Muhammad Husein bin Salim bin Ahmad bin Salim bin Ahmad al-Muthahar atau Habib Husin Al Muthohar atau H. Mutahar. Masyarakat luas tak tahu kalau beliau Habib (Keturunan Nabi Muhammad SAW), karena selama ini hanya disebutkan H. Mutahar.
Beliau Merupakan pendiri Gerakan pramuka, pendiri Paskibraka, Pejuang “Pertempuran Lima Hari” Semarang, Sopir pribadi Bung Karno saat perang, Pengawal Bung Karno saat haji, Orang yg di percaya Bung Karno utk menyelamatkan Bendera Pusaka saat Belanda melumpuhkan Yogyakarta pada 1948. Dan Muthohar lolos dari pemeriksaan ketat tentara Belanda.
Ia pernah menjadi Duta Besar RI di Takhta Suci Vatikan, Penerima anugerah Bintang Gerilya, dan Penerima Bintang Mahaputra. H. Mutahar adalah seorang komponis musik Indonesia, terutama untuk kategori lagu kebangsaan dan anak-anak.
Lagu ciptaannya yang populer adalah hymne Syukur (diperkenalkan Januari 1945) dan mars Hari Merdeka (1946). Karya terakhirnya, Dirgahayu Indonesiaku, menjadi lagu resmi ulang tahun ke-50 Kemerdekaan Indonesia. Lagu anak-anak ciptaannya, antara lain: "Gembira", "Tepuk Tangan Silang-silang", "Mari Tepuk", "Slamatlah", "Jangan Putus Asa", "Saat Berpisah", dan "Hymne Pramuka". Ia diketahui menguasai paling tidak enam bahasa secara aktif.
Karier
Beliau mengecap pendidikan setahun di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada periode 1946-1947, setelah tamat dari MULO B (1934) dan AMS A-I (1938). Pada tahun 1945, Mutahar bekerja sebagai Sekretaris Panglima Angkatan Laut RI di Jogjakarta, kemudian menjadi pegawai tinggi Sekretariat Negara di Jogjakarta (1947). Selanjutnya, ia mendapat jabatan-jabatan yang meloncat-loncat antar departemen. Puncak kariernya barangkali adalah sebagai Duta Besar RI di Tahta Suci (Vatikan) (1969-1973). Ia diketahui menguasai paling tidak enam bahasa secara aktif. Jabatan terakhirnya adalah sebagai Pejabat Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri (1974).
Kepanduan
Mutahar aktif dalam kegiatan kepanduan. Ia adalah salah seorang tokoh utama Pandu Rakyat Indonesia, gerakan kepanduan independen yang berhaluan nasionalis. Ia juga dikenal anti-komunis. Ketika seluruh gerakan kepanduan dilebur menjadi Gerakan Pramuka, Mutahar juga menjadi tokoh di dalamnya. Namanya juga terkait dalam mendirikan dan membina Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka), tim yang beranggotakan pelajar dari berbagai penjuru Indonesia yang bertugas mengibarkan Bendera Pusaka dalam upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI.
Paskibraka
Sebagai salah seorang ajudan Presiden, Mutahar diberi tugas menyusun upacara pengibaran bendera ketika Republik Indonesia merayakan hari ulang tahun pertama kemerdekaan, 17 Agustus 1946. Menurut pemikirannya, pengibaran bendera sebaiknya dilakukan para pemuda yang mewakili daerah-daerah Indonesia. Ia lalu memilih lima pemuda yang berdomisili di Yogyakarta (tiga laki-laki dan dua perempuan) sebagai wakil daerah mereka.
Pada tahun 1967, sebagai direktur jenderal urusan pemuda dan Pramuka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Mutahar diminta Presiden Soeharto untuk menyusun tata cara pengibaran Bendera Pusaka. Tata cara pengibaran Bendera Pusaka disusunnya untuk dikibarkan oleh satu pasukan yang dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok 17 sebagai pengiring atau pemandu; kelompok 8 sebagai kelompok inti pembawa bendera; kelompok 45 sebagai pengawal. Pembagian menjadi tiga kelompok tersebut merupakan simbol dari tanggal Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Keluarga
H. Mutahar tidak menikah, namun mempunyai 8 anak semang (6 laki-laki dan 2 perempuan). Sebagian merupakan ”serahan” dari ibu mereka —yang janda— atau bapak mereka —beberapa waktu sebelum meninggal dunia. Ada pula bapak/ibu yang sukarela menyerahkan anaknya untuk diakui sebagai anak sendiri. Semua sudah berumah tangga dan mempunyai 15 orang cucu (7 laki-laki dan 8 perempuan).
Meninggal dunia
Muhammad Husein bin Salim bin Ahmad bin Salim bin Ahmad al-Muthahar meninggal dunia Rabu petang 9 Juni 2004, pukul 16.30, dua bulan menjelang ulang tahunnya yang ke-88. Beliau dimakamkan sebagai rakyat biasa di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut Jakarta Selatan dengan tata cara Islam.
Semestinya beliau berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata dengan upacara kenegaraan sebagaimana penghargaan yang lazim diberikan kepada para pahlawan. Tetapi, beliau tidak menginginkan itu, sesuai dengan wasiat beliau.