Biografi Abdul Karim Amrullah - Ulama Reformis Islam di Indonesia

Dr. Haji Abdul Karim Amrullah dijuluki sebagai Haji Rasul, adalah ulama terkemuka sekaligus reformis Islam di Indonesia. Ia juga merupakan pendiri Sumatera Thawalib, sekolah Islam modern pertama di Indonesia. Ia bersama Abdullah Ahmad menjadi orang Indonesia terawal yang memperoleh gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar, di Kairo, Mesir.


Kehidupan awal

Abdul Karim Amrullah lahir dengan nama Muhammad Rasul di Nagari Sungai Batang, Maninjau, Agam, Sumatera Barat, 10 Februari 1879 bertepatan dengan 17 Syafar 1296 Hijriah. Pada masa kecilnya, beliau diberi nama Muhammad Rasul, namun setelah menunaikan ibadah haji, namanya diganti menjadi Abdul Karim Amrullah. Beliau juga dikenal dengan panggilan Inyiak De-er (Dr.), karena pada tahun 1926 beliau mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar di Mesir dalam bidang agama. Ayahnya bernama Syekh Amrullah atau Tuanku Kisai atau dalam beberapa literatur sering ditulis dengan Syekh Amrullah Tuanku Kisa-i, seorang guru tarekat Naqsyabandiyah di Maninjau.


Pendidikan

Muhammad Rasul termasuk anak yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Ia belajar di pendidikan elementer tradisional dan mengaji di surau-surau. Sekitar usia 10 tahun, ayahnya menyuruh beliau mengaji Al-Qur`an kepada Muhammad Shalih dan Haji Hud di Tarusan, Pesisir Selatan. Setahun kemudian, ia belajar berbagai ilmu agama kepada ayahnya, Syekh Amrullah di Sungai Batang, Maninjau. Pada usianya memasuki 15 tahun ia berangkat ke Mekkah untuk memperdalam ilmu agama atas perintah ayahnya. Dalam kepergiannya ini, ia tinggal di Mekkah selama lebih kurang 7 tahun (1894-1901) dan selama di sana ia belajar kepada beberapa orang guru, diantaranya adalah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Taher Jalaluddin, Syekh Muhammad Djamil Djambek (ketiga guru itu berasal dari Bukittinggi, Sumatera Barat), Syekh Abdul Hamid, Syekh Usman Serawak, Syekh Umar Bajened, Syekh Shalih Bafadal, Syekh Hamid Jeddah, Syekh Sa’id Yamani.


Sekembalinya dari Mekkah tahun 1901, ia dinobatkan sebagai seorang ulama muda dengan gelar Syekh Tuanku Nan Mudo, sedangkan ayahnya, Syekh Muhammad Amrullah diberi gelar Syekh Tuanku Nan Tuo dengan suatu upacara. Tuanku Nan Tuo beraliran lama, sedangkan Tuanku Nan Mudo seorang pemuda yang membawa aliran baru. Pada tahun 1904 ia kembali ke Makkah dan kembali ke kampungnya tahun 1906. Kepergian yang kedua kalinya ini, disuruh ayahnya untuk mengantar adiknya belajar di sana. Namun, kesempatan ini dimanfaatkannya untuk mengajar pada halaqah sendiri di rumah Syekh Muhammad Nur al-Khalidi di Samiyah atas izin dari Ahmad Khatib. Namun demikian, ia sering bertanya kepada gurunya, Syekh Ahmad Khatib mengenai masalah-masalah yang rumit.


Berdakwah

Usaha yang pertama dilakukan setelah kepulangannya dari Makkah untuk kedua kalinya adalah menumpas faham taqlid, bid’ah, dan kurafat yang bercampur-baur dengan ajaran agama. Untuk itu, ia aktif memberikan pengajian, tabligh, diskusi-diskusi atau polemik-polemik dengan orang-orang yang memper-tahankannya. Hal ini dilakukannya, bukan saja di Sungai Batang, Maninjau, kampung halamannya sendiri, akan tetapi juga sampai ke Bukittinggi, Padang Panjang, Matur, Padang, dan berbagai pelosok Minangkabau.

Abdul Karim Amrullah adalah seorang yang sangat tidak setuju dengan ajaran tarekat, meskipun ayahnya sendiri adalah seorang Syekh tarekat Naqsyabandiyah. Perbedaan faham antara beliau dengan ayahnya mengenai ajaran tarekat, bukanlah menjadikan beliau, secara pribadi, durhaka dan melecehkan ayahnya. Demikian pula sebaliknya, ayahnya tidak merasa disaingi oleh anaknya sendiri, bahkan ia merasa bangga melihat kedalaman ilmu yang dimiliki anaknya.


Memimpin pengajian surau Jembatan Besi

Sejak tahun 1911, Abdul Karim Amrullah menetap di Padang Panjang dan memimpin pengajian surau Jembatan Besi. Atas usaha dan inisiatif yang dilakukannya, pengajian surau Jembatan Besi ini semakin hari semakin berkembang dan semakin banyak muridnya. Mereka bukan saja datang dari daerah Padang Panjang, tetapi juga berasal dari berbagai daerah di seluruh pelosok Minangkabau dan bahkan ada yang dari Aceh, Medan, Riau, Palembang, dan Bengkulu. Dalam memberikan pelajaran, ia masih menggunakan sistem lama, yakni sistem halaqah (murid duduk di lantai beserta guru, serta mereka mengelilingi guru yang memberikan penjelasan mengenai pelajaran). Tetapi, metode yang digunakannya sudah dikembangkan ke arah kebebasan berfikir. Ia memberi kesempatan kepada murid-muridnya untuk mendiskusikan berbagai permasalahan keagamaan yang muncul.


Jurnalistik

Pada tahun 1911-1915 bersama-sama Abdullah Ahmad, Abdul Karim Amrullah, mendirikan majalah Al-Munir di Padang. Majalah ini bertujuan sebagai ”pemimpin dan memajukan anak-anak bangsa kita pada agama yang lurus dan beriktikat baik dan menambah pengetahuan yang berguna dan mencari nafkah kesenangan hidup supaya sentosa pula mengerjakan seluruh agama. Juga, untuk mempertahankan Islam terhadap segala tuduhan dan salah sangka”. Majalah dua mingguan ini memuat artikel untuk meningkatkan pengetahuan para pembacanya dan sekaligus sebagai pembawa suara kelompok Kaum Muda dalam menyuarakan berbagai pembaharuan dalam rangka perbaikan umat. Kemudian, ia juga menerbitkan majalah Al-Munir Al-Manar di Padang Panjang bersama Zainuddin Labay el-Yunusi tahun 1918. Pada tahun 1916 Abdul Karim Amrullah melawat ke Malaya dalam rangka memperluas pandangan dan usaha penerbitan kembali majalah Al-Munir, yang sudah tidak terbit sejak tahun 1915. Ia pergi bersama-sama dengan Syekh Daud Rasyidi dan adiknya, Haji Yusuf Amrullah, serta muridnya Saleh. Namun kehadirannya di sini, ternyata mendapat tantangan dari mufti di sana, yakni Syekh Abdullah Shaleh yang sama-sama belajar di Makkah. Ia dituduh sebagai kaum Wahabi dan Kaum Muda. Tahun berikutnya, yakni tahun 1917, ia pergi melawat ke Jawa. Di Surabaya ia bertemu dengan H.O.S. Cokroaminoto, tokoh Serikat Islam, dan di Yogyakarta bertemu dengan KH. A. Dahlan, pendiri Muhammadiyah. KH. A. Dahlan sudah sering membaca tulisan-tulisannya dalam majalah Al-Munir. Pada tahun 1918, ia bersama-sama Abdullah Ahmad, Syekh Muhammad Djamil Djambek Bukittinggi, Zainuddin Labay el-Yunusi dan guru-guru lainnya mendirikan Persatuan Guru Agama Islam (PGAI) Sumatera.


Mengenal Muhammadiyah

Pada tahun 1925, ia melawat ke Jawa untuk yang kedua kalinya. Di Yogyakarta, ia bertemu dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah, terutama dengan H. Fakhruddin. Dalam pertemuan itu mereka saling mengungkapkan perkembangan Islam di daerah mereka masing-masing. Ia tertarik dengan organisasi Muhammadiyah, karena disamping ideologinya mengacu kepada ajaran al-Qur`an dan Hadis, juga amal usahanya mencakup berbagai aspek ajaran Islam, seperti menyelenggarakan pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah, melaksanakan amal sosial dengan mendirikan rumah-rumah pemeliharaan anak yatim dan fakir miskin dan lainnya. Sekembalinya ke kampung, ia menceritakan pengalamannya kepada kawan-kawannya mengenai organisasi Muhammadiyah dan amal usahanya dalam rangka menegakkan amar ma’ruf nahyi munkar. Ia yakin bahwa organisasi itu dapat berguna untuk melemahkan bekas muridnya, H. Datuk Batuah dan kawan-kawan, yang aktif dalam organisasi komunis. Pada tahun itu juga ia mendirikan Muhammadiyah di Sungai Batang, Maninjau melalui lembaga Sendi Aman yang didirikan tahun 1925. Setelah Sendi Aman menjalankan misi Muhammadiyah, lembaga ini berkembang dengan cepat dan sekaligus menjadi basis pertama Muhammadiyah di Minangkabau.

Haji Rasul sangat aktif dalam gerakan pembaharuan Islam. Sistem sekolah reformis Muslim yang melahirkan Persatuan Muslim Indonesia atau PERMI. Ia juga aktif menentang komunisme serta intervensi yang dilakukan Belanda dalam hal pendidikan. Kelompok di Minangkabau yang amat dirugikan ialah para kaum adat tradisional, khusunya kelompok Takrikat Naqsabandiah. Ajaran yang paling ditentang oleh sang reformis ini ialah mengenai praktik-praktik yang menggunakan rabitah (mistik). Ia juga membawa Muhammadiyah ke Minangkabau karena dianggap sepemikiran, menghendaki modernisme atau reformisme ajaran Islam yang selama ini dianggap salah dan menyimpang dari ajaran Islam yang sesungguhnya.

Karena pemikirannya itu, ia banyak mendapat ancaman dari pihak kolonial, beberapa kali ia dipenjara, namun tetap tidak mengurungkan niatnya untuk berjihad dijalan dakwah. Dia juga tidak setuju kepada tokoh-tokoh(ulama) Indonesia yang memilikin sikap cooperative dengan penjajah.


Wafat

makam Abdul Karim Amrullah
Makam Dr. Haji Abdul Karim Amrullah
di Maninjau, Sumatera Barat.
Abdul Karim Amrullah meninggal dunia pada 2 Juni 1945 di Jakarta. Beliau dimakamkan di Kecamatan Tanjung Raya, Jorong  Nagari, Nagari Sungai Batang.

Pada mulanya makamnya berada di Jakarta dan kemudian dipindahkan ke Maninjau. Di sisi makam beliau  dimakamkan adiknya yang bernama Syech Yusuf Amrullah yang lahir pada tanggal 25 April 1889 dan wafat pada tanggal 19 Oktober 1972. Pada saat ini, komplek makam dilengkapi dengan perpustakaan.

Kompleks makam ini mempunyai denah berbentuk empat persegi, orientasi makam utara-selatan dengan ukuran panjang 200 – 95 cm, dan telah dipagar dengan pagar terali besi dan diberi cungkup. Pintu masuk ke arah kompleks berada di sisi utara berhadapan dengan jalan di depannya. Makam dan nisan terbuat dari bahan batu kali yang direkat dengan semen.

Salah satu putranya, yaitu Hamka (nama pena dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah), dikenal banyak orang sebagai ulama besar dan sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka.


Rujukan
  • Graves, Elizabeth E. (2007). Asal-usul Elite Minangkabau Modern: Respons Terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-661-1.
  • Santosa, Kholid O. (2007). Manusia di Panggung Sejarah, Pemikiran dan Gerakan Tokoh-tokoh Islam. Bandung: Sega Arsy.
  • Jamal, Murni (2002). Dr. H. Abdul Karim Amrullah, Pengaruh dalam Gerakan Pembaharuan Islam di Minangkabau Pada Awal Abad ke-20.