Biografi Achmad Rifa'i - Pahlawan Indonesia

Achmad Rifa'i
Kiai Haji Ahmad Rifa'i adalah salah satu ulama tarekat Indonesia berasal dari Jawa tengah. Beliau adalah pendiri organisasi kemasyarakatan Rifa'iyyah. Ia juga merupakan salah satu ulama yang bergelar pahlawan nasional.

Sejarawan Indonesia Prof. Dr. Sartono kartodirdjo menegaskan, bahwa Ahmad Rifa'i merupakan seorang ulama yang anti kolonialisme Belanda, melawan dengan senjata pena secara berani dan terbuka. Ia bertekad hidup merdeka atau mati syahid, cinta tanah air adalah bagian dari iman. Prof.Dr. Karel A. Steenbrink menyatakan, di dalam sejarah dakwah Islam, Ahmad Rifa'i bias dianggap sebagai satu-satunya tokoh yang bias memberikan uraian tentang agama Islam tanpa memakai bahasa Arab dan mampu mengarang kitab dalam bahasa yang menarik karena berupa syair.

Kiai Ahmad Rifa'I lahir di Desa Tempuran, Kendal, Jawa Tengah pada 9 Muharram 1200 hijriyyah, atau 1786 masehi. Ia telah menjadi yatim di usia sangat belia. Sang ayah yang merupakam ulama Kendal, KH Muhammad Marhum Bin Abi Sujak, meninggal saat Kiai Rifa'i baru berusia enam tahun.

Selanjutnya Beliau ikut bersama kakak perempuannya yang bersuamikan Kiai As'ari, pengurus ponpes di Kaliwungu. Dari kakak iparnya itulah Rifa'i kecil belajar ilmu agama hingga dewasa. Ia juga telah memulai jalan dakwah ketika cukup usia dengan menghelat tabligh keliling Kendal. Dakwah kiai terkenal tegas, sehingga Belanda pun mengawasi gerak-geriknya. Belum lagi tulisan-tulisannya yang menyuarakan kemerdekaan Tanah Air dari tangan penjajah.

Kiai Ahmad Rifa'I yang memiliki sikap patriotik, membuat penjajah geram, akibatnya kiai sering kali ditangkap penjajah, di penjara, bahkan diasingkan. Berkali-kali ia keluar masuk penjara di Kendal dan Semarang. Ia juga pernah diasingkan di Desa Kalisalak Batang. Saat dipengasingan tersebut, kiai justru mendirikan sebuah pondok pesantren. Dengan berdirinya ponpes tersebut, warga pun mulai melek terhadap pendidikan agama dan perjuangan kemerdekaan.

Saat usianya menginjak 30 tahun, Kiai Ahmad Rifa'I pergi ke Tanah Suci. Kiai ingin menambah ilmu agamanya langsung dari ulama Saudi. Di sana, ia pun berguru kepada para masyayikh, seperti Syekh Ahmad Ustman, Syekh Is Al -Barawi dan Syekh Abdul Aziz Al Habisyi. Setelah menempa ilmu di Saudi sekitar delapan tahun, kiai melanjutkan belajar ke Mesir.

Pembentukan Organisasi Rifa'iyyah

Saat kembali ke Tanah Air, kiai makin mapan berdakwah. Ia pun kemudian bersama ulama-ulama Tanah Air yang belajar di Haramain, mengadakan sebuah pertemuan. Mereka membahas kehidupan Muslimin Indonesia yang masih dekat dengan hal-hal mistis dan kesyirikan. Sebuah gerakan pembaharuan pun muncul di benak ulama-ulama tersebut, termasuk kiai Rifa'i.

Dari gerakan pembaruan itulah Kiai Rifa'i kemudian membangun organisasi sosial kemasyarakatan yang disebut Rifa'iyyah. Organisasi ini bergerak di ranah sosial agama dengan objek pembaruan masyarakat desa. Dalam perkembangannya, gerakan ini menjadi aksi protes penjajahan belanda dan kaum tradisional.

Sebagai ulama, kiai banyak berdakwah serta menulis dan menerjemahkan buku. Di antara karyanya, yakni kitab terjemahan kitab berbahasa Arab dari ulama terdahulu yang jumlahnya mencapai 62 judul. Ia menerjemahkannya bebas ke dalam bahasa Jawa, sehingga dapat dimengerti masyarakat pedesaan. Karya-karya terjemah yang disebut Tarjumah inilah yang paling terkenal dari hasil karyanya. Pasalnya, kitab-kitab itu sangat membantu masyarakat desa dalam memahami agama.

Sebagai pejuang, Kiai Rifa'i sangat vokal dalam menyerukan perlawanan terhadap Belanda. Ia berdakwah sembari menanamkan semangat kemerdekaan kepada masyarakat. Alhasil, setiap geraknya selalu diawasi penjajah. Kiai sering kali diasingkan ke tempat terpencil. Ia juga pernah dibuang ke Ambon dan Manado.

makam Achmad Rifa'i
Makam K. H. Achmad Rifa'i
Wafat 

Di akhir hayatnya, kiai pun meninggal di pengasingan di Tanah Tondano, Minahasa, Manado, Sulawesi Utara. Bahkan, tanggal kematiannya pun tak ada yang tahu pasti. Ada yang bilang, Kiai wafat pada Kamis 25 Rabiul Akhir 1286 H di usia 86 tahun. Sumber lain menyebut kiai wafat pada 1292 H di usia 92 tahun. Jenazah kiai dimakamkan di kompleks makam pahlawan di Tindano.

Beliau Dimakamkan di Pekuburan Jawa Tondano di Kelurahan Kampung Jawa, di kecamatan Tondano Utara, Kabupaten Minahasa, provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Atas semua jasa-jasanya, pemerintah Indonesia menganugerahi gelar pahlawan nasional pada 5 November 2004 dengan dikeluarkannya Keppres No. 89/TK/2004.