Biodata Singkat Pahlawan Pejuang Bangka Belitung

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (disingkat Babel) adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terdiri dari dua pulau utama yaitu Pulau Bangka dan Pulau Belitung serta pulau-pulau kecil seperti P. Lepar, P. Pongok, P. Mendanau dan P. Selat Nasik, total pulau yang telah bernama berjumlah 470 buah dan yang berpenghuni hanya 50 pulau. Bangka Belitung terletak di bagian timur Pulau Sumatera, dekat dengan Provinsi Sumatera Selatan. Bangka Belitung dikenal sebagai daerah penghasil timah, memiliki pantai yang indah dan kerukunan antar etnis. Ibu kota provinsi ini ialah Pangkalpinang. Pemerintahan provinsi ini disahkan pada tanggal 9 Februari 2001. Setelah dilantiknya Pj. Gubernur yakni H. Amur Muchasim, SH (mantan Sekjen Depdagri) yang menandai dimulainya aktivitas roda pemerintahan provinsi.


Abdul Somad Tholib

Sebelum bergabung dengan TRI Bangka, Abdul Somad Tholib menjadi anggota Heiho dan bertugas di Palembang. Ketika Heiho dibubarkan, Abdul Somad Tholib pulang ke kampung halamannya yakni Kampung Jawa Belinyu. Di Belinyu ia bersama sejumlah rekannya bergabung menjadi anggota TRI. Pada tanggal 14 Februari 1947, Abdul Somad Tholib gugur membela bangsa dalam usia antara 20-22 tahun.


Adam Cholik

Adam Cholik juga berasal dari Kampung Jawa Belinyu. Seperti halnya Abdul Samad Tholib, Adam Cholik juga pernah ditugaskan di Kota Palembang sebagai anggota Heiho. Ketika RI merdeka, Heiho dibubarkan, Adam Cholik dipulangkan ke kampung halamannya.


Ali Samid

Ali Samid adalah seorang putra Bangka yang berasal dari Desa Nibung Koba. Semasa pemerintahan Jepang, Ali Samid Muda pernah bekerja sebagai pegawai Doane (pegawai pelabuhan) di Kota Agung Lampung. Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, Ali Samid pulang ke Koba. Mendengar kabar bahwa Belanda kembali akan menjajh negerinya, semangat juang Ali Samid bergelora. Ia kemudian bergabung dengan TRI yang dipimpin ayahnya yakni H Muhammad Nor.

Pada hari Kamis 14 Februari 1946, Ali Samid dan ayahnya H Muhammad Nor, berangkat ke Desa Petaling. Namun bapak dan anak ini ditempatkan dimedan perang yang terpisah. H Muhammad Nor bertugas memimpin pasukan di Km 16 Petaling sedangkan Ali Samid bergabung dengan TRI yang dipimpin oleh Kapten Munzir yang mengemban tugas menarik pasukan di Km 12 dan Km 16 untuk bertahan di Pangkalpinang. Namun tiba di Km 12, Ali Samid dan kawan-kawan diberondong senjata Belanda. Kamis, 14 Februari 1946 Ali Samid dan H Muhammad Nor gugur membela bangsa. Keduanya dimakamkan ditempat terpisah. H Muhammad Nor dimakamkan di TPU Desa Petaling, sedangkan Ali Samid dimakamkan satu lubang bersama sebelas pejuang lainnya di Km 12 Bukit Ma Andil.


A Madjid Gambang

A Madjid Gambang merupakan TRI dari kompi Belinyu, kelahiran Pangkalpinang, beliau seorang pejuang yang terkenal pemberani dan berwatak keras. Jiwa patriotiknya sudah tertanam sejak kecil. Selalu mengutamakan kepentingan bangsa daripada kepentingan keluarga. A Madjid Gambang termasuk TRI pilihan, bersam 19 orang TRI lainnya, ia masuk dalam jajran inti Pasukan Berani Mati (PBM) yamg bermarkas di belinyu pimpinan Kapten Saman Idris. Berdasarkan nama ke 20 orang anggota PBM yang dipimpin Kapten Saman Idris, A Madjid Gambang merupakan satu-satunya anggota PBM yang gugur di KM 12. Ia gugur dalam usia yang masih sangat muda, kurang lebih 21 tahun.


Apip Adi

Usianya diperkirakan sekitar 20 tahun. Apip Adi berasal dari Desa Air Duren Kecamatan Mendobarat. Menurut keterangan Yohansyah salah seorang keponakan Apip Adi, saat bertempur di Km 12, kondisis Apip Adi sedang tidah sehat badan. Sementara keterangan dari H Separdi dan Daud (alm), saat bertempur melawan Belanda, Apip Adi naik diatas pohon cempedak tak jauh dari sisi jalan. Beliau banyak menembak tewas tentara Belanda. Saat jenazahnya diketemukan, tubuh Apip Adi dipenuhi peluru. Ia tertembak saat sedang melakukan perlawanan sengit dari atas pohon cempedak.

Saya merasa ngeri saat melihat jenazah beliau. Tubuhnya dipenuhi bekas tembakan dan peluru. Ia seorang pejuang yang gigih takpantang menyerah,” kenang H Separdi yang mengaku hadir saat pemakaman Apip Adi dan 11 orang rekannya, pada hari Kamis malam 14 Februari 1946.


Batin Tikal
Batin TikalSejarah perjuangan yang telah dilakukan Batin Tikal pada masa perjuangannya di abad ke-18 yaitu pada tahun 1803, dimana terjadi pergantian kepempinan dari Sultan Baharuddin kepada Raden Hasan. Pada Saat itu, diangkatlah Tumenggung Kertawijaya yang memimpin Bangka, dan Tumenggung Kertawiya mengangkat Depati Bahrin. Juga pada masa itu diangkat pula jabatan Batin di wialayah Bangka yaitu Batin Tikal di Desa Gudang.

Bahrin diperkirakan lahir pada tahun 1770 -1775, sedangkan Batin Tikal lebih muda dari Bahrin kira-kira 1774 yang diangkat Sultan Badaruddin 2.

Batin adalah salah satu jabatan di suatu daerah dari Kesultanan Palembang, dimana Batin Tikal selaku sosok pejuang yang melawan penjajah melalui perang gerilya.

(Baca: "Biografi Pahlawan Batin Tikal - Panglima Perang Bangka")


Depati Amir

Depati Amir merupakan salah satu pejuang Bangka yang heroik. Semangat kepahlawanananya menggema hampir diseluruh tanah bangka. Depati Amir merupakan putra dari Depati Bahrin. depati amir aktif melawan penjajahan Belanda di Bangka. Karena geraknya yang sangat menghawatirkan akhirnya ia diasingkan di desa air mata Kupang, NTT. (Baca selengkapnya...)


Depati Bahrin

Saat terjadi pergantian kepempinan dari Sultan Baharuddin kepada Raden Hasan. Pada Saat itu, diangkatlah Tumenggung Kertawijaya  yang memimpin Bangka, dan Tumenggung Kertawiya mengangkat Depati Bahrin. Bahrin diperkirakan lahir pada tahun 1770 -1775.


Depati Hamzah

Depati Amir adalah putera sulung Depati Bahrin (Wafat tahun 1848), sedangkan Hamzah adalah adik atau saudara kandung Amir. Sebagai putera sulung, Amir menjadi Depati diangkat oleh Belanda karena ketakutan Belanda akan pengaruhnya yang besar di hati rakyat Bangka. Jabatan Depati yang diberikan Belanda kepada Amir atas daerah Mendara dan Mentadai kemudian ditolaknya, akan tetapi gelar Depati tersebut kemudian tetap melekat pada diri Amir dan kemudian kepada Hamzah karena kecintaan rakyat kepada keduanya, disamping kehendak kuat rakyat Bangka yang membutuhkan pigur Pemimpin. Sejak perlawanan rakyat Bangka dipimpin oleh Depati Bahrin (Tahun 1820-1828), Amir dan Hamzah sebagai putera Bahrin, sudah menjadi panglima Perang dan menunjukkan sikap kepemimpinan yang baik, yaitu sifat yang tegas, berani, cerdas dan cakap.Amir dan Hamzah membangun markas besarnya di daerah Tampui dan Belah serta di kaki Gunung Maras, namun secara pasti Pasukan terus berpindah dan bergerak diseluruh pelosok belantara Pulau Bangka. (Sumber)


Jamher

Berusia kurang lebih 22 tahun, berasal dari Pulau Jawa bertempat tinggal di Sungailiat dan pernah mendapat didikan Heiho di zaman Jepang. Di Sungailiat, bersama sejumlah teman-temannya, Jamher bergabung menjadi anggota TRI.

Sama seperti Ali Samid, Jamher merupakan anak buah Kapten Munzir yang diperintahkan untuk menarik pasukan di Km 12 dan Km 16 Petaling. Pada saat diberondong peluru Belanda di Km 12, Jamher masih sempat menyelamatkan seorang rekannya yang nyaris menjadi sasaran tembak tentara Belanda. Pada saat Belanda siap menembak seoarang temannya itu, Jamher yang pada saat itu sudah tertembak berteriak keras sambil melindungi rekannya. Saat Jenazahnya ditemukan, mulut Jamher tampak seperti tersenyum.


Kamsem

Berasal dari Semarang Jawa Tengah berumur antara 20-22 tahun. Kamsem ditugaskan ke Bangka bersama beberapa TRI dari Palembang untuk membantu kekuatan TRI di Bangka. Ia ditugaskan di Pangkalpinang dan bersama Kapten Munzir hendak menarik pasukan di Km 12 dan Km 16 Petaling.


Karto Saleh

Karto Saleh lahir di Desa Petaling Kecamatan Mendobarat, usianya kurang lebih 21 tahun. Ayahnya bernama Saleh asal Pulau Jawa yang saat itu menjadi penghulu di Desa Petaling. Sedangkan ibunya bernama Jar, Warga Desa Petaling. Saat terjadi pertempuran di Km 12, Karto yang merupakan anak buah Munzir Thalib ini mendapat perintah menarik pasukan TRI di Km 12 untuk kemudian bertahan di Kota Pangkalpinang. Namun begitu tiba di Km 12, Karto yang saat itu sebagai sopir yang membawa Munzir dan lima orang TRI lainnya langsung diberondong oleh tentara Belanda. Karto, putra Desa Petaling itu gugur di tempat. Beliau mengalami luka tembak di bagian kening, tepat diantara kedua matanya.


Salim Adok

Tak banyak yang mengetahui asal ususl beliau termasuk kiprah perjuangannya. Namun dalam catatan perjuangan Muchtar Cholik, Salim Adok merupakan anggota TRI Kompi Belinyu.


Saman Samin

Saman Samin berasal dari TRI Kompi Koba berumur kurang lebih 40 tahun. Beliau seorang putra Bangka, namun tidak diketahui pasti dari desa mana. Sebelum bergabung dengan TRI, Saman Samin hanya seorang petani. Karena dorongan semangat berjuang Saman Samin meninggalkan kebunnya dan berjuang bersama TRI. Kamis 14 Februari 1946, ia ditugaskan mendampingi Kapten Munzir untu menarik pasukan di Km 12 dan Km 16 Petaling.


Suardi Marsam alias Bugel

Jiwa patriotiknya mulai terpupuk saat ia menjadi anggota Heiho. Ketika Heiho dibubarkar, pejuang yang berasal dari Kampung Jawa Belinyu ini bergabung dengan TRI Kompi Belinyu. Suardi yang akrab dipanggil Bugel berwatak keras pantang menyerah. Ia pernah keluar dari TRI tanpa diketahui alasan yang jelas. Namun pada saat mengetahui rencana Belanda untuk kembali menguasai pulau Bangka, semangat patriotik suardi berkobar dan memutuskan untuk bergabung kembali dengan TRI. Ia gugur dalam usia yang masih muda, kurang lebih 22 tahun.


Sulaiman Saimin

Sulaiman Saimin adalah sosok pribadi pendiam namun memiliki semangat juang yang berkobar. Beliau juga mantan anggota Heiho dari Palembang dan kemudian bergabung dengan Kompi TRI Belinyu. Dalam perjalanan saat hendak menuju medan perang Km 12, Sulaiman sempat dicegat oleh Saimin ayahnya agar Sulaiman mengurungkan niatnya untuk bertempur. Namun demi sebuah perjuangan, Sulaiman putra Kampung Jawa Belinyu ini tidak menghiraukan bujukan ayahnya. Dia terus melanjutkan perjalanan ke Km 12 Petaling bersama TRI serta Pasukan Berani Mati dari Kompi Belinyu.

Beberapa hari sebelum berangkat ke Km 12 Petaling, Sulaiman berjanji dengan kekasihnya seorang warga keturunan, untuk menikahi gadis itu sepulang dari medan perang. Hal ini pula yang sebenarnya membuat ayah Sulaiman memeinta anaknya itu untuk tidak ikut bertempur lantarana hendak dikawinkan. Namun janji suci itu tidak tersampaikan, Sulaiman gugur setelah sebutir peluru menembus keningnya. Ia dikuburkan dalam satu lubang bersama 11 pejuang yang gugur lainnya. Ketika dilakukan penggalian dan pemindahan kerangka keduabelas pahlawan itu pada tanggal 8 November 1973, salah satu kerangka (tengkorak) yang masih dikenali oleh pihak keluarga pejuang adalah kerangka Sulaiman. Saat digali tengkorak kepalanya masih utuh dan ditemukan sebuah gigi emas yang masih melekat di rahang atas tengkorak. Gigi emas ini pula yang menjadi petunjuk bagi keluarganya mengenal tengkorak Sulaiman.


Sumber : Mokoginta Dasin, Ichsan dan Dody Hendriyanto. 2009. Palagan 12: Api Juang Rakyat Bangka. Pangkalpinang: CV Central Media Printing.