Biografi Ibnu Thufail - Filsuf, Dokter, dan Pejabat Pengadilan Arab Muslim dari Al-Andalus

Ibnu Thufail
Abu Bakr Muhammad bin 'Abdul Malik bin Muhammad bin Thufail al-Qaisi al-Andalusi (nama Latin Abubacer) atau yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Thufail adalah filsuf, dokter, dan pejabat pengadilan Arab Muslim dari Al-Andalus.


Biografi

 Ibnu Thufail lahir di Guadix dekat Granada sekitar tahun 1105, ia dididik oleh Ibnu Bajjah (Avempace). Ia menjabat sekretaris untuk penguasa Granada, dan kemudian sebagai wazir dan dokter untuk Abu Ya'qub Yusuf, penguasa Spanyol Islam (Al-Andalus) di bawah pemerintahan Muwahhidun, pada yang mana ia menganjurkan Ibnu Rusyd sebagai penggantinya sendiri saat ia beristirahat pada 1182. Ia meninggal di Maroko.

Di zamannya nama baiknya sebagai pemikir & pelajar telah membuatnya dipuji sebagai Maecenas. Ibnu Thufail juga merupakan pengarang Hayy bin Yaqthan (Hidup, Putra Kesadaran) roman filsafat, dan kisah alegori lelaki yang hidup sendiri di sebuah pulau dan dan yang tanpa hubungan dengan manusia lainnya menemukan kebenaran dengan pemikiran yang masuk akal, dan kemudian keterkejutannya pada kontak dengan masyarakat manusia untuk dogmatisme, dan penyakit lainnya.


Sebagai Filsuf

Seperti filosof lain, Ibnu Tufail pun membahas beberapa permasalahan pokok dalam kisah Hayy Ibn Yaqzhan, seperti ketuhanan, fisika, jiwa, epistemologi, rekonsiliasi antara filsafat dengan agama. Berikut ini penjelasannay...


A. Ketuhanan

Konsep ketuhanan, dengan arti seorang makhluk bisa meyakini adanya pencipta alam semesta. Didalam kisah Hayy Ibn Yaqzhan, dengan kekuatan nalar dan renungan terhadap alam sekitarnya, dia meyakini adanya pencipta, dia juga meyakini bahwa alam yang indah dan tersusun rapi ini tidak mungkin ada dengan sendirinya tanpa ada yang mengatur dan menciptakannya. Ada 3 argumen yang dimukakan oleh Ibn Tufail untuk membuntikan adanya Allah, yaitu:

Argumen Gerak (al-harakah) Bagi orang yang meyakini adana qodim, penggerak ini berfungsi mengubah materi di alam dari potensial ke aktual, arti kata mengubah satu bentuk ada kepada bentuk ada yang lain. Sementara itu, bagi orang yang meyakini alam baru, penggerak ini berfungsi mengubah alam dari tidak ada menjadi ada. Argemen gerak ini sebagai bukti alam qodim dan barunya belum pernah dikemukakan oleh filosof muslim manapun sebelumnya, dan dengan argumen ini Ibnu Tufail memperkuat argumentasi bahwa tanpa wahyu akal dapat mengetahui adanya Allah.

Argumen Materi (al-madat) dan bentuk (al-shurat) - Argumen ini didasarkan  pada ilmu fisika dan masih ada korelasinya dengan dalil yang pertama (al-harakat). Hal ini dikemukakan oleh Ibn Tufail dalam kumpulan pokok pikiran yang terkait satu dengan yang lainnya, yaitu sebagai berikut:
  • Segala yang ada ini tersusun dari materi dan bentuk
  • Setiap materi membutuhkan bentuk
  • Bentuk tidak mungkin bereksistensi penggerak
  • Segala yang ada untuk bereksistensi membutuhkan pencipta
Dengan argumen ini dapat dibuktikan adanya Allah sebagai pencipta alam ini, dia mahakuasa dan bebas memilih serta tidak berawal dan berakhir.

Argumen al-Ghaiyyat dan al-‘inayat al-ilahiyyatMaksudnya segala sesuatu yang ada di alam ini mempunyai tujuan tertentu, dan ini merupakan inayah dari Allah. Ibnu Tufail juga filosof lain yang berpegang pada argumen ini sesuai dengan Qur’ani, dan menolak bahwa alam diciptakan oleh Allah secara kebetulan.

Menurut Ibn Tufail alam ini tersusun sangat rapi dan sangat teratur, semua planet seperti matahari, bulan, bintang dan lain-lainnya teredar secara teratur. Begitu juga jenis hewan, semuanya dilengkapi dengan anggota tubuh yang begitu rupa. Semua anggota tubuh tersebut mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang sangat efektif kemanfaatannya bagi hewan yang bersangkutan, tampaknya tidak satupun ciptaan Allah ini yang tidak percuma. Ketiga argumen yang dikemukakan oleh Ibn Tufail ini membuktikan adanya Allah sebagai sang pencipta.


B. Fisika

Menurut Ibn Tufail alam ini qodim dan juga baru, alam qodim karena Allah menciptakan sejal azali, tanpa didahului oleh zaman. Dilihat dari esensinya, alam adalah baru karena wujudnya alam tergantung pada zat Allah.

Sebagaimana ketika anda menggengam suatu benda, kemudian anda menggerakkan tangan anda, maka benda mesti bergerak mengikuti gerak tangan anda dan gerakan benda tersebut tidak terlambat dari segi zaman dan hanya keterlambatan dari segi zat, demikianlah alam ini, semuanya merupakan akibat dan diciptakan oleh Allah tanpa zaman. Firman Allah:

“Sesungguhnya perintah-Nya apabila menghendaki sesuatu hanyalah berkata ; Jadilah ! maka terjadilah ia” (QS. Yasin : 82)


C. Jiwa

Jiwa manusia menurut Ibn Tufail adalah makhluk yang tertinggi martabatnya. Manusia terdiri dari dua unsur yaitu jazad dan ruh, badan tersusun dari unsur-unsur sedangkan jiwa tidak demikian. Jiwa bukan jisim dan bukan juga sesuatu daya yang ada didalam jisim. Setelah badan hancur atau mengalami kematian, jiwa akan lepas dari badan dan selanjutnya jiwa yang pernah mengenal Allah selama berada dalam jasad akan hidup dan kekal

Ibn Tufail mengelompokan jiwa kepada tiga kelompok :
  1. Jiwa yang sebelum mengalami kematian jasad telah mengenal Allah, mengagumi kebesaran dan keagungannya dan sellu ingat kepada-Nya, maka jiwa seperti ini akan kekal dalam kebahagiaan.
  2. Jiwa yang telah mengenal Allah, tetapi melakukan maksiat dan melupakan Allah, maka jiwa seperti ini akan abadi dalam kesengsaraan.
  3. Jiwa yang tidak pernah mengenal Allah selama hidup, maka jiwa seperti ini akan berakhir seperti hewan.

C. Epistemologi

Dalam epistemologi, Ibnu Tufail menjelaskan bahwa ma’rifat itu dimulai dari pancaindra, dengan pengamatan dan pengalaman dapat diperoleh pengetahuan indrawi, hal-hal yang bersifat metafisis dapat diketahui dengan akal intuisi. Ma’rifat dilakuakan dengan dua cara yaitu dengan renungan atau pemikiran, seperti yang dilakukan oleh filosof muslim dan tasawuf seperti yang dilakukan oleh kaum sufi, kesesuaian antara nalar dan intuisi membentuk esensi epistemologi Ibn Tufail, hal ini dapat diraih oleh seseorang tergantung kepada latihan rohani, tingkat pemikiran dan renungan akal.


D. Rekonsiliasi antara Filsafat dan Agama

Melalui roman filsafat Hayy Ibn Yaqzhan, Ibn Tufail menekankan bahwa antara filsafat dan agama tidak bertentangan, dengan kata lain akal tidak bertentangan dengan wahyu. (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Thufail, berbagai sumber)