Biografi Sunario Sastrowardoyo - Tokoh Manifesto 1925 dan Konggres Pemuda II


Prof. Mr. Sunario Sastrowardoyo adalah salah satu tokoh Indonesia pada masa pergerakan kemerdekaan Indonesia dan pernah menjabat sebagai pengurus Perhimpunan Indonesia di Belanda.

Sunario adalah satu-satunya tokoh yang berperan aktif dalam dua peristiwa yang menjadi tonggak sejarah nasional Manifesto 1925 dan Konggres Pemuda II. Ketika Manifesto Politik itu dicetuskan ia menjadi Pengurus Perhimpunan Indonesia bersama Hatta. Sunario menjadi Sekretaris II, Hatta bendahara I. Akhir Desember 1925, ia meraih gelar Meester in de rechten, lalu pulang ke Indonesia. Aktif sebagai pengacara, ia membela para aktivis pergerakan yang berurusan dengan polisi Hindia Belanda. Ia menjadi penasihat panitia Kongres Pemuda II tahun 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda. Dalam kongres itu Sunario menjadi pembicara dengan makalah "Pergerakan Pemuda dan Persatuan Indonesia."


Riwayat

Sunario lahir di Madiun, Jawa Timur pada tanggal 28 Agustus 1902. Ia adalah anak pertama dari 13 bersaudara dari pasangan Sutejo Sastrowardoyo yang merupakan mantan wedana di Uteran dan Suyati Kartokusumo.

Sunario yang beragama Islam dan berasal dari Jawa Timur ini menikah dengan gadis Minahasa beragama Protestan yang ditemuinya saat berlangsung Kongres Pemuda 1928.

Sunario menikah dengan Dina Maranta Pantouw pada 7 Juli 1930, gadis Minahasa yang dikenalnya saat rangkaian Kongres Pemuda II. Ada kisah menarik sebelum pernikahan berlangsung.

Pada malam midodareni, Sunario dan Dina diminta untuk datang ke rumah Mr Sartono. Di sana telah hadir MH Thamrin dan AK Pringgodigdo.

Kemudian diputarlah lagu "Indonesia Raya" sebagai penghormatan kepada kedua calon mempelai yang sangat besar cintanya kepada Indonesia. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai lima orang anak.

Sunario wafat pada tahun 1997 di RS Medistra, Jakarta. Sementara istrinya tiga tahun lebih awal, 1994. Sunario dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.


Pendidikan

Pada tahun 1908, Sunario masuk ke Frobelschool (sekolah taman kanak-kanak) di Madiun. Di sekolah tersebut, ia diajar oleh guru-guru wanita yang bernama Mejuffrouw Acherbeek dan Mejuffrouw Tien.

Setelah ia lulus dari Frobelschool, ia masuk ke Europeesche Lagere School (ELS), yang merupakan Sekolah Dasar di Madiun tahun 1909 - 1916, Sunario tinggal di rumah kakeknya yang merupakan pensiunan Mantri Kadaster yang bernama Sastrosentono. Sunario termasuk murid yang cerdas dan tidak pernah tinggal kelas yang membuat orang tuanya bangga.

Setelah menyelesaikan pendidikan di ELS, Sunario melanjutkan sekolahnya ke MULO, yang merupakan singkatan dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (sejenis dengan Sekolah Menengah Pertama) di Madiun. Ia bersekolah disini hanya 1 tahun, dan pada tahun 1917 ia pindah ke Rechtschool (setingkat dengan SMK/Sekolah Menengah Kejuruan Hukum) di Batavia. Di Batavia, ia tinggal di rumah pamannya, yang bernama Kusman dan Kunto. Di Rechschool, ia belajar hukum dan belajar bahasa Perancis. Sewaktu ia bersekolah disitu, ia menjadi anggota Jong Java.

Setelah ia menyelesaikan pendidikannya di Rechtschool, ia melanjutkan pelajarannya ke Belanda. Ia berangkat ke Belanda dengan biaya sendiri dengan menaiki kapal sampai ke Genoa, lalu meneruskan perjalanan dengan kereta api ke Brussel, Belgia dan menginap disana semalam. Setelah itu, ia pergi ke Den Haag dan mengganti kereta api menuju Leiden. Di Leiden, ia diterima di Universitas Leiden dan mengikuti kuliah doktoral, sehingga pada tahun 1925 ia meraih gelar Mr. atau Meester in de Rechten yang artinya ahli dalam ilmu hukum. Ia menerima ijazah pada tanggal 15 Desember dan ditandatangani oleh Prof. C. van Vollenhoven dan Prof. N.Y. Krom. Selama di Belanda, ia menjadi anggota Perhimpunan Indonesia.


Karier

Setelah Indonesia merdeka, Sunario menjadi anggota Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat).

Ia menjabat sebagai Menteri Luar Negeri pada periode 1953-1955. Pada masa jabatannya sebagai Menteri Luar Negeri Mr. Sunario menjabat sebagai Ketua Delegasi RI dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955. Ketika menjadi Menlu, Sunario juga menandatangani Perjanjian tentang Dwi kewarganegaraan etnis Cina dengan Chou En Lai.

Ia juga pernah menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Inggris periode 1956 - 1961. Setelah itu Sunario diangkat sebagai guru besar politik dan hukum internasional, lalu menjadi Rektor Universitas Diponegoro, Semarang (1963-1966) dan menjadi Rektor IAIN Al-Jami'ah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah (1960-1972) yang merupakan cikal bakal UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta serta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pada 1968, Sunario berprakarsa mengumpulkan pelaku sejarah Sumpah Pemuda, dan meminta kepada Gubernur DKI mengelola dan mengembalikan gedung di Kramat Raya 106 milik Sie Kong Liang yang telah berganti-ganti penyewa dan pemilik kepada bentuknya semula. Tempat ini disepakati menjadi Gedung Sumpah Pemuda, tetapi usulan mengganti nama jalan Kramat Raya menjadi jalan Sumpah Pemuda belum tercapai.

Setelah pensiun, diangkat sebagai Panitia Lima tahun 1974. Panitia itu dibentuk pemerintah karena muncul kehebohan di kalangan masyarakat tentang siapa sebetulnya penggali Pancasila. Panitia ini diketuai Bung Hatta. Anggota lainnya adalah Ahmad Subardjo, A. A. Maramis, dan A. G. Pringgodigdo, tokoh yang ikut merumuskan Piagam Jakarta tahun 1945.


Biodata Sunario Sastrowardoyo

Jabatan
  • Menteri Luar Negeri Republik Indonesia ke-7
  • Masa jabatan: 9 April 1957 – 10 Juli 1959
  • Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ke-2
  • Masa jabatan: 1960 – 1963
  • Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ke-3
  • Masa jabatan: 1960 – 1972
Informasi pribadi
  • Lahir: 28 Agustus 1902 Madiun, Jawa Timur, Hindia Belanda
  • Meninggal: 18 Mei 1997 (umur 94) Jakarta, Indonesia
  • Kebangsaan: Indonesia
  • Profesi: Diplomat
  • Agama: Islam

Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Sunario_Sastrowardoyo