Biografi Imam Ja'far ash Shadiq

Masjid Pusat Cologne di Cologne, Germany
Masjid Pusat Cologne di Cologne, Jerman
Ja'far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib merupakan ahli ilmu agama dan ahli hukum Islam (fiqih). Beliau adalah guru dari Imam Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi), Imam Malik (pendiri mazhab Maliki), Jabir bin Hayyan (Kimiawan) dan Wasil bin Atta (pendiri mazhab Muta'zilah). Keilmuannya mencakup esoteris dan juga eksoteris, ilmu Isyarah dan juga ilmu Ibarah, ilmu kalam dan ilmu hadis, sunnah, ilmu alam dan ilmu-ilmu sejarah.

Dia adalah al-Hakim, orang bijaksana sejati sesuai Alquran, seorang alim yang lengkap yang mengerti bahwa Syariah diterapkan tidak hanya untuk dunia manusia tetapi juga untuk dunia semesta alam. Beliau menerapkan pengetahuan yang tajam untuk menciptakan pola Ilahi di dunia manusia melalui Fiqh, tetapi beliau juga melihat pola-pola di alam dan dalam sejarah dan beliau mengajarkannya kepada murid-muridnya. Beliau adalah pewaris dua rahasia, satu dari Abu Bakar as Siddiq, dan yang lain dari Ali bin Abi Thalib.


Nasab

Imam Ja'afar lahir di Madinah pada tanggal 17 Rabiul Awwal 83 Hijriyah / 20 April 702 Masehi (M). Ja'far yang juga dikenal dengan julukan Abu Abdillah merupakan anak sulung dari Muhammad al-Baqir, sedangkan ibunya bernama Fatimah (beberapa riwayat menyatakan Ummu Farwah) binti al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar. Melalui garis ibu, ia dua kali merupakan keturunan Abu Bakar, karena al-Qasim menikahi putri pamannya, Abdullah bin Abu Bakar. Ia dilahirkan pada masa pemerintahan Abdul-Malik bin Marwan, dari Bani Umayyah.

Beliau memiliki saudara satu ibu yang bernama Abdullah bin Muhammad. Sedangkan saudara lainnya yang berlainan ibu adalah Ibrahim dan Ubaydullah yang beribukan Umm Hakim binti Asid bin al-Mughirah. Ali dan Zaynab beribukan wanita hamba sahaya, dan Umm Salamah yang beribukan wanita hamba pula.

Ja'far bin Muhammad bin 'Ali Zainal 'Abidin bin al Husain bin 'Ali bin Abi Thalib, keponakan Rasulullah dan istri putri beliau Fathimah Radhiyallahu 'anha. Ash Shadiq merupakan gelar yang selalu menetap tersemat padanya. Kata ash Shadiq itu, tidaklah disebutkan, kecuali mengarah kepadanya. Karena ia terkenal dengan kejujuran dalam hadits, ucapan-ucapan dan tindakan-tindakannya. Kedustaan tidak dikenal padanya. Gelar ini pun masyhur di kalangan kaum Muslimin. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah acapkali menyematkan gelar ini padanya.

Laqab lainnya, ia mendapat gelar al Imam dan al Faqih. Gelar ini pun pantas ia sandang. Meski demikian, ia bukan manusia yang ma'shum seperti yang diyakini sebagian ahli bid'ah. Ini dibuktikan, ia sendiri telah menepisnya, bahwa al 'Ishmah (ma'shum) hanyalah milik Nabi.

Imam Ja'far ash Shadiq dikarunia beberapa anak. Mereka adalah: Isma'il (putra tertua, meninggal pada tahun 138 H, saat ayahnya masih hidup), 'Abdullah (dengan namanya, kun-yah ayahnya dikenal), Musa yang bergelar al Kazhim, Ishaq, Muhammad, 'Ali dan Fathimah.


Kepribadian

Dia dikenal memiliki sifat kedermawanan dan kemurahan hatinya yang begitu besar. Seakan merupakan cerminan dari tradisi keluarganya, sebagai kebiasaan yang berasal dari keturunan orang-orang dermawan. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling murah hati.

Dalam hal kedermawanan ini, ia seakan meneruskan kebiasaan kakeknya, Zainal 'Abidin, yaitu bersedekah dengan sembunyi-sembunyi. Pada malam hari yang gelap, ia memanggul sekarung gandum, daging dan membawa uang dirham di atas pundaknya, dan dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkannya dari kalangan orang-orang fakir di Madinah, tanpa diketahui jati dirinya. Ketika beliau telah wafat, mereka merasa kehilangan orang yang selama ini telah memberikan kepada mereka bantuan.

Dengan sifat kedermawanannya pula, ia melarang terjadinya permusuhan. Dia rela menanggung kerugian yang harus dibayarkan kepada pihak yang dirugikan, untuk mewujudkan perdamaian antara kaum Muslimin.


Kehidupan awal

Sejak kecil hingga berusia sembilan belas tahun, ia dididik langsung oleh ayahnya. Setelah kepergian ayahnya yang syahid pada tahun 114 H, ia menggantikan posisi ayahnya sebagai Imam bagi kalangan Muslim Syi'ah.

Pada masa remajanya, Ja'far ash-Shadiq, turut menyaksikan kejahatan dinasti Bani Umayyah seperti Al-Walid I (86-89 H) dan Sulaiman (96-99 H). Kedua-dua bersaudara inilah yang terlibat dalam konspirasi untuk meracuni Ali Zainal Abidin, pada tahun 95 Hijriyah. Saat itu Ja'far ash-Shadiq baru berusia kira-kira 12 tahun. Ia juga dapat menyaksikan keadilan Umar II (99-101 H). Pada masa remajanya Ja'far ash-Shadiq menyaksikan puncak kekuasaan dan kejatuhan dari Bani Umayyah.


Perjalanan keilmuan

Imam Ja'far ash Shadiq, menempuh perjalanan ilmiyahnya bersama dengan ulama-ulama besar. Ia sempat menjumpai sahabat-sahabat Nabi yang berumur panjang, misalnya Sahl bin Sa'id as Sa'idi dan Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhum. Dia juga berguru kepada Sayyidu Tabi'in 'Atha` bin Abi Rabah, Muhammad bin Syihab az Zuhri, 'Urwah bin az Zubair, Muhammad bin al Munkadir dan 'Abdullah bin Abi Rafi' serta 'Ikrimah maula Ibnu 'Abbas. Dia pun meriwayatkan dari kakeknya, al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr.

Mayoritas ulama yang ia ambil ilmunya berasal dari Madinah. Mereka t adalah ulama-ulama kesohor, tsiqah, memiliki ketinggian dalam amanah dan kejujuran.

Sedangkan murid-muridnya yang paling terkenal, yaitu Yahya bin Sa'id al Anshari, Aban bin Taghlib, Ayyub as Sakhtayani, Ibnu Juraij dan Abu 'Amr bin al 'Ala`. Juga Imam Darul Hijrah, Malik bin Anas al Ashbahi, Sufyan ats Tsauri, Syu'bah bin al Hajjaj, Sufyan bin 'Uyainah, Muhammad bin Tsabit al Bunani, Abu Hanifah dan masih banyak lagi.

Para imam hadits -kecuali al Bukhari- meriwayatkan hadits-haditsnya pada kitab-kitab mereka. Sementara Imam al Bukhari meriwayatkan haditsnya di kitab lainnya, bukan di ash Shahih.

Berkat keilmuan dan kefaqihannya, sanjungan para ulama pun mengarah kepada Imam Ja'far ash Shadiq.

Abu Hanifah berkata,"Tidak ada orang yang lebih faqih dari Ja'far bin Muhammad."

Abu Hatim ar Razi di dalam al Jarh wa at Ta'dil (2/487) berkata,"(Dia) tsiqah, tidak perlu dipertanyakan orang sekaliber dia."

Ibnu Hibban berkomentar: "Dia termasuk tokoh dari kalangan Ahli Bait, ahli ibadah dari kalangan atba' Tabi'in dan ulama Madinah".

Imam Ja'afar as Sadiq menjauhkan diri dari ketegangan politik pada masanya, dan berfokus pada mengajar dan mendidik masyarakat. Pilihan ini merupakan keuntungan besar bagi peradaban Islam. Ada kebijaksanaan dalam strategi ini. Sejarah berhutang budi kepada Imam   Ja'afar as Sadiq atas dedikasi beliau bagi pengetahuan dan pengajaran yang menghasilkan tokoh-tokoh besar di bidang fikih, tasawuf, sains dan matematika.

Di bawah penguasa Umayyah, Ja'far as Sadiq dianggap oleh banyak pengikut Syiah sebagai imam Syi'ah keenam, dan bagaimanapun, Syiah dianggap bid'ah dan pemberontak oleh para khalifah Umayyah. Banyak kerabat Ja'far as Shadiq telah tewas di tangan Umayyah. Tak lama setelah kematian ayahnya, paman Ja'far as Sadiq, Zaid bin Ali memimpin pemberontakan melawan Bani Umayyah. Ja'far as Sadiq tidak berpartisipasi, tetapi banyak dari sanak saudaranya, termasuk pamannya tewas, dan lainnya dihukum oleh Khalifah Umayyah. Ada pemberontakan lain selama tahun-tahun terakhir dari Bani Umayyah, sebelum Bani Abbasiyah berhasil merebut kekhalifahan dan mendirikan dinasti Abbasiyah pada tahun 750 Masehi, ketika Ja'far as Shadiq berusia 48 tahun.


Wafatnya Ja'far ash-Shadiq

Ja'far bin Muhammad bin 'Ali Zainal 'Abidin bin al Husain bin 'Ali bin Abi Thalib meninggal pada tanggal 25 Syawal 148 Hijriyah / 13 Desember 765 M.  Beliau dimakamkan di Pekuburan Baqi'.