Biografi Sartono - Pencipta Lagu Hymne Guru, Pahlawan tanpa Tanda Jasa

 Sartono
Sartono
[sumber]
Sartono adalah seniman pencipta lagu Hymne Guru. Ia lahir di Madiun, 29 Mei 1936. Sartono sudah piawai bermain musik sejak remaja. Ia tidak sempat menyelesaikan pendidikan di sekolah menengah atas. Dia drop out saat kelas II SMA di Surabaya karena ayahnya meninggal.

Setelah tidak bersekolah, Sartono mulai aktif bermain musik. Dia belajar secara otodidak. Ia sempat membentuk grup band bernama Combo Ria bersama sejumlah temannya. Selain bermain musik bersama Combo Ria, Sartono juga menjadi personel Korps Musik Ajudan Jenderal Resor Militer (Ajenrem) Madiun.

Karena kemampuannya itulah Sartono kemudian diminta mengajar musik kepada siswa Sekolah Menengah Pertama Katolik Santo Bernardus, Madiun. Di lembaga pendidikan swasta itu, Sartono menjadi guru honorer selama beberapa tahun.

Dunia musik sudah menjadi bagian hidup Sartono. Meski sibuk mengajar serta bermain musik bersama band-nya dan Korps Musik Ajenrem, dia juga menciptakan lagu. Karyanya yang monumental adalah Hymne Guru, Pahlawan tanpa Tanda Jasa. Lagu ini memenangi lomba dalam rangka peringatan Hari Pendidikan Nasional yang diselenggarakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) pada 1980.

Sartono merupakan mantan guru di sebuah yayasan swasta di Kota Madiun. Sartono merupakan pengajar di SMP Katolik Santo Bernardus Madiun hingga tahun 2002.

Sebenarnya kemampuan Sartono dalam bermusik sudah dikenal oleh kalangan pengajar di Madiun pada akhir era 1970-an. Saat itu dia disebut-sebut satu-satunya guru seni musik di Madiun yang memiliki kemampuan membaca not balok.

Sebelum menjadi pengajar, Sartono pernah bekerja di Lokananta, perusahaan pembuat piringan hitam di Solo, Jawa Tengah. Selain Hymne Guru, Sartono membuahkan delapan buah lagu bertema pendidikan.

Sebagai guru seni dan kecintaannya pada seni musik, Sartono lalu menciptakan lagu hymne guru yang berjudul "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa".

Dalam lagu itulah Sartono mengungkapkan kekaguman dan pujiannya kepada para pendidik yang tanpa pamrih, bagaikan pahlawan tanpa tanda jasa. Selain hymne guru yang monumental itu, Sartono juga menghasilkan delapan lagu bertema pendidikan.

Perhatiannya yang demikian serius dalam dunia pendidikan dan pengabdiannya sebagai guru membuahkan penghargaan dari Mendikbud Yahya A. Muhaimin dan penghargaan Dirjen Pendidikan, Soedardji Darmodihardjo.


Cerita dibalik penciptaan lagu Hymne Guru

Ihwal penciptaan lagu himne guru itu boleh dibilang tak sengaja. Ketika itu, tahun 1980, Sartono tengah naik bis menuju Perhutani Nganjuk, untuk mengajar kulintang. Di perjalanan, secara tidak sengaja ia membaca di secarik koran, mengenai sayembara penciptaan lagu himne guru yang diselenggarakan Depdiknas. Hadiahnya besar untuk saat itu, Rp 750.000. Waktu yang tersisa dua pekan, untuk merampungkan lagu.

Sartono yang tak bisa membaca not balok ini, mulai tenggelam dalam kerja keras mengarang lagu saban harinya. “Saya mencermati betul seperti apa sebenarnya guru itu,” jelas Sartono sambil memulai membuat lagu itu.

Waktu sudah mepet, lagu belum juga jadi. Sartono pusing bukan kepalang. Syairnya masih amburadul. Pada hari pertama Hari Raya Idul Fitri, Sartono tidak keluar rumah. Ia bahkan tak turut beranjang sana mengantar istri dan dua keponakannya silaturrahmi ke orangtua dan sanak famili. “Saat itu kesempatan bagi saya untuk membuat lagu dan syair secara serius,” katanya. “Waktu itu saya merasa begitu lancar membuat lagu dan menulis syairnya.”

Awalnya, lirik yang ia ciptakan kepanjangan. Padahal, durasi lagu tak lebih dari empat menit. Sartono pun berkali- kali mengkajinya untuk mengetahui mana yang harus dibuang. “Karena panjang sekali, maka saya harus membuang beberapa syairnya,” jelas Sartono. Hingga muncullah istilah “pahlawan tanpa tanda jasa.”

“Guru itu juga pahlawan. Tetapi selepas mereka berbakti tak satu pun ada tanda jasa menempel pada mereka, seperti yang ada pada polisi atau tentara,” katanya.

Persoalan tak begitu saja beres. Lagu ada, Sartono kebingungan mengirimnya ke panitia lomba di Jakarta. Sebab ia tidak punya uang untuk biaya pengiriman via pos. “Akhirnya saya menjual jas untuk biaya pos,” katanya.

Sartono menang. “Hadiahnya berupa cek. Sesampainya di Madiun saya tukarkan dengan sepeda motor di salah satu dealer,” kata Sartono.


Akhir hayat

Sartono (79) meninggal di RSUD Kota Madiun, Jawa Timur pada Ahad (1/11) akibat sakit yang dideritanya. Sartono mengalami komplikasi akibat serangan gejala stroke, jantung, kencing manis, dan penyumbatan darah di otak. Beliau mengembuskan napas terakhir setelah sepekan menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Madiun.

Almarhum meninggalkan istri, Ignatia Damijati, 64, seorang pensiunan PNS guru yang terakhir mengajar di SDN Klegen 03, Madiun.


Sumber: