Profil Sultan Himayatuddin - Sultan Buton, Pahlawan Nasional
La Karambau yang bergelar Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi atau Oputa Yi Koo adalah seorang Sultan Buton ke-20 yang berkuasa pada 1752–1755 dan ke-23 pada 1760–1763. Ayahnya adalah Sultan La Umati (Sultan Buton ke-13). Ia giat bergerilya melawan menentang pemerintahan Hindia Belanda dalam Perang Buton.
Himayatuddin menghabiskan waktunya untuk menentang dan melawan kekuasaan pemerintah Belanda. Kesuksesannya mengusir kaum penjajah di tanah Buton, pihak Kesultanan Buton menobatkan dirinya sebagai "Oputa Yi Koo". Dalam bahasa masyarakat setempat, gelar tersebut bermakna raja atau penguasa yang bergerliya melawan penjajah di dalam hutan.
Himayatuddin kecil memperoleh pendidikan akhlak dan budi pekerti berlandas Islam. Pendidiknya langsung para orangtua di lingkungan keraton Buton. Dari luar keraton, beliau menerima pendidikan baca-tulis Alquran, baca-tulis aksara Buri-Wolio, dan seni beladiri.
Beranjak remaja, fisik Himayatuddin tumbuh lebih cepat dari teman seusianya. Memiliki postur badan yang tinggi, besar, serta tegap. Orang di sekelilingnya pun menyebutnya sebagai La Karambau atau Kerbau.
Himayatuddin mengemban tugas pemerintahan pertamanya sebagai Lakina Kambowa atau kepala wilayah desa. Tugas ini memungkinkan dia berinteraksi langsung dengan rakyat sekaligus mendengarkan masalah keseharian mereka. Antara lain perdagangan dengan orang-orang VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) dan perilakunya.
Perang Buton
Saat VOC mengancam akan menggunakan kekuatan militernya untuk menyerang Buton, Himayatuddin menyongsong ancaman itu dengan mempersiapkan benteng dan pasukannya. Tetapi sebelum pertempuran pecah, Sara (Dewan Penasihat Kesultanan Buton) mempunyai siasat jitu untuk meredam serangan VOC. Mereka meminta Himayatuddin menyingkir sementara waktu sembari menyusun kekuatan perlawanan. Jabatannya diambil-alih oleh iparnya, Sultan Sakiyuddin.
Perang pecah, orang Buton menyebutnya sebagai Zaman Kaheruna Walanda atau zaman huru-hara Belanda.
Baca : "Biografi singkat 6 Pahlawan Nasional Baru 2019"
Himayatuddin memimpin perlawanan dari sebuah benteng. Tetapi pasukan VOC berhasil mendesak rakyat Buton. Sakiyuddin dan Himayatuddin pun menyingkir ke pedalaman. Perang pun berakhir. VOC mencoba memperbaiki hubungan dengan Buton.
Himayatuddin tetap menolak menjalin hubungan dengan VOC dan memilih bergerilya di hutan dan gunung. Dia sempat kembali ke keraton dan menjadi sultan lagi serentang 1760-1763. Tapi tak banyak keterangan tentang apa yang dilakukannya dalam rentang waktu itu.
Himayatuddin turun takhta kembali pada 1763 dan memulai lagi perjuangan gerilyanya bersama rakyat. Selama gerilya, dia menekankan pentingnya pewarisan lingkungan kepada generasi setelahnya untuk melestarikan hidup bersama.
Tidak lama setelah perang Buton, Sultan Himayatuddin menetap di Siontapina hingga meninggal pada 1776, beliau dimakamkan di puncak Gunung Siontapina. Pada 11 November 2019, ia menjadi salah satu dari 6 orang yang diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia.
Sumber:
Himayatuddin menghabiskan waktunya untuk menentang dan melawan kekuasaan pemerintah Belanda. Kesuksesannya mengusir kaum penjajah di tanah Buton, pihak Kesultanan Buton menobatkan dirinya sebagai "Oputa Yi Koo". Dalam bahasa masyarakat setempat, gelar tersebut bermakna raja atau penguasa yang bergerliya melawan penjajah di dalam hutan.
Himayatuddin kecil memperoleh pendidikan akhlak dan budi pekerti berlandas Islam. Pendidiknya langsung para orangtua di lingkungan keraton Buton. Dari luar keraton, beliau menerima pendidikan baca-tulis Alquran, baca-tulis aksara Buri-Wolio, dan seni beladiri.
Beranjak remaja, fisik Himayatuddin tumbuh lebih cepat dari teman seusianya. Memiliki postur badan yang tinggi, besar, serta tegap. Orang di sekelilingnya pun menyebutnya sebagai La Karambau atau Kerbau.
Himayatuddin mengemban tugas pemerintahan pertamanya sebagai Lakina Kambowa atau kepala wilayah desa. Tugas ini memungkinkan dia berinteraksi langsung dengan rakyat sekaligus mendengarkan masalah keseharian mereka. Antara lain perdagangan dengan orang-orang VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) dan perilakunya.
Perang Buton
Saat VOC mengancam akan menggunakan kekuatan militernya untuk menyerang Buton, Himayatuddin menyongsong ancaman itu dengan mempersiapkan benteng dan pasukannya. Tetapi sebelum pertempuran pecah, Sara (Dewan Penasihat Kesultanan Buton) mempunyai siasat jitu untuk meredam serangan VOC. Mereka meminta Himayatuddin menyingkir sementara waktu sembari menyusun kekuatan perlawanan. Jabatannya diambil-alih oleh iparnya, Sultan Sakiyuddin.
Perang pecah, orang Buton menyebutnya sebagai Zaman Kaheruna Walanda atau zaman huru-hara Belanda.
Baca : "Biografi singkat 6 Pahlawan Nasional Baru 2019"
Himayatuddin memimpin perlawanan dari sebuah benteng. Tetapi pasukan VOC berhasil mendesak rakyat Buton. Sakiyuddin dan Himayatuddin pun menyingkir ke pedalaman. Perang pun berakhir. VOC mencoba memperbaiki hubungan dengan Buton.
Himayatuddin tetap menolak menjalin hubungan dengan VOC dan memilih bergerilya di hutan dan gunung. Dia sempat kembali ke keraton dan menjadi sultan lagi serentang 1760-1763. Tapi tak banyak keterangan tentang apa yang dilakukannya dalam rentang waktu itu.
Himayatuddin turun takhta kembali pada 1763 dan memulai lagi perjuangan gerilyanya bersama rakyat. Selama gerilya, dia menekankan pentingnya pewarisan lingkungan kepada generasi setelahnya untuk melestarikan hidup bersama.
Tidak lama setelah perang Buton, Sultan Himayatuddin menetap di Siontapina hingga meninggal pada 1776, beliau dimakamkan di puncak Gunung Siontapina. Pada 11 November 2019, ia menjadi salah satu dari 6 orang yang diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia.
Sumber:
- Wikipedia : "Himayatuddin Muhammad Saidi"
- Historia: "Sultan Himayatuddin, Pahlawan Nasional dari Buton"