Muhammad bin Sirin - Salah Seorang Ulama Besar dari Kalangan Tabi'in

Masjid di Larabanga Ghana
Masjid di Larabanga Ghana, [Foto: stignygaard]
Muhammad bin Sirin al-Anshari, ia adalah seorang Tabi'in ahli fiqh yang zuhud dan tekun beribadah, ayahnya, Sirin bekas sahaya Anas bin Malik yang membelinya dari Khalid bin al-Walid yang menawannya di Ain at-Tamr di gurun pasir Irak dekat al-Anbar.


Kelahiran

Ayah Muhammad bin Sirin adalah salah seorang hamba sahaya dari sahabat Anas bin Malik ra. Ketika ia dimerdekakan, ia langsung mengutarakan niatnya untuk menikahi wanita yang bernama Shofiyah, seorang hamba sahaya Abu Bakar ra yang sangat disayangi oleh keluarga Abu Bakar.

Ketika Sirin melamar Shofiyah, Abu Bakar meneliti dirinya dengan penuh seksama. Bukan itu saja, bahkan Anas bin Malik sempat dimintai pendapatnya oleh Abu Bakar tentang Sirin ini. Anas meyakinkan Abu Bakar, seraya berkata, "Percayalah, Sirin adalah orang baik yang memiliki akhlak mulia. Saya telah mengenalnya sejak lama. Insya Allah dia tidak akan mengecewakan Anda."

Mendengar jaminan tersebut, lamaran Sirin diterima. Kemudian diadakan walimah besar dan istimewa. Dikatakan istimewa, karena pesta pernikahan dihadiri oleh delapan belas orang ahlu Badar dan ummul Mukminin, Siti Aisyah ra. Pada saat resepsi, bertindak selaku pembaca doa adalah sahabat Ubay bin Ka'ab. Sedangkan Aisyah bertugas merias pengantin wanita.

Dari pernikahan ini, Allah menganugerahi mereka seorang anak bernama Muhammad bin Sirin. Dua puluh tahun kemudian ia menjadi salah seorang ulama besar dari kalangan tabi'in.


Mencari ilmu

Muhammad bin Sirin lahir dua tahun sebelum berakhirnya khilafah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu dan tumbuh besar di suatu rumah yang dipenuhi semerbak wewangian takwa dan wara di setiap sudutnya.

Memasuki usia remaja, anak itu mendapati masjid Rasulullah penuh dengan para sahabat dan tokoh tabi’in seperti Zaid bin Tsabit, Anas bin Malik, Imron bin Hushain, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair dan Abu Hurairah.

Betapa antusias beliau menyambut mereka seperti layaknya orang kehausan yang menemukan air yang jernih. Diserapnya dari mereka ilmu-ilmu dari Kitabullah, didalaminya masalah fiqih dan riwayat-riwayat hadis Rasulullah. Otaknya makin subur dan penuh dengan hikmah dan ilmu, jiwanya makin kaya akan kebaikan dan hidayah.

Kemudian berpindahlah keluarga beserta remaja yang brilian ini ke Basrah dan menjadikannya sebagai tempat untuk menetap.


Kehidupan di Basrah

Saat Muhammad bin Sirin berusia 14 tahun, ia berhijrah ke Basrah, pusat peradaban Islam waktu itu. Banyak orang Romawi dan Persia yang baru masuk Islam juga menimba ilmu keagamaan di kota itu. Banyak ulama besar yang tinggal di Basrah, salah satunya adalah Hasan Al-Bashri.

Dalam keseharian, Muhammad bin Sirin membagi waktunya untuk melakukan tiga aktivitas: beribadah, mencari ilmu, dan berdagang. Sebelum Subuh sampai waktu Duha ia berada di masjid al-Basrah. Di sana ia belajar dan mengajar berbagai pengetahuan Islam. Setelah Duha hingga sore hari ia berdagang di pasar. Ketika berdagang ia selalu menghidupkan suasana ibadah dengan senantiasa melakukan dzikir, amar ma'ruf, dan nahi munkar. Malam hari, ia khususkan untuk bermunajat kepada Allah SWT. Tangisannya yang keras ketika berdoa terdengar sampai ke dinding-dinding rumah tetangga.

Dalam menggeluti dunia perdagangan, ia sangat berhati-hati sekali. Ia khawatir kalau-kalau terjebak ke dalam masalah yang haram. Sehingga apa yang dilakukannya seringkali membuat orang lain merasa heran.


Hati yang penuh kebaikan

Penagih hutang - Suatu ketika, ada seseorang menagih hutang kepadanya sebanyak dua dirham. Sedangkan ia sendiri tidak merasa berhutang. Orang tersebut tetap bersikukuh dengan tuduhannya. Karena ia mempunyai bukti, selembar kertas perjanjian hutang yang tertera di atasnya tanda tangan Muhammad bin Sirin.

Dengan penuh paksa, ia meminta Muhammad bin Sirin untuk melakukan sumpah. Ketika ia hendak bersumpah, banyak orang yang merasa heran mengapa ia menuruti kemauan si penuduh itu. Salah seorang rekan Muhammad bin Sirin bertanya, "Syaikh, kenapa Anda mau bersumpah hanya untuk masalah sepele, dua keping dirham, padahal baru saja kemarin anda telah merelakan 30 ribu dirham untuk diinfakkan kepada orang lain." Lantas Muhammad bin Sirin menjawab, "Iya, saya bersumpah karena saya tahu bahwa orang itu memang telah berdusta. Jika saya tidak bersumpah, berarti ia akan memakan barang yang haram."

Dipanggil Gubernur Iraq- Di lain waktu ia dipanggil oleh Umar bin Hubairah, Gubernur Irak. Gubernur menyambut kedatangannya dengan meriah. Setelah berbasa-basi sejenak, Hubairah bertanya kepadanya, "Bagaimana pendapat Syaikh tentang kehidupan di negeri ini?"

Dengan penuh keberanian, ia menjawab pertanyaan gubernur, "Kezaliman hampir merata di negeri ini. Saya melihat anda selaku pemimpin kurang perhatian terhadap rakyat kecil." Belum lagi Muhammad bin Sirin selesai berbicara, salah seorang keponakannya yang juga ikut ke istana gubernur mencubit lengan sang syaikh, sebagai isyarat agar Muhammad bin Sirin menghentikan kritikan pedasnya kepada sang gubernur. Dengan tegas ia berkata kepada keponakannya itu, "Diamlah engkau, kalau saya tidak mengkritik gubernur, maka nanti sayalah yang akan ditanya di akhirat. Apa yang saya lakukan merupakan persaksian dan amanah umat. Barangsiapa menyembunyikan amanah ini, niscaya ia berdosa."

Sang gubernur sempat termenung sejenak karena terperangah dengan teguran keras dari salah seorang rakyatnya. Tapi ia segera sadar bahwa ia harus bertanggung jawab untuk mengatasi keadaan yang menyedihkan yang menimpa negerinya.

Setelah beberapa saat berada di istana gubernur, ia segera mohon pamit untuk pulang. Gubernur hendak memberikan uang kepadanya sebesar 40 ribu dirham. Tapi ia malah menolaknya. Keponakannya merasa heran mengapa ia harus menolak pemberian itu. Lagi-lagi ia mengingatkan kepada keponakannya seraya berkata, "Ketahuilah, dia memberi hadiah kepadaku karena dia menyangka aku adalah orang yang baik. Kalau aku baik, maka tidak pantas untuk menerima uang itu. Sedangkan jika aku tidak sebaik yang ia sangka, lebih tidak pantas lagi aku mengambilnya."

Bangkai tikus dalam kaleng minyak sayur - Suatu ketika ia membeli minyak sayur dalam jumlah besar untuk kepentingan usaha perdagangannya. Ia membelinya dengan sistem kredit. Ketika salah satu kaleng minyak itu dibuka, di dalamnya didapatkan bangkai tikus yang sudah membusuk. Sejenak ia mulai berpikir, apakah ia harus mengembalikannya atau tidak, sesuai dengan perjanjian yang mengatakan, "Apabila terdapat aib pada barangnya, maka ia berhak mengembalikannya." Tapi, ia mengkhawatirkan tentang sesuatu. Apabila ia mengembalikannya, tentu si pedagang minyak sayur itu akan menjualnya kepada orang lain lagi.

Sedangkan tempat pembuatan minyak hanya satu. Sudah barang tentu seluruh minyak telah tercemar oleh bangkai tikus itu. Jika dijual kepada orang lain, maka akan tersebarlah bangkai dan najis itu ke setiap orang. Atas pertimbangan tersebut, maka dibuanglah seluruh minyak itu. Ketika datang penjual minyak itu untuk menagih, ia tidak memiliki uang. Ia segera diadukan kepada qadi (hakim pengadilan). Maka ia pun dipanggil untuk diadili. Setelah itu ia dipenjarakan karena kasus tersebut.

Di dalam penjara, petugas merasa sangat kasihan kepadanya. Karena petugas menilainya sebagai orang shalih. Suara tangis yang mengiringi setiap shalat dan munajatnya selalu terdengar oleh petugas tersebut. Setelah memandang iba kepadanya, penjaga penjara itu berkata kepadanya, "Syaikh, bagaimana kalau saya menolong anda. Saat malam anda boleh pulang ke rumah. Keesokannya anda datang lagi ke sini. Apa anda setuju?" Ia menjawab, "Kalau engkau melakukan demikian, maka engkau telah berlaku khianat. Saya tidak setuju."

Sebelum wafat, Anas sempat berwasiat agar yang memandikan dan menguburkannya adalah Muhammad bin Sirin. Salah seorang kerabat Anas bin Malik memohon kepada petugas penjara agar Muhammad bin Sirin diizinkan menunaikan wasiat gurunya. Petugas mengizinkannya. Tetapi, Muhammad bin Sirin berkata, "Saya dipenjara bukan karena penguasa. Tapi karena pemilik barang. Saya tidak akan keluar sampai pemilik barang mengizinkannya.

Setelah pemilik barang mengizinkannya, berangkatlah ia ke tempat Anas bin Malik dibaringkan. Usai mengurus jenazah Anas bin Malik, ia kembali ke penjara tanpa mampir ke rumahnya barang sejenak pun.


Wafatnya Muhammad bin Sirin

Beliau wafat pada usia ke 77 tahun, tahun 110 H.


Sumber:
Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009
Muhammad Bin Sirin Dan Kejujuran Dalam Setiap Langkahnya, www.suaramedia.com