Muhammad al-Hanafiyyah bin Ali bin Abi Thalib - Tabi'in yang Santun, Cerdas, Bijak dan Berakhlak Lembut

Masjid di Brunei Darussalam
Masjid di Brunei Darussalam. [Foto: tylerdurden1]
Muhammad al-Hanafiyyah adalah putra dari Ali ibn Abi Thalib hasil pernikahannya dengan Khaulah binti Ja’far bin Qais al-Hanafiyyah. Beliau adalah tokoh tabi'in yang santun, cerdas, bijak dan berakhlak lembut.


Asal muasal nama Muhammad al-Hanafiyyah bin Ali bin Abi Thalib

Putra dari Ali ibn Abi Thalib ini memiliki nama yang sama dengan Rasulullah yakni Muhammad, dan memiliki julukan yang sama. Hal ini tidak datang begitu saja, namun memiliki asal muasal yang jelas. Pada masa detik-detik akhir kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, suatu hari Ali bin Abi Thalib duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, seandainya saya punya anak lagi setelah Anda tiada, bolehkah saya memberi nama anakku dengan nama Anda dan saya berikan kunyah (julukan) dengan kunyah Anda (yakni Abu al-Qasim)?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Boleh.”

Waktu bergulir, hingga akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan beberapa bulan kemudian disusul putrinya, Fatimah yang merupakan ibunda Hasan dan Husein. Setelah itu Ali bin Abi Thalib menikah lagi dengan seorang wanita dari Bani Hanifah bernama Khaulah binti Ja’far bin Qais al-Hanafiyyah.

Perkawinan ini melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Muhammad dan diberi julukan Abu al-Qasim dengan restu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelumnya. Namun demikian orang-orang biasa memanggilnya dengan nama Muhammad al-Hanafiyyah untuk membedakannya dari kedua saudaranya, Hasan dan Husein. Ibu keduanya adalah Fathimah az-Zahra. Sedangkan ibu beliau wanita dari al-Hanafiyah. Kemudian nama itulah yang banyak dikenal oleh sejarah.


Belajar dari sang Ayah

Muhammad ibn al-Hanafiyyah lahir di akhir masa khilafah ash-Shiddiq (Abu Bakar) RA. Ia tumbuh dan terdidik di bawah perawatan ayahnya, Ali bin Abi Thalib, ia lulus di bawah didikannya.

Ia belajar ibadah dan kezuhudan dari ayahnya…mewarisi kekuatan dan keberaniannya…menerima kefasihan dan balaghoh darinya. Hingga ia menjadi pahlawan perang di medan pertempuran…singa mimbar di perkumpulan manusia…seorang ahli ibadah malam (Ruhbaanullail) apabila kegelapan telah menutup tirainya ke atas alam dan saat mata-mata tertidur lelap.

Ayahnya telah mengutusnya ke dalam pertempuran-pertempuran yang ia ikuti. Siang hari, beliau menjadi pahlawan di medan perang dan menjadi tokoh dalam jajaran para ulama. Di malam hari beliau adalah rahib di saat mata manusia tidur terlelap. Ayah beliau radhiyallahu ‘anhu telah menggemblengnya di tengah kancah peperangan yang diikutinya.


Perang Shiffin

Dalam perang “Shiffin” yang berkecamuk antara Ali ibn Abi Thalib dan Muawiyah ibn Abi Sufyan RA. Muhammad ibn al-Hanafiyyah membawa panji ayahnya.

Dan di saat roda peperangan berputar menggilas pasukan dari dua kelompok, terjadilah sebuah kisah yang ia riwayatkan sendiri. Ia menuturkan,

“Sungguh aku telah melihat kami dalam perang “Shiffin”, kami bertemu dengan para sahabat Muawiyah, kami saling membunuh hingga aku menyangka bahwa tidak akan tersisa seorang pun dari kami dan juga dari mereka. Aku menganggap ini adalah perbuatan keji dan besar.

Tidaklah berselang lama hingga aku mendengar seseorang yang berteriak di belakangku, “Wahai kaum Muslimin…(takutlah kepada) Allah, (takutlah kepada Allah)…wahai kaum Muslimin…

Siapakah yang akan (melindungi) para wanita dan anak-anak?…
Siapakah yang akan menjaga agama dan kehormatan?…
Siapakah yang akan menjaga serangan Romawi dan ad-Dailami?*…

Wahai kaum Muslimin…takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah dan sisakan kaum muslimin, wahai ma’syarol muslimin.”

Maka sejak hari itu, aku berjanji kepada diriku untuk tidak mengangkat pedangku di wajah seorang Muslim.

Kemudian Ali mati syahid di tangan pendosa yang dzalim (di tangan Abdurrahman ibn Miljam )

Kekuasaan pun berpindah kepada Muawiyah ibn Abi Sufyan. Maka, Muhammad ibn al-Hanafiyyah membaiatnya untuk selalu taat dan patuh dalam keadaan suka maupun benci karena keinginannya hanya untuk menyatukan suara dan mengumpulkan kekuatan serta untuk menggapai izzah bagi Islam dan Muslimin.

Muawiyah merasakan ketulusan baiat ini dan kesuciannya. Ia merasa benar-benar tentram kepada sahabatnya, hal mana menjadikannya mengundang Muhammad ibn al-Hanafiyyah untuk mengunjunginya. Beberapa kali Muhammad berkunjung ke Damaskus untuk menjumpai Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu.

Usia Muhammad al-Hanafiyyah tidak begitu panjang. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memilihnya untuk kembali ke sisi-Nya dengan ridha dan penuh keridhaan. (Dikutip dari: Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009)