Biografi KH Ahcmad Muchith Muzadi - Ulama Pakar Khittah NU

KH Ahcmad Muchith Muzadi
KH Ahcmad Muchith Muzadi adalah Salah seorang ulama sepuh Nahdlatul Ulama (NU). Beliau juga Ulama Jember mantan Musytasyar NU dan juga dikenal sebagai pakar Khittah NU 1926.

Ahcmad Muchith Muzadi lahir di Bangilan Tuban, jawa Timur pada 19 Jumadil Awal 1344H / 4 Desember 1925 M. Beliau memulai perjuangannya di NU tahun 1941. Almarhum adalah santri dari pendiri NU, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari di Pondok Tebuireng Jombang. Sejak saat itu, dia masuk dalam sebelas kiai yang mendirikan Partai NU di Tuban, tahun 1952.

Pada tahun yang sama, almarhum juga mengemban amanah sebagai Ketua GP Ansor Tuban.


Pendidikan

Sejak kecil, almarhum aktif di dunia pergerakan hingga kemerdekaan. Setelah belajar di Pesantren Tuban, ia melanjutkan belajar kepada Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari di Pesantren Tebuireng Jombang.
Pada tahun 1941, saat usianya masih 16 tahun, ia telah menjadi anggota NU melalui pendaftaran di Ranting NU Tebuireng. Di Tebuireng, ia juga belajar berorganisasi. Di sana, ia bertemu beberapa santri terkenal dari daerah lain, diantaranya KH Ahmad Shidiq.

Setamat dari Tebuireng ia kembali ke kampung halamannya di Tuban dengan mendirikan Madrasah Salafiyah (1946). Walaupun sebagai guru, ia juga ikut berjuang melawan penjajah dengan menjadi anggota Lasykar.

Pada tahun 1952, Kiai Muchit mendirikan Sekolah Menengah Islam (SMI), selanjutnya pada tahun 1954 juga mendirikan Madrasah Muallimin Nahdlatul Ulama. Saat menjadi pegawai di IAIN Sunan Kalijogo Yogyakarta (1961), ia mengikuti kuliah di Universitas Cokroaminoto.

Dari Yogyakarta, ia ditugaskan di IAIN Malang pada tahun 1963 dan tahun itulah ia merintis SMP NU. Begitu juga ketika menjadi Pembantu Dekan II di IAIN Sunan Ampel Jember, ia juga mendirikan Madrasah Tsanawiyah.

Penugasan ke IAIN Sunan Ampel Jember membuatnya bertemu lagi dengan sahabat seperguruannya yang menjadi pengasuh pesantren di Jember, yaitu KH. Achmad Shidiq. Dia menemukan teman diskusi yang seimbang dan akhirnya banyak menulis tentang pemikiran keislaman.
Ketika sahabatnya itu menjadi Rais Aam Syuriyah PBNU, ia membuat rumusan konseptual mengenai Aswaja, menuntaskan hubungan Islam dengan negara, dan mencari rumusan pembaruan pemikiran Islam, serta strategi pengembangan masyarakat NU, sehingga ia menjadi sekretaris pribadi KH Achmad Shidiq.

Sukses "duet" KH Ahmad Shiddiq-KH Abdurrahman Wachid (Gus Dur) dalam memimpin NU tidak bisa lepas dari pikiran kreatif KH Muchit Muzadi yang menjadi "penasehat" pemikiran KH Ahmad Shidiq.


Pengalaman organisasi

Mbah Muchith Muzadi merupakan pejuang organisasi yang luar biasa. Sejak pindah dari Tuban ke sejumlah daerah, dia terus berjuang bersama NU.

Di NU, Mbah Muchith pernah menjabat sebagai Sekretaris GP Ansor Jogjakarta (1961-1962), Sekretaris GP Ansor Kabupaten Malang dan Sekretaris PCNU Jember (1968-1975). Dia juga pernah menjabat sebagai Wakil Ketua PCNU Jember (1976-1980), pengurus LP Ma’arif PWNU Jatim (1980-1985), Wakil Rais Syuriyah PWNU Jatim (1992-1995), Rais Syuriyah PBNU (1994-2004), dan Mustasyar PBNU sejak Muktamar NU ke-31 Boyolali (2004).

Ketika NU masih bersama Masyumi, Kiai Muchith juga ikut berjuang bersama para ulama lainnya di Masyumi. Di situ dia pernah menjabat sebagai Komandan Kompi Hizbullah yang saat itu juga sebagai anggota Badan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Tuban (1947-1951). Pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pemerintah Daerah (DPD), kemudian menjadi Sekretaris Daerah Kabupaten Tuban (1959-1961).

Di organisasi NU, keterlibatan Mbah Muchith sangat besar dalam perumusan konsep menjelang Muktamar di Situbondo tahun 1984 yang kemudian memutuskan khittah jam’iyyah NU, kembalinya NU ke kancah perjuangan, meninggalkan dunia politik praktis. Bersama KH Achmad Shiddiq, Rais Aam Syuriyah PBNU (1984-1989), Kiai Muchith sering disebut sebagai sosok yang mewarnai pemikiran dan gagasan Kiai Achmad Shiddiq.


Pengalaman Kemiliteran

Abdul Muchith pernah bergabung dengan Hizbullah ketika laskar itu mendirikan cabangnya di daerah Bangilan. Namun dia tidak bisa mengikuti latihan perwira Hizbullah angkatan pertama di Cibarusa, karena tidak diizinkan orang tuanya. Ia bergabung dengan Hizbullah ketika para alumni pendidikan angkatan pertama itu membentuk Hizbullah di daerah masing-masing. Dirinya bergabung ke dalam Hizbullah setelah setahun berada dalam Suisintai. Di Hizbullah, selain dilatih kemiliteran, ia juga diberi bekal pendidikan kerohanian oleh para ulama.

Kyai Muchith, lantas ditunjuk sebagai Komandan Kompi Hizbullah, tatakala tiga bagian Hizbullah (Bangilan, Senori dan Singgahan) disederhanakan menjadi satu Kompi Bangilan. Sementara markas utama Batalyon masih tetap di Bojonegoro, dengan Komandan Batalyon Kapten H Romli.

Dengan membawahi 60 orang anak buah, Abdul Muchith bermarkas di rumah Basyar, salah seorang pamannya. Setiap hari Abdul Muchith harus menjalani kehidupan dengan disiplin tentara. Setiap pagi berdinas di markas mengawasi anak buah. Usai Dzuhur dia pulang untuk mengajar di madrasah yang didirikannya bersama masyarakat. Ketika hari mula beranjak malam – dengan menenteng pistol di pinggang – dirinya jalan-jalan ke stasiun untuk melihat situasi. Itu sudah menjadi salah satu kebiasaannya. Termasuk ketika mengajar di sekolah.

Abdul Muchith pun pernah turut bergabung dengan AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia), ketika masa-masa awal kemerdekaan tahun 1945. Juga pernah bergabung dengan pasukan Mujahidin. Beberapa kali dirinya ikut bergerilya melawan penjajah Belanda di wilayah Teritorial Troep Komando Distrik Militer Tuban.

Namun ketika ada rasionalisasi Hizbullah ke dalam TNI, 1947, Abdul Muchith tidak masuk ke dalamnya. Karena dia merasa, jiwanya memang bukan jiwa tentara. Dirinya juga pernah masuk TKR, tapi hanya betah selama tiga hari. Ia memilih pulang, karena merasa tidak mempunyai watak sebagai tentara. “Saya memilih kembali sebagai guru,” ujarnya.


Wafat

KH Ahcmad Muchith Muzadi, wafat saat berusia 90 tahun, pada pukul 05.00 WIB, Minggu (6/9/2015), di Rumah Sakit Persada, Kota Malang, Jawa Timur.


Referensi