Biografi A.M Thalib - Mantan Tokoh Militer Indonesia dan Tokoh Pengusaha
A.M thalib adalah mantan tokoh militer Indonesia dan tokoh pengusaha yang lahir di Palembang, 23 Februari 1922 – meninggal di Jakarta, 17 Juni 2000 pada umur 78 tahun.
A.M Thalib merupakan salah satu pejuang yang semasa hidupnya pernah menjadi seorang jurnalis atau wartawan dan seorang wirausaha. Beliau bersama-sama rakyat dan pejuang di Sumatra Selatan pernah mengangjat senjata melawan pasukan Belanda yang melakukan agresi militer pada tahun 1948. Selain itu, A.M Thalib secara tegas menolak ajakan Dewan Banteng untuk memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat (Jakarta). A.M Thalib juga aktif di dunia sosial politik di Tanah Air.
Melawan Kelompok Radikal yang Ingin Melepaskan Diri dari Indonesia
Pada tahun 1957, di Sumatra Selatan terjadi pergerakan-pergerakan yang dilakukan oleh beberapa kelompok kecil yang sporadis dengan tujuan disintegrasi bangsa. Oleh karenanya, A.M Thalib beserta Mr Malikuswari Mochtar dapat meyakinkan Letkol Barlian (panglima) dan Mayor Alamsyah yang pada saat itu akan berangkat ke Sungai Dareh Sumatra Barat. Dengan begitu, tentara Sriwijaya/Sumatra Selatan tidak ikut dalam gerakan PRRI.
A.M Thalib bersama dengan delegasi dan tokoh-tokoh Sumatra Selatan, seperti Letkol Barlian selaku Panglina TT II Sriwijaya, Mr M Ali Amin selaku pejabat gubernur Sumatra Selatan, Residen Rozak, Mr Malikuswari Mochtar, dan lain-lain berangkat ke kota Padang. Pertemuan tersebut dilakukan atas ajakan dewan Banteng yang ingin memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat (Jakarta). A.M Thalib beserta rombongan tidak ingin hal itu terjadi karena hanya akan menyengsarakan penduduk Sumatra Selatan secara keseluruhan. Pada saat itu, A.M Thalib berbicara langsung mewakili delegasi dan atas nama rakyat Sumatra Selatan menolak ajakan tersebut. A.M Thalib secara detail dan gamblang tentang kerugian bila rencana Dewan Banteng dilanjutkan. Akhirnya, A.M Thalib bersama rombongannya secara tegas ajakan Dewan Banteng.
Peristiwa Penyerangan Belanda ke Sumatra Selatan Tahun 1949
Pasca Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945, penjajah Indonesia yang dulu pernah menguasai tanah Indonesia kembali datang. Belanda dengan berbagai kekuatan tempurnya melancarkan Agresi militer di beberapa wilayah Indonesia, salah satunya di Sumatra Selatan. Pada saat itu, A.M Thalib menjabat Kepala Penerangan Gubernur Militer Sumatra Selatan dan masih merangkap di Intel. Pada pagi tanggal 29 Desember 1948, informasi datang dari Intel pusat bahwa akan terjadi penyerangan besar-besaran yang dilakukan oleh Belanda. Pasalnya, Belanda sudah melancarkan agresinya di Pulau Jawa. Maka tidak menutup kemungkinan juga akan menyerang wilayah lain di Indonesia. Akhirnya terbukti benar, Belanda menyerang Sumatra Selatan dengan menurunkan pasukan dari angkatan darat dan angkatan udaranya.
Namun sebelum Belanda datang untuk melancarkan agresi di Sumatra Selatan, A.M Thalib beserta jajaran teras militer di Sumatra Selatan telah bersepakat untuk melakukan strategi bumi hangus, yaitu dengan slogan ‘Kita Bakar Sumatra Selatan’. Artinya, semua fasilitas yang bisa digunakan oleh Belanda akan dihancurkan secara total, baik itu gedung-gedung, jalan raya, jembatan, bahkan kebun-kebun juga tidak luput dibumihanguskan. Secara tidak langsung perekonomian yang dikelola oleh kaum kapitalis, juga sebagian dari sisa-sisa juragan Belanda menjadi kolaps dan gulung tikar. Sementara itu, Belanda akhirnya datang dan menyerang Sumatra Selatan dengan membabi buta. Namun, A.M Thalib dengan semua pejuang di sana tetap gigih berjuang melawan penjajah Belanda hingga titik darah penghabisan.
A.M Thalib yang juga menjadi kepala Intel di militer Sumatra Selatan berhasil menguasai radio setempat dan menyiarkan jika di Sumatra Selatan telah terjadi perang besar-besaran antara para pejuang RI dengan agresor Belanda. Saat itu, ibukota Indonesia berada di kota Yogyakarta. Perpindahan tersebut bertujuan untuk menyelamatkan Indonesia dari kehancuran. Hal itu dikarenakan, sebuah negara dapat diakui jika memiliki ibukota negara. Oleh karena itu, pemerintah yang dipimpin oleh Soekarno – Hatta memindahkan ibukota negara dari Jakarta ke Yogyakarta.
Berita tersebut hingga tersiar ke luar negeri, yaitu India. Mengetahui terjadi agresi seperti itu yang dilancarkan Belanda, Perdana Menteri India saat itu, yaitu Jawaharlal Nehru mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mengutuk tindakan agresi militer yang dilancarkan Belanda tersebut. atas desakan Konferensi New Delhi pada tanggal 29 Januari 1949, Dewan Keamanan PB akhirnya mengeluarkan resolusi keras terhadap Belanda yang berisi sebagai berikut:
Karir di Dunia Sosial, Politik, dan Ekonomi Indonesia Pasca Kemerdekaan RI
Setelah mengundurkan diri dari dunia militer, A.M Thalib tidak berhenti untuk berkiprah di Tanah Air. Beliau terus berkarya dan ikut membangun negeri, meskipun dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi. Beberapa kiprahnya yang bisa terangkum di Biografi A.M Thalib, antara lain sebagai berikut.
Karier Militer
Pada tahun 1939 A.M Thalib pernah menjadi Wakil Ketua Pemuda Sumber Karisidenan Pelembang dang anggota Direksi koperasi Setia, yaitu merupakan koperasi terbesar di Palembang. Selanjutnya, pada tahun 1939 – 1942, beliau menjadi Sekretaris Majelis Daerah Partai Parindra, anggota GAPI singkatan dari Gabungan Partai Politik Indonesia, dan menjabar sebagai Wakil Ketua Parindra. Pada tahun 1942 – 1944, A.M Thalib yang saat itu masih aktif di dunia jurnalisme menjabat sebagai redaktur surat kabar Sinar Matahari dan majalah Fajar Menyingsing di Hodohan, Pelambang. Perlu Anda ketahui bahwa pada masa itu dunia jurnalisme sedang gencar-gencarnya di kejar-kejar penjajah Jepang. Pasalnya, hampir semua media cetak yang dimiliki oleh orang pribumi selalu menyuarakan pergerakan nasional dan indonesia Merdeka.
Pada tahun 1944 – 1945, A.M Thalib terpilih sebagai kepala desa 9 Ilir, Pelambang. Beliau juga ikut mendirikan Fonds Kemerdekaan Indonesia, bersama Mattjik agus, H. Tohir, dan Idris Asik. Setelah itu, yaitu tepatnya pada tahun 1945, A.M Thalib diangkat menjadi Kapten TNI dengan jabatan sebagai Kepala Penerangan Tentara Sub Komando Sumetra Selatan (SUB-KOSS). Sementara pada tahun 1947, beliau diangkat menjadi Kepala Seksi Mibilisasi Divisi Garuda Sumatra Selatan. Karir militer A.M Thalib terus merangkak naik. Pasalnya, beliau juga merangkap jabatan sebagao Kepala Staf Umum (Intel Servis) Divisi Garuda SS. (WIkipedia)
A.M Thalib merupakan salah satu pejuang yang semasa hidupnya pernah menjadi seorang jurnalis atau wartawan dan seorang wirausaha. Beliau bersama-sama rakyat dan pejuang di Sumatra Selatan pernah mengangjat senjata melawan pasukan Belanda yang melakukan agresi militer pada tahun 1948. Selain itu, A.M Thalib secara tegas menolak ajakan Dewan Banteng untuk memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat (Jakarta). A.M Thalib juga aktif di dunia sosial politik di Tanah Air.
Melawan Kelompok Radikal yang Ingin Melepaskan Diri dari Indonesia
Pada tahun 1957, di Sumatra Selatan terjadi pergerakan-pergerakan yang dilakukan oleh beberapa kelompok kecil yang sporadis dengan tujuan disintegrasi bangsa. Oleh karenanya, A.M Thalib beserta Mr Malikuswari Mochtar dapat meyakinkan Letkol Barlian (panglima) dan Mayor Alamsyah yang pada saat itu akan berangkat ke Sungai Dareh Sumatra Barat. Dengan begitu, tentara Sriwijaya/Sumatra Selatan tidak ikut dalam gerakan PRRI.
A.M Thalib bersama dengan delegasi dan tokoh-tokoh Sumatra Selatan, seperti Letkol Barlian selaku Panglina TT II Sriwijaya, Mr M Ali Amin selaku pejabat gubernur Sumatra Selatan, Residen Rozak, Mr Malikuswari Mochtar, dan lain-lain berangkat ke kota Padang. Pertemuan tersebut dilakukan atas ajakan dewan Banteng yang ingin memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat (Jakarta). A.M Thalib beserta rombongan tidak ingin hal itu terjadi karena hanya akan menyengsarakan penduduk Sumatra Selatan secara keseluruhan. Pada saat itu, A.M Thalib berbicara langsung mewakili delegasi dan atas nama rakyat Sumatra Selatan menolak ajakan tersebut. A.M Thalib secara detail dan gamblang tentang kerugian bila rencana Dewan Banteng dilanjutkan. Akhirnya, A.M Thalib bersama rombongannya secara tegas ajakan Dewan Banteng.
Peristiwa Penyerangan Belanda ke Sumatra Selatan Tahun 1949
Pasca Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945, penjajah Indonesia yang dulu pernah menguasai tanah Indonesia kembali datang. Belanda dengan berbagai kekuatan tempurnya melancarkan Agresi militer di beberapa wilayah Indonesia, salah satunya di Sumatra Selatan. Pada saat itu, A.M Thalib menjabat Kepala Penerangan Gubernur Militer Sumatra Selatan dan masih merangkap di Intel. Pada pagi tanggal 29 Desember 1948, informasi datang dari Intel pusat bahwa akan terjadi penyerangan besar-besaran yang dilakukan oleh Belanda. Pasalnya, Belanda sudah melancarkan agresinya di Pulau Jawa. Maka tidak menutup kemungkinan juga akan menyerang wilayah lain di Indonesia. Akhirnya terbukti benar, Belanda menyerang Sumatra Selatan dengan menurunkan pasukan dari angkatan darat dan angkatan udaranya.
Namun sebelum Belanda datang untuk melancarkan agresi di Sumatra Selatan, A.M Thalib beserta jajaran teras militer di Sumatra Selatan telah bersepakat untuk melakukan strategi bumi hangus, yaitu dengan slogan ‘Kita Bakar Sumatra Selatan’. Artinya, semua fasilitas yang bisa digunakan oleh Belanda akan dihancurkan secara total, baik itu gedung-gedung, jalan raya, jembatan, bahkan kebun-kebun juga tidak luput dibumihanguskan. Secara tidak langsung perekonomian yang dikelola oleh kaum kapitalis, juga sebagian dari sisa-sisa juragan Belanda menjadi kolaps dan gulung tikar. Sementara itu, Belanda akhirnya datang dan menyerang Sumatra Selatan dengan membabi buta. Namun, A.M Thalib dengan semua pejuang di sana tetap gigih berjuang melawan penjajah Belanda hingga titik darah penghabisan.
A.M Thalib yang juga menjadi kepala Intel di militer Sumatra Selatan berhasil menguasai radio setempat dan menyiarkan jika di Sumatra Selatan telah terjadi perang besar-besaran antara para pejuang RI dengan agresor Belanda. Saat itu, ibukota Indonesia berada di kota Yogyakarta. Perpindahan tersebut bertujuan untuk menyelamatkan Indonesia dari kehancuran. Hal itu dikarenakan, sebuah negara dapat diakui jika memiliki ibukota negara. Oleh karena itu, pemerintah yang dipimpin oleh Soekarno – Hatta memindahkan ibukota negara dari Jakarta ke Yogyakarta.
Berita tersebut hingga tersiar ke luar negeri, yaitu India. Mengetahui terjadi agresi seperti itu yang dilancarkan Belanda, Perdana Menteri India saat itu, yaitu Jawaharlal Nehru mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mengutuk tindakan agresi militer yang dilancarkan Belanda tersebut. atas desakan Konferensi New Delhi pada tanggal 29 Januari 1949, Dewan Keamanan PB akhirnya mengeluarkan resolusi keras terhadap Belanda yang berisi sebagai berikut:
- Pertama, melakukan gencatan senjata di Indonesia.
- Kedua, Belanda harus secepatnya membebaskan para pemimpin RI yang ditangkap.
- Ketiga, pemerintahan di Yogyakarta sebagai ibukota RI saat itu, harus pulih kembali.
- Keempat, mendesak pihak Belanda untuk segera mempersiapkan persidangan Meja Bundar yang bertujuan untuk mengesahkan kedaulatan Indonesia. Sementara itu, selaku jawatan intel SUB-KOSS, pada tahun 1948 A.M Thalib ditugaskan oleh markas besar TNI yang berkedudukan di Yogyakarta melalui Panglima Kolonel Simbolon, untuk mempersatukan kelompok-kelompok laskar pejuang yang bemunculan di berbagai daerah di Sumatra Selatan. Akhirnya beberapa laskar pejuang, seperti Napindo, Pesindo, Hisbullah, dan TKR melebur menjadi TNI.
Karir di Dunia Sosial, Politik, dan Ekonomi Indonesia Pasca Kemerdekaan RI
Setelah mengundurkan diri dari dunia militer, A.M Thalib tidak berhenti untuk berkiprah di Tanah Air. Beliau terus berkarya dan ikut membangun negeri, meskipun dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi. Beberapa kiprahnya yang bisa terangkum di Biografi A.M Thalib, antara lain sebagai berikut.
- Pada tahun 1951, A.M Thalib mendirikan sebuah perusahaan Firma Kebangkan & Co Palembang. Pada saat itu, beliau langsung menjadi direkturnya. Selanjutnya pada tahun 1951 – 1956, beliau menjabat sebagai Ketua Persatuan Pengusaha Pedagang Andalan Selatan (PPPIAS), Wakil Ketua Partai Persatuan Kaum Tani Indonesia, (PKT), serta anggota DPR Kodya Palembang pada Masa Peralihan.
- Memasuki tahun 1955, A.M Thalib masuk menjadi anggota PSI. Sementara pada tahun 1959 menjadi anggota IP-KI. Dalam konferensi IP-KI Sumatra Selatan di tahun 1963, A.M Thalib terpilih menjadi Ketua Umum IP-KI wilayah Sumatra Selatan. Sementara pada tahun 1957 – 1958, beliau masih aktif di gerakan daerah Sumatra Selatan dalam perjuangan pembangunan daerah (otonomi daerah) dan menentang PKI.
- Pada tahun 1967, A.M Thalib menjabat sebagai Ketua Seksi Sosial Politik Corps Sriwijaya sub Komando Jakarta Raya. Selanjutnya pada tahun 1968, mendirikan Indonesia Business Centre (IBC) Provinsi Sumatra Selatan, serta beliau langsung menjadi ketua umumnya. Pada tahun 1969, oleh Departemen Perdagangan RI saat itu, A.M Thalib ditunjuk sebagai Ketua Koordinator sindikat Gula Pasir Seluruh Indonesia. Sementara pada tahun 1971, beliau menjabat Ketua Presidium Konsentrasi Usahawan SOKSI di Jakarta.
- Pada tahun 1971 – 1973, A.M Thalib menjabat menjadi Wakil Koordinator Usahawan Golkar dan Wakil Ketua KADIN Pusat. Saat itu yang menjadi ketua KADIN adalah Mayjen Sofyar yang juga menjabar Direktur Perusahaan Penerbangan Mendala/Seulawah. Selain itu, A.M Thalib menjadi Anggota Paripurna Angkatan 45 Sumatra Selatan. Beliau juga memprakarsai pendirian Yayasan SUB-KOSS Garuda Sriwijaya dan Meseum Perjuangan di lubuk Linggau. Sementara di kepengurusan yayasan, beliau menjabat sebagai Ketua bagian umum, yang pada saat itu yang menjadi ketua umumnya adalah Kol. Purn. Simbolon. A.M Thalib juga menjadi anggota Dewan Penasehat Yayasan pada tanggal 19 Desember 1948 di Yogyakarta. Bahkan, A.M Thalib menjadi anggota.simpatisan PDI Perjuangan dan ikut Kongres di Bali sebagai undangan khusus atau VIP.
Karier Militer
Pada tahun 1939 A.M Thalib pernah menjadi Wakil Ketua Pemuda Sumber Karisidenan Pelembang dang anggota Direksi koperasi Setia, yaitu merupakan koperasi terbesar di Palembang. Selanjutnya, pada tahun 1939 – 1942, beliau menjadi Sekretaris Majelis Daerah Partai Parindra, anggota GAPI singkatan dari Gabungan Partai Politik Indonesia, dan menjabar sebagai Wakil Ketua Parindra. Pada tahun 1942 – 1944, A.M Thalib yang saat itu masih aktif di dunia jurnalisme menjabat sebagai redaktur surat kabar Sinar Matahari dan majalah Fajar Menyingsing di Hodohan, Pelambang. Perlu Anda ketahui bahwa pada masa itu dunia jurnalisme sedang gencar-gencarnya di kejar-kejar penjajah Jepang. Pasalnya, hampir semua media cetak yang dimiliki oleh orang pribumi selalu menyuarakan pergerakan nasional dan indonesia Merdeka.
Pada tahun 1944 – 1945, A.M Thalib terpilih sebagai kepala desa 9 Ilir, Pelambang. Beliau juga ikut mendirikan Fonds Kemerdekaan Indonesia, bersama Mattjik agus, H. Tohir, dan Idris Asik. Setelah itu, yaitu tepatnya pada tahun 1945, A.M Thalib diangkat menjadi Kapten TNI dengan jabatan sebagai Kepala Penerangan Tentara Sub Komando Sumetra Selatan (SUB-KOSS). Sementara pada tahun 1947, beliau diangkat menjadi Kepala Seksi Mibilisasi Divisi Garuda Sumatra Selatan. Karir militer A.M Thalib terus merangkak naik. Pasalnya, beliau juga merangkap jabatan sebagao Kepala Staf Umum (Intel Servis) Divisi Garuda SS. (WIkipedia)