Biografi Aqil bin Abi Thalib - Sahabat Nabi yang Fasih Lisannya

Aqil bin Abi Thalib adalah Sahabat Nabi Muhammad dan saudara dari Ja'far bin Abi Thalib dan Ali bin Abi Thalib, Ia anak paman Nabi, Abu Thalib. Ia ikut berperang dalam pertempuran Mu'tah. Ia meninggal dalam usia 96 tahun. Beliau masuk dalam kategori Ahlul bait (keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diharamkan memakan shadaqah).

Biografi Aqil bin Abi Thalib - Sahabat Nabi yang Fasih Lisannya

Nasabnya

Nama dan nasab Aqil adalah Aqil bin Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hisyam bin Abdu Manaf bin Qushay (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 4/31). Dia adalah seorang Quraisy dari klan Bani Hasyim (Abu Hatim: al-Jarh wa at-Ta’dil, 6/218). Putra dari paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Thalib. Dan saudara seayah dengan Ja’far bin Abu Thalib dan Ali bin Abu Thalib. Namun ia yang tertua dari keduanya (Ibnu al-Atsir: Asad al-Ghabah, 4/61).

Kun-yahnya adalah Abu Yazid dan ada pula yang mengatakan Abu Isa. Ibunya bernama Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushay (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 4/31).


Memeluk Islam dan Berjihad

Aqil pernah turut serta dalam Perang Badr sebelum beliau memeluk Islam. Saat itu ia berada di pihak kaum musyrikin. Mereka memaksanya untuk berangkat. Di akhir peperangan, ia tertawan. Kemudian ditebus oleh pamannya, Abbas bin Abdul Muthalib (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 4/32). Setelah bebas dari tawanan, ia kembali ke Mekah dan memeluk Islam sebelum terjadi Perjanjian Hudaibiyah (Ibnu al-Atsir: Asad al-Ghabah, 4/61). Ia terus menetap di Mekah sampai kemudian hijrah ke Madinah di tahun 8 H.

Setelah di Madinah, ia turut serta dalam Perang Mu’tah. Kemudian kembali dan mengalami sakit. Sehingga namanya tak terdengar disebut dalam Fathu Mekah, Perang Thaif, Khaibar, dan Hunain (Ibnu Asakir: Tarikh Dimasyq, 9/41). Dalam versi lain, disebutkan bahwa ia termasuk orang yang bertahan mendampingi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat kaum muslimin kocar-kacir di Perang Hunain (Ibnu al-Atsir: Asad al-Ghabah, 4/61).


Keilmuan

Aqil bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu adalah seorang yang fasih lisannya dan mantab jawabannya (az-Zarkili: al-A’lam, 4/242). Orang-orang Quraisy menyatakan bahwa ia adalah orang yang paling tahu tentang sejarah Quraisy. Tapi ia tak menyukai gelaran ini. Mengapa? Ia menganggap kalau mengetahui seluk-beluk Quraisy, seolah-olah meridhai kejahatan mereka di masa lalu. Dulu, orang-orang berkumpul menemui Aqil untuk mempelajari nasab bangsa Arab dan sejarah mereka (ayyamulArab). Karena sangat menguasai bidangnya, ia terkenal dengan sangat cepat dan tepat dalam menjawab (Ibnu Abdil Bar: al-Isti’ab fi Ma’rifati al-Ash-hab, 3/1078).

Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Ada empat orang Quraisy yang disepakati ucapannya dalam permasalahan ilmu nasab: Aqil bin Abu Thalib, Mukhramah bin Naufal az-Zuhri, Abu Jahm bin Hudzaifah al-Adawi, dan Huwaithib bin Abdul Uzza al-Amiri (Ibnu Abdil Bar: al-Isti’ab fi Ma’rifati al-Ash-hab, 3/1079).


Kedudukan Aqil di Sisi Nabi

Beberapa hadits Nabi diriwayatkan dari Aqil bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu. Mereka yang meriwayatkan dari Aqil di antaranya adalah putranya sendiri, Muhammad. Kemudian cucunya, Abdullah. Kemudian ada nama Musa bin Thalhah dan al-Hasan al-Bashri (an-Nawawi: Tadzhib al-Asma’ wa al-Lughat, 1/337). Para ulama yang meriwayatkan haditsnya di antaranya adalah an-Nasa-I dan Ibnu Majah.

Kedudukannya yang utama di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah kita sebutkan di awal. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,

يَا أَبَا يَزِيدَ، إِنِّي أُحِبُّكَ حُبَّيْنِ حُبًّا لِقَرَابَتِكَ مِنِّي، وَحُبًّا لَمَّا كُنْتُ أَعْلَمُ مِنْ حُبِّ عَمِّي إِيَّاكَ

“Hai Abu Yazid, sungguh aku mencintaimu dengan dua kecintaan. Cinta karena kekerabatanmu denganku. Dan rasa cinta karena aku tahu betapa pamanku sangat mencintaimu.” (HR. al-Hakim dalam Mustadraknya, 6464).


Wafatnya

Di akhir hayatnya, Aqil bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu mengalami kebutaan. Ia wafat di masa pemerintah Muawiyah bin Abu Sufyan radhiallahu ‘anhuma (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 4/33), di usia 50-an tahun. Ada juga yang mengatakan ia wafat di masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah (az-Zarkili: al-A’lam, 4/242). Ia memiliki rumah yang besar di Baqi dan keluarga yang besar pula. Sampai-sampai dinisbatkan pada mereka Bani Aqil (az-Zarkili: al-A’lam, 4/242).