persia.
  5. Karya yang berupa serangkaian doa-doa, yang dikenal dengan kitab al-Waridat wa al-Taqdisat.
 (Berbagai sumber)