Waki’ bin al-Jarrah

Masjid Shah Faisal di Islamabad, Pakistan
Masjid Shah Faisal di Islamabad, Pakistan
[Foto Oleh: kiribati21.blogspot.com]
Waki’ bin al-Jarrah adalah  salah seorang ulama besar umat Islam yang hidup di awal-awal masa Islam setelah zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Imam Waki’ hidup pada masa mulai maraknya pengkodifikasian hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beliau lahir pada tahun 129 H (pendalat mayoritas ulama), sebagian berpendapat pada tahun 128 H. Sebagian lagi mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 119 H.


Menuntut Ilmu sejak usia muda

Imam Waki’ telah aktif menimba ilmu dalam usia muda. Dikisahkan, bahwasanya Waki’ telah menekuni ilmu agama kepada Ibnu Juraij sewaktu beliau masih berumur 18 tahun.

Imam adz-Dzahabi menyebutkan, bahwa Waki’ telah menyibukkan dirinya dengan ilmu semenjak umurnya masih kecil. Abdullah bin Ahmad pernah bertanya kepada ayahnya -Imam Ahmad bin Hanbal-, “Pada usia berapa seorang anak kecil sudah diperbolehkan mendengar hadits?” Maka beliau menjawab, “Apabila dia sudah bisa memahami dan menghafal.” Abdullah berkata, “Sebab, ada seseorang -lalu aku sebutkan namanya- yang berpendapat bahwa anak kecil belum boleh mendengar hadits kecuali apabila sudah berumur 15 tahun. Dengan alasan, bahwa dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak keikutsertaan al-Bara’ dan Ibnu ‘Umar karena menganggap mereka berdua terlalu kecil untuk ikut dalam perang Badar.” Imam Ahmad mengingkari pendapat itu. Beliau mengatakan, “Betapa jeleknya pendapat itu. Boleh bagi anak kecil mendengar hadits selama dia sudah bisa memahaminya. Kalau tidak boleh, bagaimana dengan Sufyan bin ‘Uyainah dan Waki’?” Lalu beliau menyebutkan nama-nama ulama lain (yang mendengar hadits pada saat masih


Mengajarkan Hadits

Imam Waki’ telah mulai mengajarkan ilmu hadits pada usia 30 tahun. Ibrahim al-Harbi berkata, “Waki’ telah menuturkan hadits, sedangkan pada saat itu dia berumur 30 tahun.” Sementara beliau wafat pada usia 68 tahun. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa beliau telah menghabiskan umurnya -selama 30 tahun lebih- untuk mengajarkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam masa yang cukup panjang itu para penimba ilmu dari berbagai penjuru datang dan berguru kepadanya. Yahya bin Ma’in berkata, “Sesungguhnya rihlah (perjalanan untuk menimba ilmu oleh pelajar dari berbagai negeri) hanya tertuju kepada Waki’ pada masanya.”

Karena kesungguhan dan ketekunan beliau dalam mengajarkan hadits inilah para ulama menilai beliau termasuk jajaran ahli hadits yang menuturkan hadits dengan penuh ketulusan. Ibnu Ma’in berkata, “Demi Allah, aku tidak pernah melihat seorang pun yang menuturkan hadits tulus karena Allah selain Waki’. Dan tidaklah aku melihat ada seorang pun yang lebih kuat hafalannya daripada Waki’. Waki’ pada masanya seperti al-Auza’i pada zamannya.”


Murid-muridnya

Sufyan ats-Tsauri (Gurunya sendiri), Abdullah ibnul Mubarak, Ibnu Ma’in (salah satu guru Imam Bukhari, al-Humaidi (salah satu guru Imam Bukhari), Abu Bakr Ibnu Abi Syaibah (salah satu guru Imam Bukhari), Imam Ahmad bin Hanbal (salah satu guru Imam Bukhari), ‘Ali ibnul Madini (salah satu guru Imam Bukhari).


Pujian Para Ulama

Jarir mengisahkan: Suat saat datang Ibnul Mubarak kepadaku. Lalu aku pun bertanya kepadanya, “Wahai Abu Abdirrahman, siapakah tokoh Kufah pada hari ini?”. Maka dia pun terdiam. Kemudian beliau berkata, “Dia adalah seorang tokoh yang terhebat di dua kota ini [yaitu Kufah dan Basrah].” Yang beliau maksud adalah Waki’.

Imam adz-Dzahabi memuji Waki’ dengan ucapannya, “Beliau adalah seorang imam, al-Hafizh, periwayat yang kokoh, ahli hadits dari ‘Iraq, salah seorang imam panutan di kalangan para ulama.”

Imam Ahmad bin Hanbal memuji Waki’, “Adalah Waki’ bin al-Jarah imam kaum muslimin pada masanya.” Imam Ahmad juga berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih kuat hafalannya daripada Waki’.” Imam Ahmad juga menceritakan, “Aku tidak pernah melihat Waki’ membawa buku -ketika mengajar-.” Karena Waki’ membaca kitab-kitabnya berdasarkan hafalan.


Nasehat dan Keteladanan Beliau

Di samping kedalaman ilmunya, Waki’ pun dikenal dengan kekhusyu’an dan kesungguhannya dalam beribadah. Waki’ juga sosok yang tidak suka meminta-minta kepada manusia. Dikisahkan, bahwa Imam Ahmad seringkali memanjatkan doa di akhir sholatnya, “Ya Allah, sebagaimana Engkau telah menjaga wajahku dari sujud kepada selain-Mu maka jagalah wajahku dari meminta kepada selain-Mu.” Maka, anaknya yaitu Abdullah berkata kepada Imam Ahmad, “Aku sering mendengar engkau membaca doa ini, apakah engkau memiliki atsar/riwayat yang mendukungnya?” Beliau menjawab, “Iya, ada! Aku dahulu sering mendengar Waki’ membaca doa ini di dalam sujudnya. Maka aku pun bertanya kepadanya sebagaimana kamu bertanya kepadaku. Maka dia berkata kepadaku, “Dahulu aku mendengar Sufyan ats-Tsauri sering membaca doa ini di dalam sujudnya. Maka, aku pun bertanya kepadanya. Dia menjawab, “Dahulu aku mendengar Manshur bin al-Mu’tamir membaca doa itu.”

Waki’ juga sosok yang tidak suka dengan popularitas/syuhroh. Dia tidak senang orang lain mengetahui sholat, puasa, atau ibadah yang dilakukannya. Selain itu, Imam Waki’ adalah sosok yang sangat teguh dalam membela Sunnah dan memurnikan aqidah. Beliau pernah berkata, “Barangsiapa yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk, maka dia adalah kafir.”


Keutamaan Belajar Hadits

Imam Waki’ mengatakan, “Seandainya aku mengetahui bahwa sholat (sunnah) itu lebih utama daripada mengajarkan hadits maka niscaya aku tidak akan pernah mengajarkan hadits.” Hal itu dikarenakan beliau memandang bahwa menimba ilmu hadits dan mengajarkannya lebih utama daripada ibadah-ibadah sunnah dan membaca dzikir-dzikir.

Ibrahim bin Sa’id al-Jauhari berkata: Suatu ketika aku mendengar Waki’ bin al-Jarah mengatakan, “Tidaklah Allah diibadahi dengan sesuatu yang lebih utama daripada -beribadah- dengan -mengajarkan ilmu- hadits.” Beliau juga mengatakan, “Kalau bukan karena mengingat besarnya keutamaan sholawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam niscaya aku tidak akan mengajarkan hadits.”

Beliau juga berkata, “Barang siapa menimba ilmu hadits sebagaimana datangnya (apa adanya) maka dia adalah pembela Sunnah. Dan barang siapa yang menimba ilmu hadits untuk memperkuat pendapatnya maka dia adalah pembela bid’ah.”

Suatu ketika ada orang yang bertanya kepada Waki’ tentang obat apakah yang bisa memperkuat hafalan. Maka beliau menjawab, “Apabila aku ajarkan kepadamu, maukah kau memanfaatkannya?”. Maka orang itu menjawab, “Ya, demi Allah.” Kata Waki’, “Yaitu meninggalkan maksiat. Tidak ada obat yang mujarab semisal itu.”

Sumber:
- Mukadimah tahqiq kitab az-Zuhd karya Imam Waki’, hal. 13-69
- http://buletin.muslim.or.id/akhlaq/mengenal-imam-waki-bin-al-jarrah