Biografi Aman Dimot - Pejuang Aceh yang Kebal Senjata
Abu Bakar Aman Dimot adalah salah satu pejuan Aceh yang berjuang mempertahankan Kemerdekaan RI di wilayah Aceh Tengah. Beliau digelari dengan sebutan Pang atau Panglima oleh masyarakat Gayo karena keberaniannya yang luar biasa melawan Belanda. Ia begitu dikenal oleh warga Gayo di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues hingga Alas di Kutacane.
Konon dibalik keberanian dan ketangguhan jiwanya, Aman Dimot, juga merupakan sosok yang taak beribadah dan memiliki ilmu kebal (tahan senjata tajam dan peluru). Kelebihan yang dianugerahkan Tuhan ini, kerap membuat musuh yang dihadapinya ciut.
Aman Dimot lahir di Tenamak Kecamatan Linge Isaq tahun 1900. Beliau menyelesaikan pendidikan membaca Al Qur’an di Desa kelahirannya. Sejak kecil dia dididik dengan lingkungan keluarga muslim yang kuat. Aman Dimot tumbuh menjadi anak yang tegar, sabar, dan mandiri. Dia terbiasa menghadapi semua masalah yang ada. Pendidikan, pengalaman dan lingkungannya telah membina Aman Dimot hidup sederhana, beriman teguh, jujur dan memiliki prinsip yang kokoh.
Peran dalam perjuangan kemerdekaan
Ketika berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sampai di Takengon, Aceh Tengah awal September 1945, dengan bersenjatakan pedang Aman Dimot menggabungkan diri ke dalam Laskar Barisan Berani Mati. Kemudian dia bergabung ke dalam Lasykar Mujahidin yang dipimpin oleh Tgk Ilyas Lebe dan Tgk M Saleh Adry.
Pada 25 Mei - 10 Juli 1945, Aman Dimot mengikuti latihan kemiliteran yang diselenggarakan Dewan Perjuangan Rakyat (DPR) di Takengon dipimpin oleh Moede Sedang, dilatih oleh Nataroeddin, Komandan Kompi 16 Tentara Republik Indonesia.
Ketika terjadi agresi meliter Belanda kedua 19 Dessember 1948, Belanda bergerak memperluas serangan dari Medan ke Langkat dan Tanah Karo menuju Aceh. Saat itulah Aman Dimot bersama pejuang lainnya begitu gigih mempertahankan jengkal demi jengkal tanah Republik Indonesia dari rongrongan Kolonial Belanda.
Menyerbu Belanda ke Sumatera Timur
Pada tahun 1947 Aman Dimot bersama pang-pang (panglima) lainnya asal Gayo menyerbu Belanda ke Sumatera Timur.Daerah di Sumatera timur tersebut meliputi Batang Serangan, Langkat yang sudah terlebih dahulu dikuasai oleh pasukan Belanda sehingga pasukan Panglima Abu Bakar Aman Dimot bergabung dengan pasukan pejuang setempat menyerang Batang Serangan dan Rumah Sakit Umum Batang Serangan yang sudah dijadikan markas militer Belanda.
Dalam penyerangan tersebut pasukan pejuang menjadi terdesak karena pasukan musuh yang memiliki senjata berat, sehingga pasukan pejuang mengundurkan diri untuk mengatur strategi.
Namun, apa yang terjadi, Panglima Abu Bakar Aman Dimot beserta dua orang temannya tidak mau mengundurkan diri dan terus maju mendekati markas militer Belanda.
Ketika tengah malam dia hanya dengan menggunakan pedangnya menerobos masuk ke markas militer Belanda sehingga terjadi pertempuran sengit dengan pasukan Belanda di dalam markas tersebut.
Panglima Abu Bakar Aman Dimot dengan kelincahannya dalam bermain pedang sehingga dapat lolos dalam peristiwa tersebut, padahal kedua temannya tewas. Panglima Abu Bakar Aman Dimot hanya mengalami luka-luka ringan. Belanda terpaksa mengosongkan markas tersebut karena serangan yang terus-menerus dilakukan oleh pasukan pejuang.
Tgk Ilyas Leubeu kembali ke Aceh Tengah
Sekembalinya ke Aceh Tengah, Tgk Ilyas Leubeu, kemudian membentuk barisan Bagura (gurilla). Pasukan Aman Dimot ikut bergabung. Di bawah intruksi Divisi Teuku Chik Di Tiro, pejuang Bagura dari Gayo itu diarahkan menuju Tanah Karo pada 1949. Di mana Belanda melancarkan agresi ke II.
Kiprah perjuangan Aman Dimot teruji saat Agresi Militer Belanda tersebut. Dimana Belanda bergerak memperluas serangan dari Medan ke Langkat dan Tanah Karo menuju Aceh.
Pasukan yang dipimpin oleh Tgk Ilyas Lebe dimana Aman Dimot berada bermaksud menghadang laju pasukan Belanda untuk mempertahankan wilayah Sumatra Timur. Mereka dibagi atas empat kelompok yaitu Barisan Berani Mati, Barisan Jibaku, TRI dan Pasukan Berkuda, Masing-masing bertugas sebagai penyerang pertama, penyerang kedua pengepung dan penembak serta pengangkut perbakalan dan amnisme.
Atas perintah Komandan Resimen Devisi Teuku Chik Di Tiro dan dengan persetujuan Gubernur militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, Bagura bergerak menuju Font Tanah Karo pada hari Rabu bulan Mei 1949) melalui rute Takengon-Blangkejeren dan Kutacane sejauh 265 km dengan berjalan kaki. Kecuali Takengon-Waq sejauh 60 km dengan menggunakan truk dilengkapi dengan beberapa pucuk senjata api dan sebagian besar pedang.
Ini merupakan gelombang kelima belas atau terakhir pemberangkatan pejuang dari Aceh Tengah untuk mempertahankan Kemerdekaan RI di luar daerah menjelang pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia.
Tanggal 26 Juli 1949, Bagura menuju tiga binanga dan Kalibata. Tanggal 30 Juli 1949 pukul 08.00 nampak iringan-iringan pasukan tentara Belanda di Raja Merahe, menggunakan 25 truk dan dua buah tank masing-masing didepan dan dibelakang pasukan. Kekuatan personel tentara Belanda diperkirakan 600 orang dengan persenjataan lengkap.
Koordinator Bagura memerintahkan anggota pasukan siap siaga di pematang menanti pasukan Belanda di Tikungan patah Jalan Kutacane-Kabanjahe. Beliau berada dipematang bukit bersemak, dari situ tampak jelas gerakan musuh. Aman Dimot serta beberapa pejuang lainnya, siap siaga dengan senapang dan pedang. Ketika tank Belanda paling depan melintas, Koordinator Bagura memberi komando penyerbuan dengan teriakan diiringi tembakan. Pang Aman Dimot, dan pejuang lainnya dengan cepat melompat menyerang dan naik keatas tank dan truk tentara Belanda. Sementara yang lain menyerang dan membunuh tentara Belanda di truk-truk di belakangnya dan yang sedang melompat dan tiarap di parit jalan.
Pertempuran terjadi hingga siang hari kemudian koordinator Bagura memberi komando agar pasukan mundur, sebab anggota pasukan Bagura semakin lelah dan dari kejauhan nampak pasukan bala bantuan tentara Belanda dengan cepat menuju lokasi pertempuran.
Anggota pasukan lainnya mundur secara teratur, sementara Pang Aman Dimot sendiri terus melawan tentara Belanda, tidak menghiraukan perintah mundur. Koordinator Bagura berteriak memanggil Aman Dimot untuk mundur namun tidak dihiraukannya.
Meninggal dunia
Aman Dimot bertambah lelah dan lemah. Dia kemudian dikepung tentara Belanda. Serdadu Belanda yang mengepungnya kaget karena dia tidak mempan ditembak dan dilukai kelewang pasukan.
Namun Aman Dimot akhirnya berhasil ditangkap kemudian diseret dengan Tank. Lalu dilindas oleh tank tersebut. Namun dia tetap hidup, Tentara Belanda kemudian memasukkan granat dalam mulutnya.
Jasad Aman Dimot berserakan menaburi ibu Pertiwi tepat pukul 12.00.8) Perang berakhir dalam situasi penuh haru dan semangat mempertahankan Bangsa dan Negara. Aman Dimot, Adam (Unig Isaq), Ali (Penam paan) dan Adam (Rema) yang gugur ditengah-tengah gelimpangan mayat tentara Belanda, disemayamkan oleh penduduk di Rajamerahe. Kemudian Haji Sulaiman-yang baru menganut Islam-, memindahkan kerangka Syuhada’ itu ke Tiga binanga. Selanjutnya pemerintah daerah Tingkat II Karo memindahkannya ketaman makam Pahlawan kaban Jahe dalam kelompok Pahlawan tidak dikenal.
20 hari kemudian, Kepala Staf Angkatan Perang Tentara Nasional Indonesia Sektor III/ Sub teritorial VII-Ulung Setepu-, dalam surat pernyataan turut berduka cita menyatakan, bahwa Aman Dimot telah bertempur dengan gagah berani melawan musuh-musuh kita di Rajamerahe (Tanah Karo-Sumatra Timur) dan telah gugur sebagi bunga melati dipangkuan Ibu Pertiwi Indonesia pada tanggal 30 bulan Juli 1949.
Almarhum meniggalkan dua orang isteri : Semidah (Lahir 1910) dan Jani serta 4 anak : Syekh Ahmad Aman (1921), Ali Ahmad Aman Safiah (1924), Aisyah Inen Jura’(Lahir 1927) dan Muhammad Yunus Aman Ir (Lahir November 1948).
Untuk mengabadikan perjuangan pang Aman Dimot dan Pang Ali, Z. Kejoro dan Agussalim bersama teman-teman seperjuangan di kandibata, mengubah sebuah lagu “Pertempuran Sukaramai”, ketika dalam perjalanan kembali dari Front Tanah Karo. Atas pengorbanannya tersebut Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah mengusulkan nama Panglima Aman Dimot diberi gelar Pahlawan Nasional.
Pedang Aman Dimot
Pedang peninggalan Panglima Aman Dimot ada di Pesejuk di Batalion 114 Satria Musara. Pedang Aman Dimot di ambil oleh kelurga Besar pada tahun 2008
Pedang Panglima Aman Dimot pada saat itu di titipkan kepada sahabatnya Imem Lumut, di Kecamatan Linge, pada saat itu Aman dimot menitipkan kepada Imem Lumut, Kabupaten Aceh Tengah di saat keberangkatan terahir tahun 1949, Sumatra Utara Tiga Binanga. Pada saat itu Aman Dimot berkata kepada sahabatnya Imem Lumut, bahwa dirinya (Aman Dimot) tidak Pulang dari medan Perang melawan Belanda maka ku titipkan Pedang ini sebagai tanda bahwa kepergianku demi bangsa dan Tanah Air.
Sumber:
Konon dibalik keberanian dan ketangguhan jiwanya, Aman Dimot, juga merupakan sosok yang taak beribadah dan memiliki ilmu kebal (tahan senjata tajam dan peluru). Kelebihan yang dianugerahkan Tuhan ini, kerap membuat musuh yang dihadapinya ciut.
Aman Dimot lahir di Tenamak Kecamatan Linge Isaq tahun 1900. Beliau menyelesaikan pendidikan membaca Al Qur’an di Desa kelahirannya. Sejak kecil dia dididik dengan lingkungan keluarga muslim yang kuat. Aman Dimot tumbuh menjadi anak yang tegar, sabar, dan mandiri. Dia terbiasa menghadapi semua masalah yang ada. Pendidikan, pengalaman dan lingkungannya telah membina Aman Dimot hidup sederhana, beriman teguh, jujur dan memiliki prinsip yang kokoh.
Peran dalam perjuangan kemerdekaan
Ketika berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sampai di Takengon, Aceh Tengah awal September 1945, dengan bersenjatakan pedang Aman Dimot menggabungkan diri ke dalam Laskar Barisan Berani Mati. Kemudian dia bergabung ke dalam Lasykar Mujahidin yang dipimpin oleh Tgk Ilyas Lebe dan Tgk M Saleh Adry.
Pada 25 Mei - 10 Juli 1945, Aman Dimot mengikuti latihan kemiliteran yang diselenggarakan Dewan Perjuangan Rakyat (DPR) di Takengon dipimpin oleh Moede Sedang, dilatih oleh Nataroeddin, Komandan Kompi 16 Tentara Republik Indonesia.
Ketika terjadi agresi meliter Belanda kedua 19 Dessember 1948, Belanda bergerak memperluas serangan dari Medan ke Langkat dan Tanah Karo menuju Aceh. Saat itulah Aman Dimot bersama pejuang lainnya begitu gigih mempertahankan jengkal demi jengkal tanah Republik Indonesia dari rongrongan Kolonial Belanda.
Menyerbu Belanda ke Sumatera Timur
Pada tahun 1947 Aman Dimot bersama pang-pang (panglima) lainnya asal Gayo menyerbu Belanda ke Sumatera Timur.Daerah di Sumatera timur tersebut meliputi Batang Serangan, Langkat yang sudah terlebih dahulu dikuasai oleh pasukan Belanda sehingga pasukan Panglima Abu Bakar Aman Dimot bergabung dengan pasukan pejuang setempat menyerang Batang Serangan dan Rumah Sakit Umum Batang Serangan yang sudah dijadikan markas militer Belanda.
Dalam penyerangan tersebut pasukan pejuang menjadi terdesak karena pasukan musuh yang memiliki senjata berat, sehingga pasukan pejuang mengundurkan diri untuk mengatur strategi.
Namun, apa yang terjadi, Panglima Abu Bakar Aman Dimot beserta dua orang temannya tidak mau mengundurkan diri dan terus maju mendekati markas militer Belanda.
Ketika tengah malam dia hanya dengan menggunakan pedangnya menerobos masuk ke markas militer Belanda sehingga terjadi pertempuran sengit dengan pasukan Belanda di dalam markas tersebut.
Panglima Abu Bakar Aman Dimot dengan kelincahannya dalam bermain pedang sehingga dapat lolos dalam peristiwa tersebut, padahal kedua temannya tewas. Panglima Abu Bakar Aman Dimot hanya mengalami luka-luka ringan. Belanda terpaksa mengosongkan markas tersebut karena serangan yang terus-menerus dilakukan oleh pasukan pejuang.
Tgk Ilyas Leubeu kembali ke Aceh Tengah
Sekembalinya ke Aceh Tengah, Tgk Ilyas Leubeu, kemudian membentuk barisan Bagura (gurilla). Pasukan Aman Dimot ikut bergabung. Di bawah intruksi Divisi Teuku Chik Di Tiro, pejuang Bagura dari Gayo itu diarahkan menuju Tanah Karo pada 1949. Di mana Belanda melancarkan agresi ke II.
Kiprah perjuangan Aman Dimot teruji saat Agresi Militer Belanda tersebut. Dimana Belanda bergerak memperluas serangan dari Medan ke Langkat dan Tanah Karo menuju Aceh.
Pasukan yang dipimpin oleh Tgk Ilyas Lebe dimana Aman Dimot berada bermaksud menghadang laju pasukan Belanda untuk mempertahankan wilayah Sumatra Timur. Mereka dibagi atas empat kelompok yaitu Barisan Berani Mati, Barisan Jibaku, TRI dan Pasukan Berkuda, Masing-masing bertugas sebagai penyerang pertama, penyerang kedua pengepung dan penembak serta pengangkut perbakalan dan amnisme.
Atas perintah Komandan Resimen Devisi Teuku Chik Di Tiro dan dengan persetujuan Gubernur militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, Bagura bergerak menuju Font Tanah Karo pada hari Rabu bulan Mei 1949) melalui rute Takengon-Blangkejeren dan Kutacane sejauh 265 km dengan berjalan kaki. Kecuali Takengon-Waq sejauh 60 km dengan menggunakan truk dilengkapi dengan beberapa pucuk senjata api dan sebagian besar pedang.
Ini merupakan gelombang kelima belas atau terakhir pemberangkatan pejuang dari Aceh Tengah untuk mempertahankan Kemerdekaan RI di luar daerah menjelang pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia.
Tanggal 26 Juli 1949, Bagura menuju tiga binanga dan Kalibata. Tanggal 30 Juli 1949 pukul 08.00 nampak iringan-iringan pasukan tentara Belanda di Raja Merahe, menggunakan 25 truk dan dua buah tank masing-masing didepan dan dibelakang pasukan. Kekuatan personel tentara Belanda diperkirakan 600 orang dengan persenjataan lengkap.
Koordinator Bagura memerintahkan anggota pasukan siap siaga di pematang menanti pasukan Belanda di Tikungan patah Jalan Kutacane-Kabanjahe. Beliau berada dipematang bukit bersemak, dari situ tampak jelas gerakan musuh. Aman Dimot serta beberapa pejuang lainnya, siap siaga dengan senapang dan pedang. Ketika tank Belanda paling depan melintas, Koordinator Bagura memberi komando penyerbuan dengan teriakan diiringi tembakan. Pang Aman Dimot, dan pejuang lainnya dengan cepat melompat menyerang dan naik keatas tank dan truk tentara Belanda. Sementara yang lain menyerang dan membunuh tentara Belanda di truk-truk di belakangnya dan yang sedang melompat dan tiarap di parit jalan.
Pertempuran terjadi hingga siang hari kemudian koordinator Bagura memberi komando agar pasukan mundur, sebab anggota pasukan Bagura semakin lelah dan dari kejauhan nampak pasukan bala bantuan tentara Belanda dengan cepat menuju lokasi pertempuran.
Anggota pasukan lainnya mundur secara teratur, sementara Pang Aman Dimot sendiri terus melawan tentara Belanda, tidak menghiraukan perintah mundur. Koordinator Bagura berteriak memanggil Aman Dimot untuk mundur namun tidak dihiraukannya.
Meninggal dunia
Aman Dimot bertambah lelah dan lemah. Dia kemudian dikepung tentara Belanda. Serdadu Belanda yang mengepungnya kaget karena dia tidak mempan ditembak dan dilukai kelewang pasukan.
Namun Aman Dimot akhirnya berhasil ditangkap kemudian diseret dengan Tank. Lalu dilindas oleh tank tersebut. Namun dia tetap hidup, Tentara Belanda kemudian memasukkan granat dalam mulutnya.
Jasad Aman Dimot berserakan menaburi ibu Pertiwi tepat pukul 12.00.8) Perang berakhir dalam situasi penuh haru dan semangat mempertahankan Bangsa dan Negara. Aman Dimot, Adam (Unig Isaq), Ali (Penam paan) dan Adam (Rema) yang gugur ditengah-tengah gelimpangan mayat tentara Belanda, disemayamkan oleh penduduk di Rajamerahe. Kemudian Haji Sulaiman-yang baru menganut Islam-, memindahkan kerangka Syuhada’ itu ke Tiga binanga. Selanjutnya pemerintah daerah Tingkat II Karo memindahkannya ketaman makam Pahlawan kaban Jahe dalam kelompok Pahlawan tidak dikenal.
20 hari kemudian, Kepala Staf Angkatan Perang Tentara Nasional Indonesia Sektor III/ Sub teritorial VII-Ulung Setepu-, dalam surat pernyataan turut berduka cita menyatakan, bahwa Aman Dimot telah bertempur dengan gagah berani melawan musuh-musuh kita di Rajamerahe (Tanah Karo-Sumatra Timur) dan telah gugur sebagi bunga melati dipangkuan Ibu Pertiwi Indonesia pada tanggal 30 bulan Juli 1949.
Almarhum meniggalkan dua orang isteri : Semidah (Lahir 1910) dan Jani serta 4 anak : Syekh Ahmad Aman (1921), Ali Ahmad Aman Safiah (1924), Aisyah Inen Jura’(Lahir 1927) dan Muhammad Yunus Aman Ir (Lahir November 1948).
Untuk mengabadikan perjuangan pang Aman Dimot dan Pang Ali, Z. Kejoro dan Agussalim bersama teman-teman seperjuangan di kandibata, mengubah sebuah lagu “Pertempuran Sukaramai”, ketika dalam perjalanan kembali dari Front Tanah Karo. Atas pengorbanannya tersebut Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah mengusulkan nama Panglima Aman Dimot diberi gelar Pahlawan Nasional.
Pedang Aman Dimot
Pedang Aman Dimot , diperlihatkan oleh Siti Ramlah anak dari Seh Ahmad, Anak Kandung dari Panglima Aman Dimot |
Pedang Panglima Aman Dimot pada saat itu di titipkan kepada sahabatnya Imem Lumut, di Kecamatan Linge, pada saat itu Aman dimot menitipkan kepada Imem Lumut, Kabupaten Aceh Tengah di saat keberangkatan terahir tahun 1949, Sumatra Utara Tiga Binanga. Pada saat itu Aman Dimot berkata kepada sahabatnya Imem Lumut, bahwa dirinya (Aman Dimot) tidak Pulang dari medan Perang melawan Belanda maka ku titipkan Pedang ini sebagai tanda bahwa kepergianku demi bangsa dan Tanah Air.
Sumber:
- love gayo
- http://aman-dimod.blogspot.co.id/