Biografi Nasir al-Din al-Tusi - Filsuf Islam Menguasai banyak Ilmu

Nasir al-Din al-Tusi
Nasir al-Din al-Tusi
Lahir: 17 Februari 1201 (11 Jamadi al-Ula 597)

Meninggal: 25 Juni 1274 (umur 73) (18 Dhu'l-Hijjah 672)

Etnis: Persia

Era: Masa keemasan Islam

Daerah: Iran

Yurisprudensi: Dua Belas Syiah

Kepercayaan: Avicennism

Minat utama: Ilmu Kalam, Filsafat Islam, Astronomi, Matematika, Kimia, Biologi Kedokteran, Fisika, dan Sains

Ide terkenal: Evolusi, trigonometri bulat, Tusi-couple

Karya terkenal: Rawda-yi Taslim, tajrid al-'Aqaid, Akhlaq-i-Nasri, Zij-i ilkhani, 
al-Risalah al-Asturlabiyah, Al-Tadhkirah fi'ilm al-hay'ah.

Dipengaruhi: Ibn Sina (Avicenna), Fakhr al-Din al-Razi, Mo’ayyeduddin Urdi

Mempengaruhi: Ibn Khaldun, Qutb al-Din al-Shirazi, Ibn al-Shatir, Copernicus
Khawaja Muhammad ibn Muhammad ibn Hasan Tusi, lebih dikenal sebagai Nasir al-Din Tusi, atau hanya Tusi di Barat, adalah Nashiruddin ath-Tusi adalah seorang pemikir Islam yang tidak hanya dikenal sebagai seorang filsuf, tetapi juga sebagai ahli astronomi, matematikawan dan saintis/ilmuan yang beberapa pemikirannya masih digunakan sampai saat ini. Dia adalah seorang penulis yang banyak karyanya dalam bidang matematika. Ia juga seorang biolog, ahli kimia, ahli pengobatan, ahli ilmu fisika, teolog dan Marja Taqleed. al-Tusi termasuk satu di antara sedikit astronom Islam yang mendapat perhatian dari ilmuwan modern. Beliau merupakan tokoh yang memberikan sumbangan begitu besar bagi perkembangan filsafat Islam – khususnya mazhab paripatetik.

Nama Tusi diabadikan pada beberapa penemuannya seperti kawah bulan berdiameter 60-km yang terletak pada hemisfer bagian selatan bulan yang dinamakan “Nasireddin”. Planet minor “10269 Tusi” yang ditemukan oleh astronom Soviet Nikolai Stepanovich Chernykh pada tahun 1979 dan K. N. Toosi University of Technology di Iran juga dinamai dengan namanya.


Biografi

Nasir al-Din al-Tusi bernama lengkap Abu Ja’far Muhammad ibn Muhammad ibn al-Hasan al-Tusi, ia Lahir pada 18 Februari 1201 M/597 H di Tus, al-Kazimiyyah dekat Baghdad sebuah tempat yang berada di atas sebuah bukit, di samping lembah sungai Kasyaf, dekat ke kota Masyad di Timur Laut Persia, yang menjadi kota pendidikan terkenal pada masa itu. Saat ini Tus masuk dalam wilayah Khorasan di Iran.

Ia lebih dikenal dengan nama Nasir al-Din al-Tusi (di Barat dikenal dengan Tusi), Seorang Persia dari Ismailiyah yang di kemudian hari memiliki keyakinan Islam “Twelver Shi‘ah” (Twelver Shi‘ah Islamic belief).

al-Thusi mendapatkan pendidikan agama dari ayahnya sendiri, Muhammad Ibn al_Hasan yang juga seorang ahli fikih. Di samping dari ayahnya, al-Thusi juga dibimbing oleh pamannya. Dari pamannya ini al-Thusi memperoleh pengetahuan dasar tentang logika, fisika dan metafisika.

Di usia yang sangat dini ia belajar Quran, hadis, ilmu hukum Shi’a, logika, filsafat, matematika, kedokteran dan astronomi.

Pada usianya yang masih muda, ia pindah ke Nishapur untuk belajar filsafat kepada Farid al-Din Damad dan matematika pada Muhammad Hasib. Ia juga bertemu dengan Farid al-Din al-‘Attar, seorang master Sufi yang legendaris yang pada masa selanjutnya dibunuh oleh bangsa Mongol. Ia juga menghadiri kuliah Qutb al-Din al-Misri. Disamping filsafat, dari mahdar Farid al-Din Damad ia juga mempelajari fikih, ushul dan kalam, terutama buku isyaratnya Ibn Sina.

Ia pergi ke Baghdad untuk mempelajari ilmu pengobatan dan filsafat kepada Qutb al-Din, memperdalam matrematika pada Kamal al-Din ibn Yunus dan belajar fikih serta ushul pada Salim ibn Badran.

Di Mawsil ia belajar matematika dan astronomi kepada Kamal al-Din Yunus (wafat 639H/1242M). Kemudian ia berkorespondensi dengan al-Qaysari, menantu dari Ibn al-‘Arabi, dan kelihatannya ajaran mistis yang disebarkan oleh para master sufi di masanya tidak dapat diterima akalnya dan dalam suatu kesempatan yang tepat, ia menyusun manual sendiri tentang filsafat sufisme dalam bentuk booklet (buku kecil) berjudul “Awsaf al-Ashraf: The Attributes of the Illustrious/Noble”.

Perkembangan intelektual Tusi tidak dapat dipisahkan dari drama perjalanan hidupnya dan dari bencana invasi Mongol ke wilayah Timur Islam. Ayahnya seorang hakim yang memiliki wawasan luas sangat mendorongnya dalam mendalami pendidikan filsafat dan sains, dan memperkenalkan kepadanya doktrin dan sekte-sekte lain. Untuk mempelajari filsafat, ia pergi ke dekat Nishapur dimana ia belajar pada seorang sarjana yang mengajarkan pandangan Ibnu Sina.

Al-Tusi wafat pada 26 Juni 672 H/1272-4 M di Kazhmain dekat Baghdad, pada tahun yang sama dengan Thomas Aquinas. Ia dimakamkan sesuai dengan permintaan terakhirnya di samping makam Musa ibn Ja’far Imam ketujuh dari aliran Twelver Shi‘ah, di Kazimayn di luar Baghdad. Di antara muridnya yang mashur adalah filosof Qutb al-Din al-Shirazi (wafat 710 H./ 1310 M) dan Imam, hakim, dan teolog, ‘Allamah al-Hilli (wafat 726 H./ 1325 M.). al-Tusi tetap mempunyai pengaruh sampai akhir hayatnya. Bahkan Abaqa yang menggantikan Hulagu tetap mempercayainya serta membuat beberapa kebijakan atas saran al-Tusi. Dengan pengaruh yang dimilikinya, al-Tusi terus melanjutkan kegiatannya mengembangkan filsafat Islam dan sains sampai akhir hayatnya.

Al-Tusi merupakan figur intelektual yang memiliki pengaruh signifikan mulai dari masa tradisional intelektualitas Islam Timur sampai periode modern. Pengaruh dan prestisenya terekam melalui gelar, penghormatan dan nama kecil yang diberikan padanya, seperti : khadja (sarjana dan guru terkemuka), ustadh al-Bashar (guru umat), dan al-muallim al-thalith (guru ketiga).
Pada masa sekarang, pengaruh Tusi sangat besar terutama bagi kaum Shiah. Dalam bukunya ‘Insan Ilahiah”, Imam Khomeini menyebutkan bahwa nurâniyah satu orang seperti filsuf besar Islam Khawajah Nashiruddin ath-Tusi dan Allamah Hilli menerangi bangsa dan negara dan nurâniyah tersebut abadi.


Pekerjaan

Lingkup Intelektual

Sepanjang kehidupannya, al-Tusi merupakan penulis yang produktif dalam bidang matematika dan ilmu alam. Ia membawa kemajuan di bidang matematika trigonometri dan astronomi. Hasil dari upaya kerasnya di bidang intelektual ini menunjukkan hasil dengan didirikannya observatorium di Maraghah. Hasil dari observasi dan perhitungan astronomis menghasilkan tabel yang terkenal yang dinamakan Zij-e Ilkhani (Dalam bahasa Persia, tapi juga diterjemahkan dalam bahasa Arab).


Filsafat

Di dalam filsafat Islam, al-Tusi seringkali dianggap sebagai seorang revivalis (orang yang sekadar membangkitkan kembali). Namun sebagian orang mengakui Al-Tusi memiliki peran yang besar dalam perkembangan filsafat Islam, khususnya mazhab paripatetik. Paripatetik disebut dengan istilah masysya’iyyah dalam tradisi falsafah Islam. Istilah paripatetik muncul sebagai sebutan bagi pengikut Aristoteles.

Dalam bukunya ‘Syarah al-Isyarat wa al-Tanbihat’ yang merupakan penjelasan terhadap karya filosorfis Ibn Sina berjudul ‘al-Isyarat aw al-Tanbihat’, al-Tusi mengatakan bahwa: Dua sifat manusia, yakni kegembiraan dan memandang makhluk secara sama (tidak melakukan diskriminasi) adalah dua akibat dari sebuah akhlak yang disebut ridha.” Di antara para pensyarah karya ini, Al-Tusi adalah yang paling masyhur. Kritikan Fakhrudin al-Razi terhadap teks al-Isyarat bahkan ia jawab dalam kitab tersendiri ‘Hal Musykilat al -Isyarat’.

Berkenaan dengan ridha, dalam ‘Awsaf al-Ashraf’ al-Tusi menyebutkan bahwa ketika semua yang bertentangan menjadi keadaan yang sama saja pengaruhnya di dalam diri seseorang, maka hal itu akan sejalan dengan kehendaknya yang hakiki. Karena itu dikatakan “Setiap orang akan mendapatkan apa yang berhak ia dapatkan dan ia berhak mendapatkan apa yang didapatkannya”. Bagi mereka yang telah menemukan Kebenaran, keridhaan Allah kepada hamba-Nya akan mewujud ketika hamba telah ridha kepada Allah.


Logika

Sumbangan utama Al-Tusi terhadap ilmu logika dapat ditemukan dalam Asas al-iqtibas (The Ground for the Acquisition of Knowledge) yang ditulis dalam bahasa Persia. Karya ini ditulis selama periode Ismailiyah. Dibagi menjadi sepuluh bagian sebagaimana kebiasaan dalam dunia Islam, dan diskusi mengenai substansinya cukup mengundang perhatian. Karya tersebut juga menjadi kesaksian atas kemampuan al-Tusi dalam menulis tentang persoalan ke-teknik-an dalam bahasa Persia, dengan memasukkan terminologi bahasa Arab menjadi gaya yang fasih dan anggun. Manual Arab tentang logika Tajrid al-mantiq (Abstract of Logic), talah dikomentari pula oleh muridnya ‘Allamah al-Hilli.


Etika

Ada dua karya utama al-Tusi dalam bidang etika, Akhlaq-i Muhtashami (Muhtashamean Ethics) dan Akhlaq-i Nasiri (The Nasirean Ethics), keduanya ditulis dalam bahasa Persia. Yang pertama diangkat dari aturan Isma’ili (muhtasham) dari Quhistan. Nasir al-Din ‘Abd al-Rahman yang mempersiapkan garis besar dan menyetujui isi tetapi meminta al-Tusi mengerjakan pekerjaan utamanya karena tuntutan pekerjaannya di bidang politik.

Disamping itu, kitab ‘Adab al-Muta’allimin juga merupakan salah satu karyanya di bidang etika. Menurut al-Tusi, karya ini sangat perlu karena banyak orang mendapat kesulitan dalam menuntut ilmu disebabkan kurang paham etika dan metode yang benar. Padahal baginya etika adalah prasyarat keberhasilan belajar.

Sebagai tambahan bagi kedua karya di bidang etika yang terkenal di atas, sedikitnya ada empat risalah utama yang ditulis al-Tusi sebagai karya di bidang etika. Dan kesemuanya menggambarkan karakter Ismailiyah.


Teologi dan Metafisika

Al-Tusi memberi banyak sumbangan dalam bidang teologi metafisika. Upaya pertama adalah tentang teologi kebangkitan dalam Rawdat al-taslim (The Garden of Submission), namun yang paling berpengaruh adalah Tajrid al-kalam (Abstract of Theology). Karya ini telah mendapatkan beragam komentar sampai abad terkini, yang paling penting adalah komentar ‘Allamah al-Hilli’s dalam Kashf al-murad (Disclosing the Intention). Setelah karyanya Tajrid, praktis seluruh karya teologisnya diekspressikan dalam terminologi metafisis.
Salah satu argumen sederhana berkaitan dengan masalah ini adalah argumen yang bersandar pada keniscayaan wujud Tuhan (wajib al-wujud-nya Tuhan). Pembahasan sebelumnya telah jelas bahwa Tuhan adalah Wajib al-Wujud dimana keberadaan bagi-Nya adalah niscaya dan ketiadaan bagi dzat-Nya adalah mustahil, oleh karena itu, kemestian wujud dzat Ilahi mengharuskan kemustahilan ketiadaan wujud-Nya dalam segala bentuk asumsi. Hal ini bermakna bahwa dzat Tuhan tidak didahului dengan ketiadaan dan ketiadaan tidak pula menyentuh-Nya, dan ini tidak lain adalah keazalian dan keabadian Tuhan itu sendiri. Khawajah Nashiruddin Thusi menyiratkan argumentasi ini dengan ungkapan yang pendek, “Dan Wajib al-Wujud menunjukkan akan keabadian-Nya.” (Kasyf al Murâd, hal. 315).


Astronomi

Selama tinggal di Nishapur, Tusi memperoleh reputasi sebagai mahasiswa yang sangat luar biasa/sangat berbakat. Tusi meyakinkan Hulagu Khan untuk membangun sebuah observatorium agar dapat disusun tabel astronomi yang mampu memberikan prediksi yang lebih tepat. Sejak 1259 M, observatorium Rasad Khaneh telah dibangun di sebelah barat Maraghah, ibukota dari kekaisaran Ilkhanate. Observatorium Maraghah ini merupakan sumbangan monumental al-Tusi yang sangat besar di bidang astronomi. Pembangunannya dibantu ahli-ahli astrnomi Cina dan mulai digunakan tahun 1262 M. Qutb al-Din Syirazi, penemu teori tentang terjadinya pelangi, termasuk ilmuan yang pernah meneliti dan megembangkan karirnya di observatorium Maraghah.
Observatorium ini memiliki peralatan observatori paling canggih yang dikenal saat itu. Perpustakaan yang menjadi bagian dari observatorium ini mempunyai 400.000 jilid buku di semua bidang ilmu pengetahuan. Halaqah-halaqah juga tumbuh subur di Maraghah dimana para ilmuan mengajar mahasiswanya, mewariskan karya-karya ilmiah yang dikenal saati itu dan bekerjasama dengan mereka dalam penelitian-penelitian lebih lanjut.

Berdasarkan observasi yang dilakukan di observatorium, Tusi berhasil membuat tabel pergeseran planet seperti yang digambarkan dalam bukunya Zij-i ilkhani (Ilkhanic Tables). Buku ini berisikan tabel astronomi untuk mengkalkulasi posisi planet dan nama-nama bintang. Model yang dihasilkannya untuk sistem planetary diyakini sebagai suatu yang sangat maju pada jamannya, dan telah digunakan secara ekstensif sampai berkembangnya model heliocentris pada masa Nicolaus Copernicus. Di antara masa Ptolemy dan Copernicus, ia diakui banyak orang sebagai astronom unggul di jamannya, dan hasil karya dan teorinya di bidang astronomi dapat dibandingkan dengan ilmuan Cina Shen Kuo (1031-1095 M).

Untuk model planetary, dia menciptakan teknik geometris yang dinamakan “Tusi-couple”, yang menghasilkan gerekan linier dari penjumlahan dua gerakan sirkuler. Ia menggunakan teknik ini untuk menggantikan “problematic equant” dari Ptolemy, yang dipakai dalam model geocentris Ibn al-Shatir’s dan model “heliocentris Copernican”-nya Nicolaus Copernicus. Ia juga menghitung nilai pergantian tahunan dari equinox (annual precession of the equinoxes) dan menyumbang bagi konstruksi dan penggunaan berbagai instrumen astronomi termasuk astrolab (suatu alat yang digunakan dalam astronomi untuk mengukur ketinggian suatu benda langit. Dalam bentuknya yang sederhana, alat ini merupakan sebuah piringan yang pinggirannya diberi tanda untuk menunjukkan derajat lingkaran serta dilengkapi dengan sebuah jarum penunjuk).

Tusi juga merupakan orang pertama yang memperkenalkan bukti observasi empiris tentang rotasi bumi, dengan menggunakan lokasi komet yang relevan dengan bumi sebagai buktinya, temuan ini kemudian dikembangkan oleh Ali al-Qushji dengan observasi empiris lebih lanjut. Argumen Tusi sama dengan argumen yang digunakan Copernicus tahun 1543 M dalam menjelaskan rotasi bumi.

Disamping karya monumental di bidang astronomi dan bidang ilmu alam, Tusi juga berhasil memperkenalkan beberapa karyanya, kosa kata Arab dalam mengekspresikan konsep-konsep yang berbeda serta ide-ide yang berkenaan dengan ilmu kosmologi. Misalnya untuk kata alam/nature yang bila di kaitkan dengan bahasa latin natura dan bahasa Yunani physis, kata bahasa Arab ‘tabi’ah dari akar kata tb’ dapat digunakan namun dengan arti yang agak berbeda dengan bahasa klasik. Penulis Muslim pada abad selanjutnya biasanya membedakan antara tiba’ sebagai atribut yang memiliki dirinya sendiri dan tabi’ah yang memberikan gerakan tanpa harus memilikinya sendiri.


Biologi

Tusi menulis secara ekstensif dalam ilmu biologi dan merupakan satu di antara perintis terdahulu di bidang evolusi biologis dalam pemikiran ilmiah. Dia memulai teori evolusinya dengan mengatakan bahwa jagat raya pernah mengandung elemen yang sama dan sebanding, dimana mereka berisikan partikel elementer. Menurut Tusi, kontradiksi internal mulai muncul dan sebagai hasilnya, beberapa substansi mulai berkembang lebih cepat dan berbeda dari substansi lainnya.

Ia kemudian menjelaskan bagaimana elemen berkembang menjadi mineral, kemudian tumbuhan, kemudian hewan, dan kemudian manusia. Tusi juga menjelaskan bagaimana variabilitas herediter merupakan faktor penting bagi evolusi biologis makhluk hidup. Organisma yang dapat memperoleh fitur baru lebih cepat akan lebih bervariasi. Sebagai hasilnya, mereka memperoleh manfaat dari makhluk lainnya. Tubuh berubah sebagai hasil dari interaksi internal dan eksternal.


Kimia dan Fisika

Di bidang kimia dan fisika, Tusi menetapkan versi terdahulu tentang hukum konservasi massa. Dia menulis bahwa bangun suatu benda dapat berubah, namun ia tidak dapat menghilang.


Matematika

Tusi mungkin saja yang pertama memperkenalkan trigonometri sebagai disiplin ilmu matematika secara terpisah, dan dalam “Treatise on the Quadrilateral”, ia memberikan eksposisi pertama yang ekstensif tentang trigonometrI speris, yang ia kembangkan menjadi bentuk yang dipakai saat ini, ia juga yang pertama membuat daftar enam kasus berbeda dari segitiga kanan dalam trigonometri speris.

Dalam bukunya “On the Sector Figure”, ia memformulasikan hukum sinus yang terkenal bagi segitiga (plane triangles), yang merupakan satu di antara sumbangan utamanya dalam matematika. Dia juga memperkenalkan hukum sinus bagi segitiga speris, menemukan hukum tangen bagi segitiga speris, dan menyediakan bukti bagi hukum-hukum ini.

Masalah garis paralel yang ditunjukkan oleh postulat paralel dari Euclids sangat menarik perhatian matematikawan Islam. Al-Tusi mungkin merupakan ahli yang paling matang dalam menangani hal ini. Dalam Risala ash Shafiya, al-Tusi menunjukkan bukti hipotesis Saccheri yang sama dengan postulat Euclid.
Pada tahun 1265 M, Tusi menulis sebuah manuskrip mengenai kalkulasi akar 9 dari integral. Lebih jauh lagi, ia menguak koefisien dari ekspansi binomial dan hubungan segitiga Pascal antar koefisien binomial. Dia juga menulis karya terkenal tentang teori warna yang didasarkan pada perpaduan hitam dan putih, serta menulis di bidang permata dan parfum. (berbagai sumber)