Biografi Sa’id bin Zaid radhiallahu ‘anhu

Artikel "Biografi Sa’id bin Zaid radhiallahu ‘anhu" adalah bagian dari "Kisah Sahabat Nabi Muhammad SAW"
kaligrafi Arab yang bermakna Sa’id bin Zaid
Said bin Zaid bin Amru bin Nufail Al Adawi adalah seorang sahabat nabi asal Quraisy. Ia berkesempatan mengikuti semua peperangan yang disertai Muhammad kecuali Perang Badar. Said termasuk sepuluh orang yang dijanjikan masuk surga. Said ikut dalam penaklukan negeri Syam (Suriah dan sekitarnya), Beliau meninggal di Madinah.

Sa'id bin Zaid al Adawy RA merupakan kelompok sahabat yang memeluk Islam pada masa-masa awal, sehingga ia termasuk dalam kelompok as Sabiqunal Awwalun. Ia memeluk Islam bersama istrinya, Fathimah binti Khaththab, adik dari Umar bin Khaththab. Sejak masa remajanya di masa jahiliah, ia tidak pernah mengikuti perbuatan-perbuatan yang umumnya dilakukan oleh kaum Quraisy, kaum musyrikin di Makkah pada saat itu, seperti menyembah berhala, bermain jud!, minum minuman keras, main wanita dan perbuatan jelek lainnya.  Sikap dan pandangan hidupnya ini ternyata diwarisi dari ayahnya, Zaid bin Amru bin Naufal.


Zaid bin Amru bin Naufal

Sejak lama ayah Sa’id, Zaid bin Amru telah meyakini kebenaran agama Ibrahim, tetapi tidak mengikuti Agama Yahudi dan Nashrani yang menurutnya telah jauh menympang dari agama Ibrahim. Ia tidak segan mencela cara-cara peribadatan dan perbuatan jahiliah dari kaum Quraisy tanpa rasa takut sedikitpun.

Di Makkah Zaid bin ‘Amr mengadakan pertemuan dengan Waraqah bin Naufal, ‘Abdullah bin Jahsy, dan Umaimah binti Harits (bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam). Selain mereka, dalam pertemuan itu ada juga ‘Ustman bin Huwairits.

Dalam pertemuan tersebut Zaid meminta kepada yang hadir untuk berpencar ke segala penjuru negeri untuk mencari agama yang benar. Selama dalam pencarian tersebut Waraqah bin Naufal telah memeluk agama Masehi, sementara ‘Abdullah bin Jahsy dan ‘Utsman bin Huwairits masih melanjutkan pencarian terhadap agama yang benar itu, hingga akhirnya datanglah Islam. ‘Abdullah bin Jahsy radhiallahu ‘anhu pun beriman dan masuk Islam, hingga akhirnya dia terbunuh sebagai syahid dalam perang Uhud, lalu dia dijuluki dengan julukan Asy-Syahid Al-Mujadda’ (syahid yang tangannya terpotong).

Tinggalah Zaid bin ‘Amr yang telah pergi ke negeri Syam, hingga akhirnya dia bertemu dengan seorang pendeta di Syam. Sang pendeta pun berkata, “Sesungguhnya kamu sedang mencari agama yang sudah tidak ada. Oleh karena itu, pulanglah ke Makkah, karena sesungguhnya Allah akan mengutus kepada kalian orang yang memperbaharui agama Ibrahim itu. Pergilah, lalu berimanlah kepadanya dan ikutilah dia!”

Ketika Zaid masih berada dalam perjalanan menuju Makkah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah diutus sebagai rasul. Saat itu Zaid belum mengetahui bahwa Rasulullah telah diutus. Sayangnya, kematian telah lebih dulu menjemputnya sebelum dia beriman. Dia telah dibunuh oleh sebagian orang Badui (Arab pedalaman).

Ketika kisah ini diceritakan kepada nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau pun menceritakan tentang sosok Zaid, “ Sesungguhnya dia akan dibangkitkan pada hari kiamat (nanti) seorang diri sebagai satu umat (yang terpisah).”


Masuk Islamnya Sa’id bin Zaid

Menjelang hembusan nafas terakhirnya ayah sa'id, Zaid berkata, “Ya Allah, jika Engkau memang tidak menghendaki kebaikan ini (agama Islam) untukku, maka janganlah Engkau halangi anakku (Sa’id) darinya.” Zaid  meninggal ketika Kaum Quraisy sedang memperbaiki Ka'bah, yakni, ketika Nabi SAW berusia 35 tahun.

Doa Zaid ini masih menggantung di antara langit dan bumi, hingga pada suatu hari ketika Sa’id sedang berada di Makkah, dia mengetahui bahwa Rasulullah telah diutus. Karenanya, dia beserta istrinya, Fatimah binti Khaththab, yang merupakan saudara perempuan ‘Umar bin Khaththab, segera beriman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Keislaman mereka berdua itu terjadi pada awal munculnya Islam, sebelum masuknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ke dalam rumah Arqam bin Abi Arqam (Daarul Arqam).

Sa’id masih merahasiakan keimanannya dan dia sangat sabar menghadapi siksaan yang berasal dari kaumnya, sehingga dia pun tidak diusir dari Makkah,s eperti yang dialami  sebelumnya oleh orang tuanya. Akan tetapi kemudian, ‘Umar mengetahui keimanan Sa’id. ‘Umar pun bermaksud membunuhnya, lalu dia memukulnya hingga darah mengalir dari wajah Sa’id . Akan tetapi, kesabaran Sa’id dalam menghadapi sikap ‘Umar inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab masuknya ‘Umar radhiallahu ‘anhu ke dalam Islam. (seperti yang telah kami sebutkan pada "kisah Umar Bin Khatab.")

Sa’id pergi berhijrah ke Madinah bersama istrinya, Fathimah. Sebelum terjadinya perang Badar, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wasallam telah memilihnya dan mengutusnya untuk pergi bersama Thalhah bin Ubaidillah dengan tujuan agar dia mengetahui jumlah pasukan kaum musyrikin dan mematai gerak-gerik mereka. Oleh karena itu, Sa’id pun tidak ikut serta dalam peperangan Badar. Akan tetapi, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberinya bagian  ghanimah (harta rampasan) yang diperoleh dalam perang tersebut. Dia dianggap seperti orang yang ikut serta dalam perang itu.

Setelah penaklukan terhadap negeri Persia selesai, Sa’id tidak tinggal diam. Dia mengangkat pedang dan barang-barangnya untuk pergi ke negeri-negeri lain yang sedang di perangi oleh kaum muslimin. Kali ini sasarannya adalah negeri Syam dimana pada saat itu sedang berlangsung pertempuran yang sangat menentukan antara kaum  muslimin dengan bangsa Romawi, yaitu perang Yarmuk. Dan dengan izin Allah pertempuran itu dimenangkan oleh kaum muslimin. Kekalahan bangsa Romawi berarti jatuhnya negeri Syam secara keseluruhan ke tangan kaum muslimin.


Masa-masa akhir hayat Sa’id bin Zaid radhiallahu ‘anhu

Pada masa Dinasti Bani Umayyah, Sa’id bin Zaid menangisi shahabat-shahabat Islam yang telah meninggal sebelumnya. Tinggalah dia seorang diri menyaksikan terjadinya fitnah (kerusuhan) dan menyaksikan bagaimana kehidupan dunia dengan segala macam perhiasannya telah masuk ke dalam hati kaum muslimin, maka Sa’id pun lebih memilih untuk kembali ke Madinah dan tinggal disana. Pada waktu itu yang menjadi gubernur di Madinah adalah Marwan bin Hakam bin ‘Ash.

Saat itu seorang wanita yang bernama Arwa binti Uwais keluar, lalu dia berkata, “Sesungguhnya Sa’id telah mencuri tanahku dan telah memasukkannya ke bagian tanahnya.” Sungguh perkataan itu sangat menyakitkan hati Sa’id bin Zaid, sahabat Rasulullah dan salah satu dari sepuluh orang yang mendapat kabar gembira berupa surga. Karenanya, Sa’id pun berkata, “Ya Allah, jika dia berbohong, maka hilangkanlah penglihatannya dan bunuhlah ia di tanahnya sendiri.”

Seketika itu pula hujan turun dari langit sampai diperbatasan tanah yang menurut wanita itu Sa’id telah melampaui batas tersebut. Seketika mata wanita itupun menjadi buta dan hanya selang beberapa hari, wanita itu terjatuh dalam sebuah lubang  yang  berada di tanah miliknya hingga dia meninggal dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabulkan doa Sa’id bin Zaid yang terzhalimi dan telah dituduh sebagai seorang pembohong dan pendusta.

Pada suatu pagi penduduk Madinah dikagetkan oleh suara seorang pelayat yang menangisi kepergian Sa’id bin Zaid radhiallahu ‘anhu. Peristiwa itu terjadi pada masa kekhalifahan Muawiyah bin  Abi Sufyan, tepatnya pada tahun ke-50 Hijriyah. Dia di kuburkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu dan ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhu.

Sa’id bin Zaid radhiallahu ‘anhu wafat di daerah pedalaman, yakni di Aqiq. Tetapi jenazahnya dibawa pulang ke Madinah oleh Sa'd bin Abi Waqqash dan Abdullah bin Umar, keponakannya sendiri, kemudian dimakamkan di Baqi, di antara beberapa sahabat Rasulullah SAW lainnya.

Sumber:
Biografi Sa’id bin Zaid
Sa'id bin Zaid RA