Biografi TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid - Pahlawan NAsional, Pendiri Nahdlatul Wathan
Mawlānāsysyāikh Tuan Guru Kyai Hajjī Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd (sing. Hamzanwadi) adalah seorang ulama karismatis dari Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat dan merupakan pendiri Nahdlatul Wathan, organisasi massa Islām terbesar di provinsi tersebut. Di pulau Lombok, Tuan Guru merupakan gelar bagi para pemimpin agama yang bertugas untuk membina, membimbing dan mengayomi umat Islām dalam hal-hal keagamaan dan sosial kemasyarakatan, yang di Jawa identik dengan Kyai.
Kelahiran
Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd' dilahirkan di Kampung Bermi, Pancor, Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat pada tanggal 17 Rabiul Awwal 1316 Hijriah bertepatan dengan tanggal 5 Agustus 1898 Masehi dari perkawinan Tuan Guru Hajjī Abdul Madjīd (beliau lebih akrab dipanggil dengan sebutan Guru Mu'minah atau Guru Minah) dengan seorang wanita shālihah bernama Hajjah Halīmah al-Sa'dīyyah.
Nama kecil beliau adalah 'Muhammād Saggāf', nama ini dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa yang sangat menarik untuk dicermati, yakni tiga hari sebelum dilahirkan, ayahandanya, TGH. Abdul Madjīd, didatangi dua walīyullāh, masing-masing dari Hadhramaũt dan Maghrabī. Kedua walīyullāh itu secara kebetulan mempunyai nama yang sama, yakni "Saqqāf". Beliau berdua berpesan kepada TGH. Abdul Madjīd supaya anaknya yang akan lahir itu diberi nama "Saqqāf", yang artinya "Atapnya para Wali pada zamannya". Kata "Saqqāf" di Indonesiakan menjadi "Saggāf" dan untuk dialek bahasa Sasak menjadi "Segep". Itulah sebabnya beliau sering dipanggil dengan "Gep" oleh ibu beliau, Hajjah Halīmah al-Sa'dīyyah.
Setelah menunaikan ibadah hajjī, nama kecil beliau tersebut diganti dengan 'Hajjī Muhammād Zainuddīn'. Nama inipun diberikan oleh ayah beliau sendiri yang diambil dari nama seorang 'ulamā' besar yang mengajar di Masjīd al-Harām. Akhlāq dan kepribadian ulamā' besar itu sangat menarik hati ayahandanya. Nama ulamā' besar itu adalah Syaīkh Muhammād Zainuddīn Serawak, dari Serawak, Malaysia.
Silsilah
Menurut sejumlah kalangan bahwa asal usulnya dari keturunan orang-orang terpandang, yakni dan keturunan sulthān-sulthān Selaparang, sebuah kerajaan Islām yang pernah berkuasa di Pulau Lombok. Disebutkan bahwa Tuan Guru Kyai Hajjī Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd merupakan keturunan Kerajaan Selaparang yang ke-17.
Pendapat ini tentu saja paralel dengan analisis yang diajukan oleh seorang antropolog berkebangsaan Swedia bernama Sven Cederroth, yang merujuk pada kegiatan ziarah yang dilakukan Tuan Guru Kyai Hajjī Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd ke makam Selaparang pada tahun 1971, sebelum berlangsungnya kegiatan pemilihan umum (Pemilu). Praktik ziarāh semacam ini memang bisa dilakukan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya, termasuk masyarakat Sasak, untuk mengidentifikasikan diri dengan leluhurnya. Disamping itu pula, Tuan Guru Kyai Hajjī Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd tidak pernah secara terbuka menyatakan penolakannya terhadap anggapan dan pernyataan-pernyataan yang selama ini beredar tentang silsilah keturunannya, yakni kaitan genetiknya dengan sulthān-sulthān Kerajaan Selaparang.
Keluarga
Maulānāsysyāikh TGKH. Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Kakak kandungnya lima orang, yakni Siti Syarbini, Siti Cilah, Hajjah Sawdah, Hajji Muhammād Shabūr dan Hajjah Masyitah.
Ayahandanya TGH. Abdul Madjīd yang terkenal dengan penggilan "Guru Mu'minah", semasa mudanya bernama Luqmānul Hakīm merupakan seorang muballigh dan terkenal pemberani. Beliau pernah memimpin pertempuran melawan kaum penjajah, sedangkan ibu Maulānāsysyāikh, Hajjah Halīmah al-Sa'dīyyah terkenal sangat shãlihah. Luqmānul Hakīm membawa Maulānāsysyāikh ke Mekkah untuk menimba ilmu agama ketika beliau berusia 9 tahun.
Pendidikan
Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd menuntut ilmu pengetahuan berawal dari pendidikan dalam keluarga, yakni dengan belajar mengaji (membaca Al-Qur'ān) dan berbagai 'ilmu agama lainnya, yang diajarkan langsung oleh ayahandanya, yang dimulai sejak berusia 5 tahun.
Pendidikan Lokal
Setelah berusia 9 tahun, ia memasuki pendidikan formal yang disebut Sekolah Rakyat Negara, hingga tahun 1919 M. Setelah menamatkan pendidikan formalnya, beliau kemudian diserahkan oleh ayahandanya untuk menuntut 'ilmu agama yang lebih luas dari beberapa Tuan Guru lokal, antara lain TGH. Syarafuddīn dan TGH. Muhammād Sa'īd dari Pancor serta Tuan Guru 'Abdullāh bin Amaq Dulajī dari desa Kelayu, Lombok Timur. Ketiga guru agama ini mengajarkan ilmu agama dengan sistem halaqah, yaitu para santri duduk bersila di atas tikar dan mendengarkan guru membaca Kitāb yang sedang dipelajari, kemudian masing-masing murid secara bergantian membaca.
Pendidikan di Mekah
Untuk lebih memperdalam 'ilmu agama, Muhammād Zainuddīn remaja kembali berangkat menuntut 'ilmu ke Mekah diantar kedua orang tuanya, tiga orang kemenakan dan beberapa orang keluarga, termasuk pula TGH. Syarafuddīn. Pada saat itu beliau berusia 15 tahun, yaitu menjelang musim Haji tahun 1341 H/1923 M. Sesampai di Tanah Suci, TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid langsung mencari rumah kontrakan di Suqullail, Mekah.
Belajar di Masjid al-Haram
Beberapa saat setelah musim haji usai, TGH. Abd. Madjid mulai mencarikan guru buat anaknya. Sampailah pencarian TGH. Abd. Madjid pada sebuah halaqah. Syaikh yang mengajar ditempat tersebut bernama Syaīkh Marzūqī, seorang keturunan 'Arāb kelahiran Palembang yang sudah lama mengajar mengaji di Masjīd al-Harām, yang saat itu berusia sekitar 50 tahun. Disanalah Maulānāsysyāikh TGKH. Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd diserahkan untuk belajar.
Selain itu juga sempat belajar 'ilmu sastra pada ahli syair terkenal di Mekah, yakni Syaīkh Muhammād Āmīn al-Quthbī dan pada saat itu berkenalan dengan Sayyīd Muhsin Al-Palembanī, seorang keturunan 'Arāb kelahiran Palembang yang kemudian menjadi guru beliau di Madrasah al-Shaulatiyah.
Ketika ayah TGKH. Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd pulang ke Lombok, ia langsung berhenti belajar mengaji pada Syaīkh Marzūqī, karena ia merasa tidak banyak mengalami perkembangan yang berarti dalam menuntut 'ilmu selama ini, hal itu dikarenakan kehausan beliau akan ilmu. Namun, sebelum sempat mencari guru, terjadi perang saudara antara kekuasaan dengan golongan Wahabi.
Belajar di Madrasah al-Shaulatiyah
Dua tahun setelah terjadinya huru hara tersebut, TGKH. Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd muda berkenalan dengan seseorang yang bernama Hajji Mawardī dari Jakarta. Dari perkenalannya itu ia diajak untuk belajar di madrasah al-Shaulatiyah, yang saat itu dipimpin oleh Syaīkh Salīm Rahmatullāh. Pada hari pertama masuknya ia bertemu dengan Syaīkh Hasan Muhammād al-Masysyāth.
Madrasah al-Shaulatiyah adalah madrasah pertama sebagai permulaan sejarah baru dalam pendidikan di Arab Saudi. Madrasah ini sangat legendaris, gaungnya telah menggema di seluruh dunia dan telah menghasilkan banyak ulama-ulama besar dunia.
Muhammad Zainuddin berhasil menyelesaikan studi dalam waktu hanya 6 tahun, padahal normalnya adalah 9 tahun. Dari kelas 2, diloncatkan ke kelas 4, kemubeliaun loncat kelas lagi dari kelas 4 ke kelas 6, kemubeliaun pada tahun-tahun berikutnya naik kelas 7, 8 dan 9.
Perjuangan
TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid belajar di Tanah Suci Mekah selama 13 tahun kemubeliaun kembali ke Indonesia atas perintah dari guru yang paling beliau kagumi, yakni Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath, pada tahun 1934. Setiba di Pulau Lombok beliau mendirikan Sekembali dari Tanah Suci Mekah ke Indonesia mula-mula beliau mendirikan pesantren al-Mujahidin pada tahun 1934 M. kemubeliaun pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H/22 Agustus 1937 M. beliau mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI). Madrasah ini khusus untuk mendidik kaum pria. Kemubeliaun pada tanggal 15 Rabiul Akhir 1362 H/21 April 1943 M. beliau mendirikan madrasah Nahdlatul Banat Diniah Islamiyah (NBDI) khusus untuk kaum wanita. Kedua madrasah ini merupakan madrasah pertama di Pulau Lombok yang terus berkembang dan merupakan cikal bakal dari semua madrasah yang bernaung di bawah organisasi Nahdlatul Wathan. Dan secara khusus nama madrasah tersebut beliaubadikan menjadi nama pondok pesantren 'Dar al-Nahdlatain Nahdlatul Wathan'. Istilah 'Nahdlatain' beliaumbil dari kedua madrasah tersebut.
Al Mukkarram Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid sebagai ulama' pemimpin umat, dalam kehidupan bermasyarakt dan berbangsa telah mengemban berbagai jabatan dan menanamkan berbagai jasa pengabdian.
Oleh karena jasa-jasa beliau itulah, maka pada tahun 1995 belau beliaunugerahi Piagam Penghargaan dan medali Pejuang Pembangunan oleh pemerintah. Disamping itu, al-Mukarram Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid selaku seorang mujahid selalu berupaya mengadakan inovasi dalam gerakan perjuangannya untuk meningkatkan kesejahteraan ummat demi kebahagian di dunia maupun di akhirat.
Di antara inovasi/rintisa-rintisan beliau adalah menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran agama Islam di NTB dengan sistem madrasi, membuka lembaga pendidikan khusus untuk wanita, mengadakan ziarah umum Idul Fitri dan Idul Adha dengan mendatangai jamaah di samping didatangi, meyelenggarakan pengajian umum secara bebas, mengadakan gerakan doa dengan berhizib, mengadakan syafa'at al-kubro, menciptakan tariqat, yakni tariqat Hizib Nahdlatul Wathan, membuka sekolah umum disamping sekolah agama (madrasah), menyusun nazam berbahasa Arab bercampur bahasa Indonesia, dan lain-alin.
Karya
Al-Mukarram Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid selaku ulama' pewaris para Nabi, di samping menyampaikn dakwah bi al-hal wa bi al-lisan, juga tergolong penulis dan pengarang yang produktif. Bakat dan kemampuan beliau sebagai pengarang ini tumbuh dan berkembang sejak beliau masih belajar di Madrasah Shaulatiyah Mekah. Namun karena banyaknya dan padatnya kegiatan keagamaan dan keasyarakatan yang harus diisi maka peluang dan kesempatan untuk memperbanyak tulisan tampaknya sangat terbatas. Kendatipun demikian di tengah-tengah keterbatasan waktu itu, beliau masih sempat mengarang beberapa kitab, kumpulan doa, dan lagu-lagu perjuangan dalam bahasa Arab, Indonesia dan Sasak.
Wafat
Tarikh akhir 1997 menjadi masa kelabu Nusa Tenggara Barat. Betapa tidak, hari Selasa, 21 Oktober 1997 M / 18 Jumadil Akhir 1418 H dalam usia 99 tahun menurut kalender Masehi, atau usia 102 tahun menurut Hijriah. Sang ulama karismatis, Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, berpulang ke rahmatullah sekitar pukul 19.53 WITA di kebeliauman beliau di desa Pancor, Lombok Timur. Tiga warisan besar beliau tinggalkan: ribuan ulama, puluhan ribu santri, dan sekitar seribu lebih kelembagaan Nahdlatul Wathan yang tersebar di seluruh Indonesia dan mancanegara.
Pada hari Kamis, 9 November 2017 bertempat di Istana Negara, beliau dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 115/TK/Tahun 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional. Empat tokoh yang dianugerahi Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo yakni almarhum Tuan Guru Kiai Haji (TKGH) Muhammad Zainuddin Madjid asal Lombok Nusa Tenggara Barat, almarhumah Laksamana Malahayati asal Aceh, almarhum Sultan Mahmud Riayat Syah asal Kepulauan Riau, dan almarhum Prof. Drs. Lafran Pane asal Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kelahiran
Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd' dilahirkan di Kampung Bermi, Pancor, Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat pada tanggal 17 Rabiul Awwal 1316 Hijriah bertepatan dengan tanggal 5 Agustus 1898 Masehi dari perkawinan Tuan Guru Hajjī Abdul Madjīd (beliau lebih akrab dipanggil dengan sebutan Guru Mu'minah atau Guru Minah) dengan seorang wanita shālihah bernama Hajjah Halīmah al-Sa'dīyyah.
Nama kecil beliau adalah 'Muhammād Saggāf', nama ini dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa yang sangat menarik untuk dicermati, yakni tiga hari sebelum dilahirkan, ayahandanya, TGH. Abdul Madjīd, didatangi dua walīyullāh, masing-masing dari Hadhramaũt dan Maghrabī. Kedua walīyullāh itu secara kebetulan mempunyai nama yang sama, yakni "Saqqāf". Beliau berdua berpesan kepada TGH. Abdul Madjīd supaya anaknya yang akan lahir itu diberi nama "Saqqāf", yang artinya "Atapnya para Wali pada zamannya". Kata "Saqqāf" di Indonesiakan menjadi "Saggāf" dan untuk dialek bahasa Sasak menjadi "Segep". Itulah sebabnya beliau sering dipanggil dengan "Gep" oleh ibu beliau, Hajjah Halīmah al-Sa'dīyyah.
Setelah menunaikan ibadah hajjī, nama kecil beliau tersebut diganti dengan 'Hajjī Muhammād Zainuddīn'. Nama inipun diberikan oleh ayah beliau sendiri yang diambil dari nama seorang 'ulamā' besar yang mengajar di Masjīd al-Harām. Akhlāq dan kepribadian ulamā' besar itu sangat menarik hati ayahandanya. Nama ulamā' besar itu adalah Syaīkh Muhammād Zainuddīn Serawak, dari Serawak, Malaysia.
Silsilah
Menurut sejumlah kalangan bahwa asal usulnya dari keturunan orang-orang terpandang, yakni dan keturunan sulthān-sulthān Selaparang, sebuah kerajaan Islām yang pernah berkuasa di Pulau Lombok. Disebutkan bahwa Tuan Guru Kyai Hajjī Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd merupakan keturunan Kerajaan Selaparang yang ke-17.
Pendapat ini tentu saja paralel dengan analisis yang diajukan oleh seorang antropolog berkebangsaan Swedia bernama Sven Cederroth, yang merujuk pada kegiatan ziarah yang dilakukan Tuan Guru Kyai Hajjī Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd ke makam Selaparang pada tahun 1971, sebelum berlangsungnya kegiatan pemilihan umum (Pemilu). Praktik ziarāh semacam ini memang bisa dilakukan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya, termasuk masyarakat Sasak, untuk mengidentifikasikan diri dengan leluhurnya. Disamping itu pula, Tuan Guru Kyai Hajjī Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd tidak pernah secara terbuka menyatakan penolakannya terhadap anggapan dan pernyataan-pernyataan yang selama ini beredar tentang silsilah keturunannya, yakni kaitan genetiknya dengan sulthān-sulthān Kerajaan Selaparang.
Keluarga
Maulānāsysyāikh TGKH. Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Kakak kandungnya lima orang, yakni Siti Syarbini, Siti Cilah, Hajjah Sawdah, Hajji Muhammād Shabūr dan Hajjah Masyitah.
Ayahandanya TGH. Abdul Madjīd yang terkenal dengan penggilan "Guru Mu'minah", semasa mudanya bernama Luqmānul Hakīm merupakan seorang muballigh dan terkenal pemberani. Beliau pernah memimpin pertempuran melawan kaum penjajah, sedangkan ibu Maulānāsysyāikh, Hajjah Halīmah al-Sa'dīyyah terkenal sangat shãlihah. Luqmānul Hakīm membawa Maulānāsysyāikh ke Mekkah untuk menimba ilmu agama ketika beliau berusia 9 tahun.
Pendidikan
Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd menuntut ilmu pengetahuan berawal dari pendidikan dalam keluarga, yakni dengan belajar mengaji (membaca Al-Qur'ān) dan berbagai 'ilmu agama lainnya, yang diajarkan langsung oleh ayahandanya, yang dimulai sejak berusia 5 tahun.
Pendidikan Lokal
Setelah berusia 9 tahun, ia memasuki pendidikan formal yang disebut Sekolah Rakyat Negara, hingga tahun 1919 M. Setelah menamatkan pendidikan formalnya, beliau kemudian diserahkan oleh ayahandanya untuk menuntut 'ilmu agama yang lebih luas dari beberapa Tuan Guru lokal, antara lain TGH. Syarafuddīn dan TGH. Muhammād Sa'īd dari Pancor serta Tuan Guru 'Abdullāh bin Amaq Dulajī dari desa Kelayu, Lombok Timur. Ketiga guru agama ini mengajarkan ilmu agama dengan sistem halaqah, yaitu para santri duduk bersila di atas tikar dan mendengarkan guru membaca Kitāb yang sedang dipelajari, kemudian masing-masing murid secara bergantian membaca.
Pendidikan di Mekah
Untuk lebih memperdalam 'ilmu agama, Muhammād Zainuddīn remaja kembali berangkat menuntut 'ilmu ke Mekah diantar kedua orang tuanya, tiga orang kemenakan dan beberapa orang keluarga, termasuk pula TGH. Syarafuddīn. Pada saat itu beliau berusia 15 tahun, yaitu menjelang musim Haji tahun 1341 H/1923 M. Sesampai di Tanah Suci, TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid langsung mencari rumah kontrakan di Suqullail, Mekah.
Belajar di Masjid al-Haram
Beberapa saat setelah musim haji usai, TGH. Abd. Madjid mulai mencarikan guru buat anaknya. Sampailah pencarian TGH. Abd. Madjid pada sebuah halaqah. Syaikh yang mengajar ditempat tersebut bernama Syaīkh Marzūqī, seorang keturunan 'Arāb kelahiran Palembang yang sudah lama mengajar mengaji di Masjīd al-Harām, yang saat itu berusia sekitar 50 tahun. Disanalah Maulānāsysyāikh TGKH. Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd diserahkan untuk belajar.
Selain itu juga sempat belajar 'ilmu sastra pada ahli syair terkenal di Mekah, yakni Syaīkh Muhammād Āmīn al-Quthbī dan pada saat itu berkenalan dengan Sayyīd Muhsin Al-Palembanī, seorang keturunan 'Arāb kelahiran Palembang yang kemudian menjadi guru beliau di Madrasah al-Shaulatiyah.
Ketika ayah TGKH. Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd pulang ke Lombok, ia langsung berhenti belajar mengaji pada Syaīkh Marzūqī, karena ia merasa tidak banyak mengalami perkembangan yang berarti dalam menuntut 'ilmu selama ini, hal itu dikarenakan kehausan beliau akan ilmu. Namun, sebelum sempat mencari guru, terjadi perang saudara antara kekuasaan dengan golongan Wahabi.
Belajar di Madrasah al-Shaulatiyah
Dua tahun setelah terjadinya huru hara tersebut, TGKH. Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd muda berkenalan dengan seseorang yang bernama Hajji Mawardī dari Jakarta. Dari perkenalannya itu ia diajak untuk belajar di madrasah al-Shaulatiyah, yang saat itu dipimpin oleh Syaīkh Salīm Rahmatullāh. Pada hari pertama masuknya ia bertemu dengan Syaīkh Hasan Muhammād al-Masysyāth.
Madrasah al-Shaulatiyah adalah madrasah pertama sebagai permulaan sejarah baru dalam pendidikan di Arab Saudi. Madrasah ini sangat legendaris, gaungnya telah menggema di seluruh dunia dan telah menghasilkan banyak ulama-ulama besar dunia.
Muhammad Zainuddin berhasil menyelesaikan studi dalam waktu hanya 6 tahun, padahal normalnya adalah 9 tahun. Dari kelas 2, diloncatkan ke kelas 4, kemubeliaun loncat kelas lagi dari kelas 4 ke kelas 6, kemubeliaun pada tahun-tahun berikutnya naik kelas 7, 8 dan 9.
Perjuangan
TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid belajar di Tanah Suci Mekah selama 13 tahun kemubeliaun kembali ke Indonesia atas perintah dari guru yang paling beliau kagumi, yakni Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath, pada tahun 1934. Setiba di Pulau Lombok beliau mendirikan Sekembali dari Tanah Suci Mekah ke Indonesia mula-mula beliau mendirikan pesantren al-Mujahidin pada tahun 1934 M. kemubeliaun pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H/22 Agustus 1937 M. beliau mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI). Madrasah ini khusus untuk mendidik kaum pria. Kemubeliaun pada tanggal 15 Rabiul Akhir 1362 H/21 April 1943 M. beliau mendirikan madrasah Nahdlatul Banat Diniah Islamiyah (NBDI) khusus untuk kaum wanita. Kedua madrasah ini merupakan madrasah pertama di Pulau Lombok yang terus berkembang dan merupakan cikal bakal dari semua madrasah yang bernaung di bawah organisasi Nahdlatul Wathan. Dan secara khusus nama madrasah tersebut beliaubadikan menjadi nama pondok pesantren 'Dar al-Nahdlatain Nahdlatul Wathan'. Istilah 'Nahdlatain' beliaumbil dari kedua madrasah tersebut.
Al Mukkarram Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid sebagai ulama' pemimpin umat, dalam kehidupan bermasyarakt dan berbangsa telah mengemban berbagai jabatan dan menanamkan berbagai jasa pengabdian.
Oleh karena jasa-jasa beliau itulah, maka pada tahun 1995 belau beliaunugerahi Piagam Penghargaan dan medali Pejuang Pembangunan oleh pemerintah. Disamping itu, al-Mukarram Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid selaku seorang mujahid selalu berupaya mengadakan inovasi dalam gerakan perjuangannya untuk meningkatkan kesejahteraan ummat demi kebahagian di dunia maupun di akhirat.
Di antara inovasi/rintisa-rintisan beliau adalah menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran agama Islam di NTB dengan sistem madrasi, membuka lembaga pendidikan khusus untuk wanita, mengadakan ziarah umum Idul Fitri dan Idul Adha dengan mendatangai jamaah di samping didatangi, meyelenggarakan pengajian umum secara bebas, mengadakan gerakan doa dengan berhizib, mengadakan syafa'at al-kubro, menciptakan tariqat, yakni tariqat Hizib Nahdlatul Wathan, membuka sekolah umum disamping sekolah agama (madrasah), menyusun nazam berbahasa Arab bercampur bahasa Indonesia, dan lain-alin.
Karya
Al-Mukarram Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid selaku ulama' pewaris para Nabi, di samping menyampaikn dakwah bi al-hal wa bi al-lisan, juga tergolong penulis dan pengarang yang produktif. Bakat dan kemampuan beliau sebagai pengarang ini tumbuh dan berkembang sejak beliau masih belajar di Madrasah Shaulatiyah Mekah. Namun karena banyaknya dan padatnya kegiatan keagamaan dan keasyarakatan yang harus diisi maka peluang dan kesempatan untuk memperbanyak tulisan tampaknya sangat terbatas. Kendatipun demikian di tengah-tengah keterbatasan waktu itu, beliau masih sempat mengarang beberapa kitab, kumpulan doa, dan lagu-lagu perjuangan dalam bahasa Arab, Indonesia dan Sasak.
Wafat
Tarikh akhir 1997 menjadi masa kelabu Nusa Tenggara Barat. Betapa tidak, hari Selasa, 21 Oktober 1997 M / 18 Jumadil Akhir 1418 H dalam usia 99 tahun menurut kalender Masehi, atau usia 102 tahun menurut Hijriah. Sang ulama karismatis, Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, berpulang ke rahmatullah sekitar pukul 19.53 WITA di kebeliauman beliau di desa Pancor, Lombok Timur. Tiga warisan besar beliau tinggalkan: ribuan ulama, puluhan ribu santri, dan sekitar seribu lebih kelembagaan Nahdlatul Wathan yang tersebar di seluruh Indonesia dan mancanegara.
Pada hari Kamis, 9 November 2017 bertempat di Istana Negara, beliau dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 115/TK/Tahun 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional. Empat tokoh yang dianugerahi Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo yakni almarhum Tuan Guru Kiai Haji (TKGH) Muhammad Zainuddin Madjid asal Lombok Nusa Tenggara Barat, almarhumah Laksamana Malahayati asal Aceh, almarhum Sultan Mahmud Riayat Syah asal Kepulauan Riau, dan almarhum Prof. Drs. Lafran Pane asal Daerah Istimewa Yogyakarta.