Biografi Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim
Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim adalah pahlawan nasional Indonesia dan menteri negara dalam kabinet pertama Indonesia yang lahir di Jombang, Jawa Timur, 1 Juni 1914 (Jumat Legi, 5 Rabi’ul Awal 1333 Hijriyah). Ia adalah ayah dari presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid dan anak dari Hasyim Asy'arie, salah satu pahlawan nasional Indonesia.
Pada tahun 1939, NU menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia), sebuah badan federasi partai dan ormas Islam di zaman pendudukan Belanda. Saat pendudukan Jepang yaitu tepatnya pada tanggal 24 Oktober 1943 beliau ditunjuk menjadi Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) menggantikan MIAI. Selaku pemimpin Masyumi beliau merintis pembentukan Barisan Hizbullah yang membantu perjuangan umat Islam mewujudkan kemerdekaan. Selain terlibat dalam gerakan politik, tahun 1944 beliau mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang pengasuhannya ditangani oleh KH. A. Kahar Muzakkir. Menjelang kemerdekaan tahun 1945 ia menjadi anggota BPUPKI dan PPKI.
Pada usia relatif muda Wahid telah mengawali kiprah kemasyarakatannya. Setelah menimba ilmu agama ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Mekah, pada usia 21 tahun Wahid membuat “gebrakan” baru dalam dunia pendidikan pada zamannya. Dengan semangat memajukan pesantren, Wahid memadukan pola pengajaran pesantren yang menitikberatkan pada ajaran agama dengan pelajaran ilmu umum.Sistem klasikal diubah menjadi sistem tutorial. Selain pelajaran Bahasa Arab, murid juga diajari Bahasa Inggris dan Belanda. Itulah madrasah nidzamiyah.
Butuh waktu beberapa tahun bagi Wahid Hasjim untuk menimbang berbagai hal sebelum akhirnya memutuskan aktif di NU, meskipun ayahandanya, hadratush syaikh Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama. Pada usia 25 tahun Wahid bergabung dengan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), federasi organisasi massa dan partai Islam saat itu. Setahun kemudian Wahid menjadi ketua MIAI.
Berikut ini beberapa hal yang menjadikan Karier politiknya terus menanjak dengan cepat:
Ketua PBNU.
Wahid Hasyim dengan segudang pemikiran tentang agama, negara, pendidikan, politik, kemasyarakatan, NU, dan pesantren, telah menjadi lapisan sejarah ke-Islaman dan ke-Indonesiaan yang tidak dapat tergantikan oleh siapapun. Wahid Hasjim adalah salah satu putra bangsa yang turut mengukir sejarah negeri ini pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia.
Wahid Hasjim meninggal dunia pada umur 38 tahun dalam sebuah kecelakaan mobil di Kota Cimahi tanggal 19 April 1953. Wahid Hasjim diangkat menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada 24 Agustus 1964 atas Keppres No. 206 Tahun 1964. Jenazahnya dimakamkan di Tebuireng, Jombang.
Pada tahun 1939, NU menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia), sebuah badan federasi partai dan ormas Islam di zaman pendudukan Belanda. Saat pendudukan Jepang yaitu tepatnya pada tanggal 24 Oktober 1943 beliau ditunjuk menjadi Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) menggantikan MIAI. Selaku pemimpin Masyumi beliau merintis pembentukan Barisan Hizbullah yang membantu perjuangan umat Islam mewujudkan kemerdekaan. Selain terlibat dalam gerakan politik, tahun 1944 beliau mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang pengasuhannya ditangani oleh KH. A. Kahar Muzakkir. Menjelang kemerdekaan tahun 1945 ia menjadi anggota BPUPKI dan PPKI.
Pada usia relatif muda Wahid telah mengawali kiprah kemasyarakatannya. Setelah menimba ilmu agama ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Mekah, pada usia 21 tahun Wahid membuat “gebrakan” baru dalam dunia pendidikan pada zamannya. Dengan semangat memajukan pesantren, Wahid memadukan pola pengajaran pesantren yang menitikberatkan pada ajaran agama dengan pelajaran ilmu umum.Sistem klasikal diubah menjadi sistem tutorial. Selain pelajaran Bahasa Arab, murid juga diajari Bahasa Inggris dan Belanda. Itulah madrasah nidzamiyah.
Butuh waktu beberapa tahun bagi Wahid Hasjim untuk menimbang berbagai hal sebelum akhirnya memutuskan aktif di NU, meskipun ayahandanya, hadratush syaikh Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama. Pada usia 25 tahun Wahid bergabung dengan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), federasi organisasi massa dan partai Islam saat itu. Setahun kemudian Wahid menjadi ketua MIAI.
Berikut ini beberapa hal yang menjadikan Karier politiknya terus menanjak dengan cepat:
Ketua PBNU.
- Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
- Anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
- Menteri Agama pada tiga kabinet (Hatta, Natsir, dan Sukiman).
- Selain itu banyak pula kontribusi penting yang diberikan Wahid bagi agama dan bangsa.
Wahid Hasyim dengan segudang pemikiran tentang agama, negara, pendidikan, politik, kemasyarakatan, NU, dan pesantren, telah menjadi lapisan sejarah ke-Islaman dan ke-Indonesiaan yang tidak dapat tergantikan oleh siapapun. Wahid Hasjim adalah salah satu putra bangsa yang turut mengukir sejarah negeri ini pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia.
Wahid Hasjim meninggal dunia pada umur 38 tahun dalam sebuah kecelakaan mobil di Kota Cimahi tanggal 19 April 1953. Wahid Hasjim diangkat menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada 24 Agustus 1964 atas Keppres No. 206 Tahun 1964. Jenazahnya dimakamkan di Tebuireng, Jombang.
(Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)