Ramlah binti Abu Sufyan - Wanita Pemegang Teguh Akidah

Artikel "Ramlah binti Abu Sufyan - Wanita Pemegang Teguh Akidah" adalah bagian dari seri "Kisah Shahabiyah - Sahabat Nabi Perempuan"
Ramlah binti Abu Sufyan adalah istri dari Muhammad SAW. Nama aslinya adalah Ramlah, sebelum menikah dengan Rasulullah, ia dinikahi oleh Ubaydillah bin Jahsy. Ialah salah seorang Ummul Mu’minin yang banyak diuji keimanannya. Disaat orang-orang terdekat dan yang dicintainya merupakan musuh baginya. Terutama Suami pertamanya, Ubaydillah bin Jahsy yang murtad dengan masuk agama nasrani setelah sebelumya ia seorang muslim.

Ramlah binti Abu Sufyan dilahirkan 25 tahun sebelum hijrah atau kurang lebih 13 tahun sebelum Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul. Ayahnya adalah Shakhr bin Harb bin Umayyah yang dikenal sebagai Abu Sufyan. Ia adalah pembesar Quraisy yang terpandang pada masanya dan pemimpin orang-orang musyrik hingga penaklukan Mekah. Sedangkan ibunya bernama Shafiyah binti Abul Ash, bibi Utsman bin Affan.


Pernikahan pertama

Suami pertama  Ramlah adalah Ubaidullah bin Jahsy, pemuda bangsawan Quraisy yang tekun mempelajari ajaran Nabi Isa AS dan selalu menyertai Waraqah bin Naufal, seorang pendeta nasrani. Ia melamar Ramlah. Lamaran itu diterima dan tak lama kemudian mereka menikah.

Beberapa lama setelah pernikahan tersebut, Muhammad SAW diangkat sebagai Rasul. Berita ini menyebar di kalangan masyarakat Quraisy. Ubaydillah menyambut seruan Rasulullah dan menyatakan keimanannya karena ia mendengar Waraqah bin Naufal membenarkan kenabian Muhammad SAW. Ramlah pun mengikuti jejak suaminya, memeluk Islam.


Murtadnya  Ubaydillah

Saat Ramlah sedang mengandung, Rasulullah menyerukan kaum Muslimin untuk hijrah ke Habasyah. Maka berangkatlah Ramlah dan suaminya menuju Habasyah. Ramlah melahirkan Habibah, anaknya di Habasyah. Sejak itu ia lebih dikenal dengan sebutan Ummu Habibah.

Suatu malam, Ummu Habibah terbangun dari tidurnya. Ia bermimpi buruk tentang suaminya. "Aku melihat di dalam mimpi, suamiku Ubaidullah bin Jahsy dengan bentuk yang sangat buruk dan menakutkan. Maka aku terperanjat dan terbangun, kemudian aku memohon kepada Allah dari hal itu. Ternyata tatkala pagi, suamiku telah memeluk agama Nasrani. Maka aku ceritakan mimpiku kepadanya namun dia tidak menggubrisnya," ujarnya.

Pagi harinya, Ubaydillah bin Jahsy berkata, "Ummu Habibah, aku berpikir tentang agama, dan menurutku tidak ada agama yang lebih baik dari agama Nasrani. Aku memeluknya dulu. Kemudian aku bergabung dengan agama Muhammad, tetapi sekarang aku kembali memeluk Nasrani."

Ummu Habibah berkata, "Demi Allah, tidak ada kebaikan bersamamu!" Kemudian diceritakanlah pada suaminya mimpi itu, tetapi ia tak menghiraukannya.

Suaminya mencoba dengan segala kemampuan untuk memurtadkannya, namun Ummu Habibah tetap tak bergeming. Bahkan beliau justru mengajak suaminya kembali ke Islam, namun ditolak dan Ubaydillah tetap murtad sampai akhir hayatnya.

Setelah berpisah dengan suaminya, Ummu Habibah membesarkan anaknya sendirian di Habasyah.


Menikah dengan Rasulullah

Hari-hari berlalu di bumi hijrah, dengan ujian-ujian berat menemani Ummu Habibah. Tetapi dengan keimanan yang dikaruniakan Allah swt, dirinya mampu menghadapinya. Suatu malam, ia melihat dalam mimpinya ada yang memanggilnya, “Wahai Ummul Mu’minin!” beliaupun terperanjat bangun. Beliau menakwilkan mimpi tersebut bahwa Rasulullah saw kelak akan menikahinya.

Setelah selesai masa ‘iddahnya, tiba-tiba ada seorang budak wanita (jariyah) dari Najasyi yang memberitahukan kepada beliau bahwa Rasulullah saw telah meminangnya. Alangkah bahagianya beliau mendengar kabar gembira tersebut. Setelah itu, beliau meminta Khalid bin Sa’id bin Al-‘Ash untuk menjadi wakil baginya menerima lamaran raja Najasyi (yang mewakili Rasulullah saw)

Suatu sore, Raja Najasyi mengumpulkan kaum muslimin yang berada di Habyah, dalam rangka melangsungkan pernikahan tersebut. Datanglah mereka dengan dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib putra paman Nabi. Selanjutnya akad nikah pun dilangsungkan. Raja Najasyi menyerahkan mahar Rasulullah saw sebesar 400 dinar kepada Khalid bin Sa’id. Raja Najasyi lalu mengajak para sahabat untuk mengadakan walimah. Pernikahan itu terjadi sekitar tahun ketujuh Hijriyah.

Ketika mendengar tentang pernikahan anaknya dengan Rasulullah saw, Abu Sufyan berkata, "Muhammad adalah seorang yang mulia, Ummu Habibah adalah seorang yang kuat dalam keimanan terhadap Allah dan Rasul-Nya." 

Setelah kemenangan Khaibar, sampailah rombongan Muhajirin dari Habsyah, Rasulullah bersabda, “Dengan sebab apa aku harus bergembira, karena kemenangan Khaibar atau karena datangnya Ja’far?” sedangkan Ummu Habibah datang bersama rombongan. Bertemulah Rasulullah dengannya pada tahun ke enam atau ke tujuh hijriah. Kala itu Ummu Habibah berusia 40 tahun.

Setelah kemenangan kaum Muslimin dalam Perang Khaibar, rombongan muhajirin dari Habasyah termasuk Ummu Habibah kembali ke Madinah dan menetap bersama Rasulullah SAW.


Sepeninggal Rasulullah

Beberapa tahun setelah berkumpul dengan Ummu Habibah, Rasulullah SAW wafat. Sepeninggal Rasulullah, dia benar-benar menyibukkan diri dengan beribadah dan berbuat kebaikan. Dia berpegang teguh pada nasihat Rasulullah SAW dan senantiasa berusaha mempersatukan kaum Muslimin dengan segala kemampuannya sampai ia meninggal dunia pada tahun ke-46 Hijriyah.

Ummu Habibah meriwayatkan sekitar 65 hadits dari Rasulullah SAW dan dari Zainab binti Jahsy. Beberapa orang juga meriwayatkan darinya seperti, Urwah bin Zubair, Zainab binti Abu Salamah, Shafiyah binti Syaibah, Syahar bin Hausyab, dan anak perempuannya; Habibah binti Ubaidillah bin Jahsy, dan saudara lelakinya; Muawiyah dan Atabah, keponakannya; Abdullah bin Atabah, dan yang lainnya.

Menjelang wafatnya, Aisyah berkata pada Ummu Habibah, "Terkadang di antara kita sebagai istri-istri Nabi ada suatu khilaf, semoga Allah mengampuniku dan mengampunimu dari perbuatan atau sikap itu."  

Ummu Habibah membalas, "Engkau telah membahagiakan diriku, semoga Allah juga membahagiakan dirimu." 


Wafatnya Ramlah binti Abu Sufyan

Ramlah binti Abu Sufyan wafat pada tahun ke-46 Hijriyah, takkala berumur tujuh puluhan tahun. Beliau wafat setelah memberikan keteladanan yang paling tinggi dalam menjaga kewibawaan diennya dan bersemangat diatasnya, tinggi dan mulia jauh ddari pengaruh jahiliyyah dan tidak menghiraukan nasab manakala bertentangan dengan akidahnya.